Februari 14, 2017

Sungai dan Sejarah Sumatra


BELAKANGAN INI, tidak ada rupa bumi yang paling banyak diperbincangkan selain sungai. Sayangnya, ini lebih banyak berisi kabar buruk. Namun, tidak dengan buku ini, yang memaparkan sungai justru sebagai faktor penggerak sejarah di Sumatera.

Sungai di beberapa daerah tidak mampu menampung air, lalu menumpahkannya ke sekitar. Banjir melanda, rumah rusak dan manusia menjadi korbannya. Benarkah sungai merupakan musuh abadi manusia, yang lebih banyak menimbulkan masalah daripada memberikan manfaat?

Mungkin yang sebenarnya terjadi ialah kurangnya pemahaman kita akan sungai. Berita tentang sungai di media massa lebih banyak tentang amukan si batang air daripada bagaimana cara berkawan dengannya. Secara akademik, kajian tentang darat jauh lebih melimpah daripada kajian perairan. Bahkan, dibandingkan dengan studi tentang laut pun, studi sungai bisa dikatakan tertinggal.

Buku karya Gusti Asnan, sejarawan Universitas Andalas, ini merupakan kajian yang luar biasa dalam menganalisis sejarah salah satu elemen alam yang lebih banyak disalahkan daripada dimengerti. Gagasan pokok yang ia sampaikan ialah bahwa sungai adalah faktor penggerak sejarah di Sumatera.

Sungai tidak hanya aliran air, tetapi juga sebuah ”dunia” dengan segala kompleksitasnya. Selama ribuan tahun, sungai telah membentuk peradaban Sumatera, sama seperti peradaban Mesopotamia dibentuk oleh Eufrat dan Tigris, serta peradaban Tiongkok oleh Sungai Kuning.

Di bagian awal, buku ini fokus pada bentuk fisik sungai, termasuk penamaannya yang berbeda di antara masyarakat Sumatera. Menurut Gusti, penyeragaman penggunaan kata ”sungai” untuk semua aliran air ke laut terjadi sejak Indonesia merdeka, dan ini mulai menghilangkan keragaman penyebutan nama sungai di kalangan berbagai etnis di sekitar sungai. Contohnya adalah krueng (Aceh), woi (Gayo), aek (Batak Mandailing), lau (Batak Karo), kuala (Sumatera Timur), batang (Sumatera Tengah), air (Sumatera Selatan), dan way (Lampung).

Setiap sungai memiliki karakter berbeda. Gusti mengutip Schnitger (1939) yang ”memanusiakan” sungai-sungai Sumatera sesuai dengan arus dan kondisi air serta lingkungan tempat mengalirnya mereka: Musi ”lebar dan pengeluh bagaikan orang tua”, sementara Batanghari ”ganas dan membara”. Meski terdengar seperti lelucon, dengan mengerti karakter sungai ini memungkinkan orang yang bermukim di tepi sungai atau berlayar di sungai paham bagaimana cara yang tepat berinteraksi dengan sungai.

Gusti mengkritik berbagai mitologi asal mula suku bangsa di Sumatera, yang jarang menjadikan sungai sebagai bagian dari cerita. Rupa bumi yang kerap dikaitkan dengan asal-usul manusia Sumatera adalah gunung (Batak) atau gunung dan laut (Minangkabau dan Kerinci). Gusti menekankan bahwa eksistensi ketiga suku di atas justru dimulai dengan nenek moyang mereka dari utara menelusuri sungai-sungai Sumatera hingga akhirnya sampai di pedalaman Sumatera, tempat mereka berdiam hingga kini.

Era klasik Sumatera ditandai tumbuhnya berbagai kerajaan yang berlokasi di kawasan bagian tengah aliran sungai, misalnya Sriwijaya di tepi Musi, Melayu di tepi Batanghari, serta Minangkabau di tepi Batang Selo dan Batang Buo. Kawasan di tengah bagian sungai memberi kesempatan kerajaan untuk mengontrol produk dari daerah pedalaman sekaligus menghindari perompakan yang kerap terjadi di laut. Lewat sungailah ekspor dari pedalaman Sumatera mengalir ke dunia internasional. Secara keagamaan, sungai memainkan peranan yang penting pula. Berbagai candi Sumatera didirikan di tepi sungai. Belakangan, Islam pun disebarkan ke pedalaman melalui sungai.


Kehancuran Sungai

Perubahan drastis pada sungai terjadi di masa Belanda. Mereka membangun loji di tepi sungai, serta menggunakan sungai untuk ekspedisi militernya. Fisik sungai serta lanskap kependudukan di sekitarnya dan potensi ekonomi yang ada diteliti. Untuk pertama kalinya, jalur sungai Sumatera pun terbuka bagi lalu lintas kapal penumpang dan kapal barang asing berbendera Belanda, Inggris, Tiongkok, bahkan Yunani dan Panama.

Namun, di masa ini pulalah sungai Sumatera mulai hancur. Terjadi eksploitasi tak terkendali, berupa pembalakan hutan, dan pengerukan timah dari dasar sungai, berefek pada erosi tanah dan keruhnya sungai. Pencemaran limbah terjadi saat beberapa industri yang baru lahir membuang limbahnya langsung ke sungai. Era pasca perang ditandai dengan kian runtuhnya peran sungai. Ini tampak dari masifnya pembangunan jalan raya, jembatan, dan penggunaan mobil, membuat sungai ditinggalkan karena dianggap tidak praktis dan tidak modern.

Kondisi sungai kian parah lantaran dihujani berbagai macam limbah, mulai dari limbah perut, rumah tangga, kimia, hingga industri dan pertambangan. Bendungan buatan mengakibatkan terganggunya ekosistem sungai, dan relokasi warganya membuat mereka kehilangan tradisi yang berkaitan dengan sungai. Penebangan hutan demi transmigrasi dan perkebunan menyebabkan sungai kering di musim kemarau dan banjir di musim hujan.

Di luar poin-poin penting di atas, ada satu kekurangan buku ini. Gusti terlalu memusatkan perhatian pada relasi antara sungai dan manusia. Ia kurang mengupas apa yang ada di bawah permukaan sungai. Seberapa variatif keanekaragaman hewan dan tumbuhan, mulai dari ikan, mamalia, dan reptil, serta teratai di sana? Dan, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana manusia Sumatera sepanjang sejarah memandang, mengelola, atau berkonflik dengannya.

Meski demikian, buku ini patut diapresiasi sebagai karya perintis dalam kajian sejarah sungai di Indonesia, dan harus dianggap sebagai undangan untuk lebih banyak mengupas masa silam sungai. Gusti membuktikan bahwa nenek moyang orang Indonesia tak hanya pelaut hebat, tetapi juga pengarung sungai yang andal.

Bila sejarawan Herodotus menyebut Mesir adalah ”hadiah Sungai Nil”, karena kesuburan Mesir yang berasal dari Nil, Gusti pun pada hakikatnya berpandangan sama, bahwa Sumatera yang kaya pun merupakan hadiah dari ribuan sungai yang menjadi urat nadinya. Setelah masa-masa sungai Sumatera hancur karena eksploitasi, kini saatnya manusia Sumatera, dalam bahasa Gusti, harus ”berdamai dengan sungai”-nya, dengan menjaganya, dan bukan mengabaikan, apalagi merusaknya.

___________

Gusti Asnan, Sungai dan Sejarah Sumatra, (Yogyakarta: Ombak, 2016), xii + 267 halaman.

Dikutip utuh dari Muhammad Yuanda Zara, "Batang Air Pengubah Sumatera", Kompas, 4 Februari 2017, hlm. 24.

0 komentar: