Mei 06, 2015

Orang Serampas: Tradisi dan Pengetahuan Lokal di Tengah Perubahan


PASCA-PEMBERLAKUAN UU No. 5/1979, terjadi penyeragaman bentuk dan struktur pemerintahan desa. Desa yang sebelumnya dirujuk dengan banyak nama, seperti marga, rio, dusun, dan nagari, beserta kekhasan pemerintahannya masing-masing, selanjutnya dibuat sama struktur dan bentuknya serta dipecah-belah dan dimekarkan mengikuti pengaturan administrasi baru tersebut. Pertanyaannya, bagaimanakah nasib masyarakat adat setelahnya?

Buku karangan Bambang Hariyadi, berjudul Orang Serampas: Tradisi dan Pengetahuan Lokal di Tengah Perubahan (Bogor: IPB Press, 2013), menjadi contoh bagus tentang bagaimana masyarakat adat yang tergabung dalam marga Serampas mempertahankan adat mereka. Di tengah perubahan yang terjadi, termasuk perubahan administrasi dan pemerintahan, marga Serampas tetap mempertahankan jatidiri mereka sebagai orang Serampas dengan menjaga dan merawat tradisi serta peninggalan leluhur.

Pasca-1979, marga Serampas terdiri atas tiga desa, yaitu Renah Alai, Tanjung Kasri, dan Renah Kemumu. Ketiganya berada di Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin. Saat ini jumlahnya berkembang menjadi lima desa setelah Renah Alai dimekarkan dengan menambah dua desa baru, yaitu Lubuk Mentilin dan Rantau Kermas. Lokasi tiga desa yang pertama berada di pinggiran Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), sementara dua desa terakhir terletak di dalam kawasan taman nasional.

TNKS ditetapkan berdasarkan Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982, bersamaan dengan sebelas calon taman nasional lain dalam Kongres Taman Nasional Sedunia II di Bali. Kawasan ini meliputi empat provinsi: Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Bengkulu. Keberadaan taman nasional sering kali mendapat kritik dari penduduk setempat. Hal itu beralasan. Sebelum TNKS ada, mereka sudah lebih dulu tinggal di sana. Menurut Prof Dominik Bonatz dari Freie Universitat Berlin dan beberapa peneliti yang melakukan penggalian arkeologis di sekitar Renah Kemumu, desa-desa di Serampas telah dihuni oleh manusia sejak lama. Orang Serampas diperkirakan telah mendiami lokasi ini antara abad ke-11 dan ke-13. Nenek moyang orang Serampas yang paling dikenal adalah Nenek Sigindo Balak (di Tanjung Kasri) dan Nenek Tigo Silo (di Renah Kemumu).

Serampas menyimpan banyak hal penting. Seperti dituturkan Bambang Hariyadi, mengunjungi Serampas tak ubahnya mengunjungi kawasan wisata yang masih alami dan belum dijamah pelancong. Serampas tidak hanya menarik dari aspek sejarah dan budaya, tetapi juga keindahan alamnya. Di sana ada Grao Gedang, sumber air panas yang menyembur dari perut bumi, yang tersebar di berbagai tempat, terutama di sekitar Renah Kemumu. Ada pula Grao Nguak, Grao Gas, Kunyit, dan Grao Matahari. Keunikan sejarah, sosial budaya, dan keindahan alam Serampas menjadi daya tarik bagi para peneliti untuk datang ke sana, baik peneliti lokal maupun asing.

Penduduk setempat menggunakan istilah Serampeh untuk membedakan (suku) mereka dari kelompok lain. Tokoh masyarakat setempat menyebutkan bahwa perkataan Serampas berasal dari suku kata se dan ampu yang berarti sekelompok orang-orang sakti. Hal ini terkait dengan kondisi Serampas sebelum pendudukan Belanda yang brutal dan liar. Pada waktu itu setiap dusun dipimpin secara sewenang-wenang oleh “orang-orang kuat” yang diukur dari kemampuan gaibnya. Mereka menggunakan kekuatan gaib ini untuk melumpuhkan lawan-lawannya (hlm. 44).

Warga setempat menyebut orang sakti di Serampas dengan istilah dukun. Di sini dukun tidak hanya pandai mengobati bermacam penyakit, namun juga memiliki kemampuan gaib untuk melumpuhkan lawan. Hingga saat ini masyarakat Serampas dan warga sekitar masih meyakini dan menjadikan Serampas sebagai tempat menuntut ilmu kesaktian, misalnya menuntut ilmu kuat, ilmu kebal, ilmu pengasihan, dan pengobatan. Bahkan lokasi untuk tarak (bertapa) masih bisa ditemukan di kuburan Nenek Sigindo Balak dan makam Nenek Tigo Silo.

Ketika sistem marga masih berlaku, pemerintahannya dikepalai oleh seorang pamuncak. Pamuncak merupakan wakil pemerintah di level paling rendah. Gelar dan posisi pamuncak ini kemudian menjadi bagian dari sistem adat orang Serampas. Pimpinan adat tertinggi di Serampas bergelar Depati Sri Bumi Putih Pamuncak Alam. Dalam menjalankan tugas, dia dibantu seorang depati di masing-masing dusun, yang sekaligus mengepalai dusun tersebut. Para depati itu adalah Depati Karti Mudo Menggalo (Renah Alai), Depati Singonegoro (Tanjung Kasri), dan Depati Pulang Jawo (Renah Kemumu).

Untuk menjadi seorang depati, seseorang harus mempunyai darah keturunan Serampas. Selain itu, dia juga harus mendapat dukungan yang kuat dari masyarakat setempat. Pelantikan seorang depati, kepala kampung, dan pejabat dusun lainnya dilakukan bersamaan dengan perayaan kenduri psko (hlm. 110-111).

Seiring waktu, banyak perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam kehidupan orang Serampas. Perubahan paling kentara adalah akses menuju pasar. Sekitar tahun 1800-an, akses pasar terdekat ada di Muko-Muko, Bengkulu, yang dicapai dengan berjalan kaki. Perubahan terjadi pada 1960-an, orang Serampas tidak lagi ke Muko-Muko, namun beralih ke pasar kecil di Sungai Lalang. Selanjutnya pada 1990-an akses menuju pasar semakin dekat dengan dibukanya pasar di Danau Pauh yang sangat dekat dengan Renah Alai dan Rantau Kermas.

Perubahan lain yang berpengaruh terhadap tatanan kehidupan tradisional masyarakat Serampas adalah kebijaksanaan pemerintah yang menyamaratakan struktur pemerintahan di tingkat desa di seluruh Indonesia melalui UU N0. 5/1979 atau dikenal dengan UU Pemerintahan Desa. UU ini memperkenalkan sistem pemerintahan yang baru dan kurang mempertimbangkan bentuk-bentuk pemerintahan tradisional yang sudah ada dan telah lama diterapkan oleh sejumlah komunitas pribumi seperti halnya Serampas (hlm. 112).

Meski saat ini lembaga adat tidak menempati posisi sentral dalam mengatur pemerintahan di tingkat desa, keberadaan adat masih dapat dirasakan serta masih berperan dalam kehidupan sehari-hari. Salah seorang tokoh Serampas mengatakan, “Tidak seperti peraturan pemerintah yang mudah berubah-ubah akibat pengaruh politik, adat akan tetap ada dan tidak mudah berubah selagi kami mendiami tanah Serampas” (hlm. 124).

Salah satu peran adat yang penting terkait sumber daya alam, pengelolaan lahan, dan pola pertanian, yang membentuk pengetahuan mereka tentang tumbuh-tumbuhan. Fokus Bambang sebetulnya soal terakhir ini. Di dalam buku yang diolah dari disertasinya di bidang etnobotani di University of Hawaii, Amerika Serikat, tersebut, cukup banyak bagian yang membahas pengetahuan lokal Serampas tentang botani yang tetap lestari hingga hari ini.[]

___________

Bambang Hariyadi, berjudul Orang Serampas: Tradisi dan Pengetahuan Lokal di Tengah Perubahan (Bogor: IPB Press, 2013).

Ulasan ini ditulis oleh Herma Yulis. Awalnya ulasan ini dimuat dalam rubrik Pustaka Jambi di Jambi Independent, 30/4/2015, dengan judul "Orang Serampas Merawat Tradisi".

0 komentar: