Tampilkan postingan dengan label Archives. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Archives. Tampilkan semua postingan

Mei 25, 2014

Hikayat Negeri Jambi: Sinopsis


DUSUN MUARA merupakan tempat asal mulanya kerajaan Jambi. Rajanya bernama Tuan Talanai. Dalam memerintah, ia dibantu oleh lima orang hulubalang. Atas perintah Tuan Talanai, salah seorang hulubalang yang bernama Si Pahit Lidah berhasil membuat sungai mulai dari dusun Muara hingga ke laut dalam tempo satu jam. Oleh karena itu, nagari tersebut disebut Jambi.

Telah beberapa lama Tuan Talanai bertahta, belum juga ia dikaruniai anak. Hal itu membuatnya gundah karena memikirkan siapa yang akan menggantikannya bila ia meninggal. Tuan Talanai dan isterinya berupaya agar mendapat anak, baik dengan mencari obat, pergi ke dukun, maupun minta kepada para dewa.

Tidak lama kemudian isteri Tuan Talanai hamil. Setelah genap bulan kehamilannya, isteri Tuan Talanai melahirkan seorang anak laki-laki yang baik parasnya. Kelahiran bayi tersebut disertai dengan tanda-tanda yang menakjubkan. Guncangan yang ditimbulkannya membuat dukun yang menolong tidak kuasa untuk memegangnya, bahkan papan rumah maupun atap rumah pun patah.

Kelahiran seorang putera yang sangat dinantikannya membuat Tuan Talanai bersuka cita. Akan tetapi, setelah mengetahui kejadian yang menyertai kelahiran puteranya tersebut, Tuan Talanai merasa heran dan sekaligus takut kelak anaknya lebih berkuasa sehingga akan membahayakan nagari Jambi. Untuk mengetahui ihwal anaknya tersebut, Tuan Talanai memanggil 40 orang ahli nujum.

Dikatakan oleh para ahli nujum bahwa anak yang baru dilahirkan itu kelak membawa bencana yang besar bagi nagari Jambi serta menjadikan hidup Tuan Talanai tidak senang. Agar nagari Jambi terhindar dari bencana, maka anak yang baru dilahirkan itu harus dibuang ke laut. Mendengar kata ahli nujum, Tuan Talanai segera memberi perintah kepada hulubalangnya untuk membuatkan peti tujuh lapis untuk membuang anaknya.

Setelah dihiasi dengan pakaian yang indah, sebagaimana layaknya anak seorang raja, anak Tuan Talanai dimasukkan ke dalam peti yang jumlahnya tujuh lapis dan disertakan pula sebuah surat di dalam peti tersebut. Selanjutnya, peti itu dibuang ke laut.

Empat puluh hari empat puluh malam lamanya peti itu dibawa gelombang hingga sampai ke laut Siam dan ditemukan oleh raja Siam. Raja Siam dan isterinya merawat anak itu dengan penuh kasih sayang. Dicarikannya inang pengasuh dan kawan bermain-main buat anak angkatnya itu. Anak itu tumbuh menjadi anak yang sangat ditakuti oleh kawan-kawannya bermain karena jikalau ia marah maka dihempaskannya orang yang membuatnya marah tersebut. Melihat ulahnya yang demikian, kawan-kawannya memperoloknya dengan mengatakan bahwa ia anak yang tidak tentu siapa bapanya, raja Siam bukanlah orang tua yang sebenarnya sehingga pantas apabila perilakunya sangat jahat.

Mendengar olok-olok kawannya, anak angkat raja Siam pun bertanya kepada bundanya tentang orang tuanya yang sebenarnya. Menginjak umur empat belas tahun, anak angkat raja Siam teringat kembali akan perkataan bahwa ia bukan anak raja Siam yang sebenarnya. Ia pun menanyakan kembali hal itu kepada bundanya dan menceritakan tentang mimpinya bahwa sesungguhnya ia adalah anak Tuan Talanai, raja Jambi. Ia bertekad akan bunuh diri bila tidak diberi tahu tentang hal yang sebenarnya. Mengetahui anak angkatnya hendak bunuh diri, raja Siam kemudian memerintahkan orang-orangnya untuk menyediakan kelengkapan berlayar bagi anak angkatnya yang hendak ke nagari Jambi menemui Tuan Talanai.

Sesampai di Jambi, ternyata Tuan Talanai tidak mau mengakui anak angkat raja Siam sebagai anak kandungnya meskipun kepadanya telah ditunjukkan surat dari Raja Siam sebagai bukti bahwa anak itu adalah anak kandungnya. Penolakan Tuan Talanai tersebut menyebabkan kemarahan anak angkat Raja Siam dan kemudian menyerang nagari Jambi. Dalam peperangan inilah akhirnya Tuan Talanai dibunuh oleh anak kandungnya sendiri. Setelah berhasil membunuh Tuan Talanai, anak angkat Raja Siam kembali ke nagari Siam. Sepeninggal Tuan Talanai, nagari Jambi tidak beraja lagi.

Pada pasal kedua diceritakan bahwa pada kurun waktu berikutnya bangsawan dari Turki datang ke pulau Berhala dan menjadi raja di pulau ini dan dikenal dengan sebutan Datuk Paduka Berhala. Sebelum meninggal ia berpesan kepada puteranya, Datuk Paduka Ningsun, agar mengantarkan persembahan kepada Sultan Mantaram setahun sekali.

Datuk Paduka Ningsun menjadi raja setelah ayahnya meninggal. Ia menikah dengan seorang puteri Ki Demang Lebar Daun dari Palembang. Pada saat menjadi raja, Datuk Paduka Ningsung berpindah nagari ke Ujung Jabung. Ia dikaruniai empat orang anak, yaitu Orang Kaya Itam, Orang Kaya Pingai, Orang Kaya Pedataran, dan Orang Kaya Gemuk.

Sepeninggal Datuk Paduka Ningsung, Orang Kaya Itam menjadi raja dan kemudian membuat nagari di Muara Sampang yang dikenal dengan sebutan nagari Kota Tua. Pada saat menjadi raja, Orang Kaya Itam tidak mau lagi mengantarkan persembahan kepada Sultan Mantaram sehingga datang surat dari Sultan Mantaram menanyakan hal tersebut.

Orang Kaya Itam, Orang Kaya Pingai, dan Orang Kaya Pedataran pergi ke Mantaram dengan cara menyamar. Sesampai di Mantaram mereka bertiga tiba di tempat membuat keris. Dari tukang keris itu Orang Kaya Itam mengetahui bahwa keris itu milik Sultan Mantaram yang akan digunakan untuk membunuh Orang Kaya Itam jika datang ke Mantaram. Hal itu menimbulkan kemarahan Orang Kaya Itam sehingga ia merampas keris itu kemudian membunuh tukang keris dan mengamuk di pasar.

Sultan Mantaram terdiam tatkala mengetahui bahwa orang yang mengamuk itu adalah Orang Kaya Itam yang berasal dari Jambi. Setelah mengetahui duduk persoalan mengapa Orang Kaya Itam tidak pernah datang ke Mantaram, Sultan Mantaram menyerahkan keris itu kepada Orang Kaya Itam tiga bersaudara. Selain itu, diserahkannya juga sebuah pedang dan dua batang tombak kepada Orang Kaya Itam untuk dibawa pulang ke Jambi. Sejak saat itu Sultan Mantaram memberikan kebebasan kepada Orang Kaya Itam untuk datang ke Mantaram sesuka hatinya.

Sekembali dari Mantaram, Orang Kaya Itam berhasil menundukkan beberapa dusun hingga sampai ke Muara Tembesi. Orang Kaya Itam meninggal di nagari Kota Tua. Ia tidak memiliki anak sehingga kedudukannya sebagai raja dilanjutkan oleh Orang Kaya Pingai. Sepeninggal Orang Kaya Pingai, yang juga tidak mempunyai anak, Orang Kaya Pedataran menjadi raja. Setelah Orang Kaya Pedataran meninggal, Orang Kayo Gemuk yang berada di Mantaram dan memiliki lima orang anak pun kembali ke nagari Kota Tua. Akan tetapi, tatkala baru sampai di pulau Tungkal, Orang Kaya Gemuk mendadak sakit dan kemudian meninggal. Anak turunan Orang Kaya Gemuk inilah yang selanjutnya mengadakan rukhyat raja di dalam nagari Jambi.

Pada pasal ketiga diceritakan tentang anak keturunan Orang Kaya Gemuk menjadi raja. Sesuai dengan wasiat Orang Kaya Gemuk, kelima anaknya bermufakat untuk mengangkat salah satu di antaranya menjadi raja di nagari Kota Tua. Mereka bersepakat untuk mengangkat Si Bungsu Yang Berujud menjadi raja. Sebelum menyatakan kesediaannya menjadi raja, Si Bungsu Yang Berujud menghendaki adanya kata mufakat dari semua saudaranya itu. Masing-masing kemudian menyatakan kesanggupannya untuk melakukan sesuatu demi kepentingan raja dan nagari sesuai dengan kecakapannya. Mereka membuat nagari di Rangas Pandak sehingga raja yang terpilih diberi gelar Pangeran Rangas Pandak. Saat itulah dimulainya adat penobatan raja.

Sementara itu, Tuan Puteri Pinang Masak, anak raja Minangkabau bermaksud hendak membuat nagari di Jambi yang dikabarkan telah menjadi hutan sejak ditinggal Tuan Talanai. Mendengar berita tentang adanya puteri raja Minangkabau yang menetap di bekas kerajaan Tuan Talanai (Muara Jambi), Pangeran Rangas Pandak mengirim utusan untuk melihatnya. Tuan Puteri Pinang Masak merasa gembira dengan kunjungan utusan Pangeran Rangas Pandak. Pangerang Rangas Pandak menikah dengan Tuan Puteri Pinang Masak dan selanjutnya mereka menetap di Rangas Pandak. Mereka memiliki empat orang anak, yaitu Pangeran Tumenggung Kabul di Bukit, Pangeran Adipati Tiada Katik Bayang-Bayang, Pangeran Paku Negara, dan Panembahan di Bawah Sawo. Pada saat Pangeran Rasas Pandak menjadi raja, belum seluruh pucuknya Jambi sembilan lurah kepadanya, kecuali dusun-dusun yang dulu telah ditundukkan oleh Orang Kaya Itam.

Pada pasal keempat diceritakan tentang anak Pangeran Rangas Pandak menjadi raja. Pangeran Tumenggung Kabul di Bukit bermufakatan dengan saudara-saudaranya hendak membuat nagari terlebih dahulu sebelum menetapkan raja yang baru karena hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi raja-raja sebelumnya. Mereka membuat nagari di Malayapura sehingga semua yang ada di Rangas Pandak pindah ke Malayapura.

Selain membuat nagari, mereka juga bersepakat untuk menundukkan pucuknya Jambi sembilan lurah. Setelah berhasil menundukkannya, mereka memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi raja. Panembahan di Bawah Sawo terpilih untuk menjadi raja. Selain membuat perjanjian dengan orang-orang yang telah ditundukkannya, Panembahan juga membuat perjanjian dengan Yang Dipertuan Balang mengenai batas-batas daerah kerajaan. Setelah itu, mereka kembali ke tempat masing-masing.

Sesampai di muara Sungai Tabo, Panembahan berhenti dan menyuruh orang untuk membuat takir sejumlah seratus. Setelah diisi, takir tersebut dihanyutkan hingga sampailah di sebelah ulu Tanah Pilih. Di tempat ini panembahan bertapa selama tujuh hari tujuh malam dan bertemu dengan Cina yang kemudian memberinya bedil yang bernama Si Jimat, gong bernama Si Taming Jambi, dan tombak bernama Si Macan Turu. Di Tanah Pilih inilah akhirnya Panembahan membuat nagari dan mendirikan keraton. Sementara itu, saudara-saudaranya yang lain membuat kampung sendiri pula. Pangeran Tumenggung Kabul di Bukit membuat kampung yang diberi nama Kadipan, Pangeran Adipati yang Tiada Katik Bayang-Bayang membuat kampung yang diberi nama Perabon, dan Pangeran Paku Negara membuat kampung yang diberi nama Kebumen.

Panembahan memiliki dua orang anak, perempuan dan laki-laki. Anak perempuannya, Ratu Mas Juminten, menikah dengan raja Johor. Anak laki-lakinya selanjutnya dinobatkannya menjadi raja dengan gelar Sultan Agung Sri Ingalaga.

Ketika Ratu Mas Juminten meninggal, Raja Johor tinggal bersama Sultan Agung di nagari Jambi. Pada saat Sultan Agung sedang pergi ke ulu, Raja Johor pulang ke Johor dengan melarikan bedil kerajaan yang bernama Si Jimat dan gong yang bernama Si Taming Jambi.

Sekembali dari ulu, Sultan Agung terkejut mengetahui bedil dan gong kerajaan dilarikan oleh Raja Johor. Sultan Agung segera memerintahkan orang-orangnya untuk menyerang nagari Johor hingga akhirnya Johor dapat dikalahkan. Nagari Johor kemudian meminta bantuan dari Palembang dan Jambi pun minta bantuan dari Padang di bawah pimpinan Tuan Petor. Setelah Johor dapat dipukul mundur kembali, Tuan Petor membuat gedung di Pacinan.

Pada pasal kelima diceritakan tentang pembuangan Sultan Agung oleh anaknya. Diceritakan bahwa Sultan Agung mempunyai dua orang anak, Raden Gegadih dan Raden Jumut. Raden Gegadih yang gagal membunuh Sultan Agung meminta bantuan kepada Tuan Petor untuk membuang ayahnya ke Betawi. Mengetahui perbuatan Raden Gegadih, Raden Jumut melarikan diri ke Muara Tabo dan kemudian diangkat sebagai raja oleh rakyatnya dengan gelar Sultan Maharaja Batu.

Niat jahat Raden Gegadih muncul tatkala mengetahui bahwa Raden Jumut telah menjadi raja di Muara Tabo. Ia minta bantuan ke Palembang untuk menyerang Sultan Maharaja Batu. Peperangan ini dapat dilerai oleh Yang Dipertuan Minangkabau. Selanjutnya, mereka pulang ke tempat masing-masing. Meskipun demikian, Raden Gegadih tetap saja berniat jahat kepada Sultan Maharaja Batu. Ia minta bantuan kepada Tuan Petor untuk membuang Sultan Maharaja Batu. Sultan Maharaja Batu tertangkap dan dibuang ke Betawi. Sepeninggal Sultan Maharaja Batu, anak tertuanya diambil oleh Sultan Gegadih dan diangkatnya sebagai raja untuk menggantikannya, dengan gelar Sultan Abdul Mukhyi.

Mendengar kabar bahwa saudaranya menjadi raja di nagari Jambi, Raden Abdul Rahman, yang juga putera Sultan Maharaja Batu, pergi ke hilir menemui Sultan Abdul Mukhyi dan memaksanya untuk menyerahkan kedudukannya sebagai raja kepada dirinya. Saat itu pula Raden Abdul Rahman menjadi raja dengan gelar Sultan Abdul Rahman Anom Sri Ingalaga. Sementara itu, Sultan Abdul Mukhyi dibuang ke pedalaman.

Di dalam masa pemerintahannya, Sultan Abdul Rahman mengangkat menteri-menteri dan memberi nama serta pangkatnya masing-masing. Seorang menterinya yang bernama Ki Demang Miskin bermaksud memperisteri anaknya, tetapi hal itu menimbulkan kemarahan raja-raja di dalam nagari itu. Mengetahui hal tersebut, Ki Demang Miskin datang kepada Tuan Petor dan menyebarkan fitnah bahwa sultan bersama raja-raja dan menteri bersepakat hendak menyerang Tuan Petor.

Akibat fitnah yang dilontarkan oleh Ki Demang Miskin tersebut, Tuan Petor menyerang nagari Jambi hingga berbulan-bulan lamanya. Dalam peperangan itu banyak rakyat nagari Jambi yang mati. Sultan Abdul Rahman Anom segera menyuruh utusan pergi menghadap Tuan Jenderal di Betawi untuk mengadukan adanya serangan Tuan Petor tanpa sebab yang jelas. Setelah memeriksa perkara itu, Tuan Jenderal memulangkan Ki Demang Miskin ke Jambi serta menyuruh Tuan Petor menetap kembali di Jambi. Selanjutnya, Tuan Petor membangun kota di Muara Kumpeh.

Tatkala Sultan Abdul Rahman meninggal, anaknya yang menjadi pangeran ratu menggantikannya menjadi raja dengan gelar Sultan Ahmad Zainuddin. Pada masa Sultan Ahmad Zainuddin menjadi raja inilah Tuan Petor yang berada di Muara Kumpeh diamuk oleh orang Jambi karena persoalan dalam jual beli lada. Tuan Petor akhirnya melarikan diri pulang ke Betawi.

Selanjutnya hanya diceritakan secara ringkas jurai kuturunan Sultan Ahmad Zainuddin. Sepeninggal Sultan Ahmad Zainuddin, anaknya yang menjadi pangeran ratu menggantikannya sebagai raja dengan nama Sultan Masyhud. Sepeninggal Sultan Masyhud, anaknya yang menjadi pangeran ratu menggantikannya sebagai raja dengan nama Sultan Mahmud Mukhiddin. Anak Sultan Mahmud Mukhiddin yang pertama, Raden Mahmud, dijadikannya pangeran ratu yang kemudian menggantikannya menjadi raja dengan nama Sultan Mahmud Fakhruddin. Tamatlah hikayat ini di dalam Muara Kumpeh pada sanat 1253 dan kepada 27 Rabiulakhir, hari Ahad tamat adanya.[]

_________________

Disalin ulang utuh oleh Widodo dari Indiyah Prana Amertawengrum, “Hikayat Negeri Jambi: Suntingan Teks dan Analisis Struktural”, Tesis S-2 Jurusan Sastra Indonesia dan Jawa, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta (1996), hlm. 207-217. Tesis utuh dapat dibaca di sini.


Related post:

>> Hikayat Negeri Jambi: Suntingan Teks dan Analisis Struktural

>> Hikayat Negeri Jambi: The Structure and the Sources of a Nineteenth-Century Malay Historical Work


Read more…

Mei 21, 2014

Pidato Kawan Samtiar (Jambi) dalam Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959


KAWAN-KAWAN Presidium dan Kawan-kawan sekalian,

Saya merasa bangga sekali dapat ikut menghadiri Kongres ini bersama dengan kawan-kawan, Kongres dari suatu Partai yang tidak saja besar, tapi juga mempunyai tradisi perjuangan yang heroik dari sejak lahirnya hingga sekarang, Partai yang mempunyai sejarah gemilang dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda, Partai yang kesetiaannya telah teruji dengan pengabdiannya yang tulus membela kepentingan rakyat — dengan gagah berani tampil ke depan melawan musuh-musuh rakyat, tidak saja dulu terhadap Belanda, tapi juga sekarang terhadap “PRRI”-Permesta.

Kawan-kawan,

Laporan CC yang disampaikan oleh Kawan D. N. Aidit dalam Kongres Nasional ke-VI Partai, saya menyetujui sepenuhnya. Menurut pendapat saya Laporan CC tidak saja telah mengemukakan pengalaman-pengalaman Partai, kelemahan-kelemahan dan sukses-sukses yang pernah dicapai oleh Partai di lapangan politik, organisasi dan ideologi, tapi juga telah menggariskan tugas-tugas pokok Partai untuk masa depan, taktik dan strategi Partai dalam perjuangannya menyelesaikan tuntutan Revolusi 17 Agustus ‘45 yang belum selesai. Mempelajari Laporan CC, sekaligus berarti mempelajari keadaan rakyat dan masyarakat kita, watak revolusi, arah dan perspektif Revolusi kita, disamping mengetahui sejarah perjuangan Partai dan kebesaran Partai kita sekarang. Laporan CC pada Kongres Nasional ke-VI Partai, tidak saja mempunyai anti penting bagi pembangunan Partai, tapi juga mempunyai arti sejarah yang amat penting sekali bagi Rakyat Indonesia dalam perjuangannya menciptakan syarat-syarat untuk memenangkan Revolusi Agustus 1945.

Kawan-kawan,

Pada kesempatan ini saya ingin hendak mengemukakan mengenai beberapa persoalan daerah Jambi, tentang penduduk dan kebudayaannya, tentang keadaan kaum tani, dan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh Partai kita. Penduduk daerah ini terdiri dari dua golongan, penduduk asli (suku Melayu) dan penduduk yang datang dari pulau Jawa, Sumbar, dan Tapanuli. Keadaan penduduk asli, ekonomi dan kebudayaannya belum dapat dikatakan maju. 85% dari penduduk yang dewasa masih buta huruf, tifus dan kolera merupakan penyakit yang biasa di kalangan rakyat. Balai-balai Pengobatan di desa-desa hampir tak ada sama sekali, kecuali di ibu negeri Kewedanaan dan Kecamatan-kecamatan. Takhayul, kepercayaan kepada roh-roh yang dianggap keramat merupakan kepercayaan yang teguh di kalangan rakyat. Merajalelanya buta huruf dan keterbelakangan ini, adalah dìsebabkan akibat politik Pemerintah kolonial Belanda dulu yang memang tidak berkepentingan untuk meningkatkan pengetahuan dan kebudayaan rakyat. Pada tahun-tahun belakangan keadaan sudah mulai agak berubah, semangat dan kemauan belajar sudah mulai menjalar ke desa-desa. Akan tetapi semangat yang tumbuh ini, tidak dapat ditampung karena kurangnya gedung-gedung sekolah, karena kurangnya gedung ini tiap tahunnya tidak sedikit anak-anak yang tidak dapat diterima menjadi murid SR, dan yang tidak dapat meneruskan pelajarannya pada sekolah-sekolah menengah.


Mengenai masalah kaum tani


Kawan-kawan,

Mengenai penghidupan rakyat umumnya tergantung pada pertanian. Penduduk yang datang dari pulau Jawa, disamping bekerja sebagai buruh tani, menyadap karet tuan tanah, juga bertani. Tanaman kaum tani disamping selalu terancam oleh bahaya binatang liar (gajah, babi, monyet dan sebagainya), juga sering-sering mengalami bahaya banjir yang tak dapat dihindari. Untuk bertani kaum tani harus menyewa tanah tuan tanah feodal (Pasirah) untuk kebutuhan hidup kaum tani sehari-hari biasanya disediakan oleh tuan tanah dan lintah darat lintah darat ada juga oleh pedagang-pedagang Tionghoa dengan berupa bahan-bahan sebagai pinjaman dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga pasaran, dengan ketentuan karet bagian kaum tani harus dijual pada mereka dengan harga yang jauh lebih murah dan pasaran. Keadaan penghidupan kaum tani yang demikian ini yang diperas dari segala jurusan, menyebabkan hidup mereka terus menerus tenggelam dalam hutang kepada tuan tanah dan lintah darat yang menyebabkan mereka selalu dalam keadaan sengsara. Untuk menutupi keperluan hidup mereka sekeluarga, anak-anak kaum tani yang masih di bawah umur terpaksa bekerja keras membantu orang tuanya menyadap karet, mencari kayu api untuk dijual dan sebagainya.

Kaum tani yang berada di sekitar tanah konsesi Niam (sekarang Permindo) keadaannya lebih sengsara lagi, disamping mereka yang selalu terancam oleh Permindo, terhadap mereka juga sering-sering dilakukan penangkapan-penangkapan. Penangkapan-penangkapan ini terjadi hanya atas pengaduan Permindo dengan seribu satu macam tuduhan, misalnya sebatang pohon yang ditebang oleh kaum tani ujung dahannya yang rebah mengenai tiang kawat, terus diadukan dengan tuduhan kaum tani merusak milik Permindo. Dengan pengaduan seperti ini tanpa pemeriksaan lebih dulu, kaum tani sudah mendapat panggilan dari Kepolisian, ada kalanya diambil begitu saja dan tempat pekerjaannya, tanpa diketahui keluarganya. Tindakan seperti ini sangat memberatkan kaum tani, ongkos mobil (pulang pergi) dari tempatnya ke kantor polisi tidak kurang dari Rp. 30,—. Untuk memenuhi satu kali panggilan kaum tani harus mengeluarkan uangnya tidak kurang dari Rp. 50,—. Uang Rp. 50,— sudah cukup banyak bagi mereka. Disamping itu jika Permindo menemukan sumber minyak baru, untuk keperluan pembikinan jalan dan sebagainya, mau tak mau kaum tani harus menyerahkan tanah berikut tanamannya dan membongkar gubuknya yang dibangun dengan susah payah ¡tu, untuk kepentingan Permindo. Memang oleh Permindo sebelumnya diadakan perundingan dengan kaum tani untuk mengganti kerugian kaum tani, tapi perundingan itu tidak dengan ikhlas diterima oleh kaum tani, karena bagaimana juga mereka tetap merasa dirugikan oleh tindakan ini. Uang ganti rugi dari Permindo itu, tidak pula sepenuhnya jatuh ke tangan kaum tani, beberapa persen daripadanya harus diserahkan pada kas Pemerintah (Marga). Jumlah ini bergantung pada ketentuan-ketentuan Marga setempat. Perusahaan Minyak Permindo yang menggaruk keuntungan ribuan rupiah tiap harinya, bagi kaum tani hanya merupakan bahaya besar yang selalu mengancam penghidupannya.

Disamping itu lagi jika terjadi persengketaan antara kaum tani dengan Permindo, kaum tani merasa tidak mendapat perlindungan dari Pemerintah, karena Peraturan Pemerintah mengenai persengketaan tanah antara kaum tani dengan Permindo pada pokoknya membenarkan tindakan Permindo untuk menguasai tanah kaum tani, dan memberikan bantuan langsung pada Permindo dengan mengirim tenaga polisi ke tempat tersebut untuk menjaga keamanan orang-orang yang mentraktor tanah kaum tani. Ini baru sebagian saja dari penderitaan-penderitaan yang dipikul oleh kaum tani, belum lagi peraturan-peraturan lainnya seperti bunga kayu, pancung alas, bunga pasir dan sebagainya yang sangat memberatkan penderitaan kaum tani. Keadaan ini sepenuhnya membenarkan perumusan Partai, tentang masih berkuasanya sisa-sisa feodalisme di desa-desa, tentang beratnya penderitaan kaum tani karena pengisapan yang terus menerus dari tuan tanah dan lintah darat dan peraturan-peraturan lain yang sangat merugikan kaum tani, yang menempatkan kedudukan mereka sebagai budak tuan tanah dan lintah darat. Ini sepenuhnya berlaku di daerah Jambi. Semboyan Partai di lapangan pertanian, sita tanah tuan tanah, bagikan pada kaum tani, terutama pada kaum tani tidak bertanah, adalah semboyan yang sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan kaum tani. Karenanya semboyan ini tidak saja akan disambut hangat oleh kaum tani, tapi juga akan membangkitkan daya juang mereka untuk mengakhiri sama sekali kekuasaan tuan tanah di segala lapangan.

Kawan-kawan,

Penduduk yang mendatang (dari Sumbar dan Tapanuli), sebagian kecil bekerja pada berbagai instansi-instansi jawatan Pemerintahan. Pedagang-pedagang kecil termasuk pedagang pinggiran jalan, umumnya terdiri dari penduduk yang berasal dan Sumbar. Nasib pedagang-pedagang ini tidak berbeda banyak dengan nasib kaum tani, disamping tidak mempunyai modal mereka juga dihisap terus menerus oleh pedagang-pedagang besar. Pedagang-pedagang besar, pemilik-pemilik N.V., pemilik-pemilik perusahaan-perusahaan kecil, seperti rumah-rumah asap, gedung-gedung bioskop, restoran-restoran, warung-warung, pabrik roti, kecap dan sebagainya umumnya dimiliki oleh orang-orang Tionghoa. Pada waktu pemberontak DB-”PRRI” berkuasa, beberapa dari pedagang-pedagang besar ini aktif ikut membantu kaum pemerontak, menyediakan bahan-bahan bakar, kendaraan dan sebagainya untuk keperluan kaum pemberontak. Setelah Pemerintah melarang semua organisasi-organisasi KMT, oleh Pemerintah (Penguasa Perang) Daerah diambil tindakan, menutup semua Sekolah-sekolah Tionghoa KMT. Akan tetapi tindakan ini belum dilanjutkan oleh Pemerintah dengan tindakan pengambilan alih seperti di tempat-tempat lain, begitu juga tindakan terhadap maskapai milik Belanda juga belum diambil alih. Rakyat mengharapkan tindakan ambil alih dari Pemerintah, terutama terhadap perusahaan-perusahaan mereka yang sudah terbukti membantu kaum pemberontak.


Masalah kerjasama dengan kekuatan tengah

Kawan-kawan,

Pergolakan DB di Sumteng, sangat mempengaruhi situasi Jambi yang pada waktu itu administratif Pemerintahannya tunduk ke Sumteng, di bidang militer berada di bawah kekuasaan TT II Sumsel. Pada waktu sob dinyatakan berlaku di seluruh negeri, yaitu setelah kekuasaan dipegang oleh pihak militer, antara DB-”PRRI” dengan “TT II” Barlian cs timbul perjuangan untuk saling menguasai daerah Jambi. Untuk mencegah daerah Jambi sepenuhnya dikuasai oleh DB-”PRRI” atau oleh Barlian cs, dan sesuai dengan kepentingan Rakyat Jambi Partai menyokong dan menganjurkan politik menuntut Otonomi Tingkat I bagi daerah Jambi, politik ini mendapat dukungan dari semua pihak. Dengan politik ini usaha dari sementara orang-orang yang hendak menyeret daerah Jambi membantu DB-”PRRI” dapat digagalkan. Tuntutan Otonomi Tingkat I, akhirnya menjadi pendirian semua partai-partai, termasuk Masyumi kecuali PSI. Karena tuntutan Otonomi ini menyangkut kepentingan semua golongan, maka kerja sama di kalangan Partai-partai, juga dengan beberapa tokoh-tokoh Masyumi dapat kita wujudkan. Ikutnya beberapa dari tokoh-tokoh kepala batu dalam perjuangan menuntut otonomi ini, ialah dengan tujuan untuk dapat terus berkuasa, atau untuk mempertahankan kedudukannya dalam badan-badan instansi pemerintahan, atau untuk mengharapkan kedudukan baru dalam Pemerintahan Otonomi yang akan dibentuk itu nanti. Begitu pun dari sebagian golongan tengah, juga ada yang dengan harapan seperti itu. Ini dibenarkan oleh kenyataan, bahwa baru saja ada tanda-tanda bahwa Pemerintah Pusat menyetujui pembentukan Otonomi Daerah, orang-orang yang ingin kedudukan ini, segera menyusun formasi kepegawaian di kalangan mereka untuk menduduki jabatan-jabatan penting di instansi-instansi Jawatan Pemerintahan, disamping mereka berlagak kepada rakyat sebagai pejuang membela kepentingan daerah dan kepentingan rakyat.

Dalam perebutan kedudukan ini, terdapat kontradiksi yang juga tajam antara kekuatan tengah dengan kepala batu, usaha mendepak kepala batu dari jabatan-jabatan penting, karena mereka sudah mempunyai jaringan-jaringan yang kuat sebelumnya, bukan pekerjaan yang mudah bagi golongan tengah. Karena adanya faktor psikologis yang khusus mengenai Jambi, baik kekuatan tengah maupun kepala batu, sama-sama berkepentingan untuk mencegah timbulnya kontradiksi yang tajam di antara mereka, faktor yang juga mengikatkan kekuatan tengah pada kepala batu. Karena adanya faktor ini menyebabkan tidak adanya keberanian kekuatan tengah melawan kepala batu, disamping kuatnya kedudukan kepala batu dalam badan-badan perwakilan (DPRD-DPRD) dan DPD-DPD Provinsi dan Kabupaten-kabupaten.

Kawan-kawan, tentang tidak teguhnya kekuatan tengah menjalankan politik yang progresif anti-imperialis dan anti-feodal, seperti yang dikatakan Kawan D. N. Aidit dalam Laporan CC pada Kongres ini, yaitu, bergantung kepada tepat atau tidak tepatnya garis politik Partai dalam menghadapi kekuatan tengah, bergantung kepada besar atau kecilnya kekuatan Partai sendiri sebagai sandaran kekuatan tengah, bergantung kepada ada atau tidak adanya pukulan yang jitu dari kekuatan progresif terhadap kepala batu yang menguntungkan kekuatan tengah, sepenuhnya dibenarkan oleh pengalaman Partai kita di daerah Jambi. Belum berhasilnya Partai kita bersatu dengan kekuatan tengah untuk tetap berada di pihak kekuatan progresif yang dengan teguh menjalankan politik anti-imperialis dan anti-feodal, menentang politik reaksioner dan kepala batu, karena belum berhasilnya Partai kita memobilisasi massa yang luas, kaum buruh dan kaum tani, dan karena belum berhasilnya kita meningkatkan lebih tinggi kesadaran politik massa rakyat kepada taraf yang lebih tinggi, terutama kesadaran politik kaum tani yang masih terbelakang dari kaum buruh.



Masalah organisasi Partai

Kawan-kawan,

Masalah Pembangunan Partai yang ditetapkan oleh Sidang Pleno Ke-IV CC tahun 1956, belum terlaksana dengan baik. Belum terlaksananya Plan ini, disebabkan karena adanya kelemahan-kelemahan dalam Partai kita, baik di lapangan ideologi, maupun di lapangan organisasi. Keadaan organisasi Partai kita, sebagai badan yang akan melaksanakan tugas belum tersusun dengan baik, Comite-comite Seksi, Sub-seksi dan Comite-comite Resort selfstanding belum mampu memberikan pimpinan pada massa anggota dalam melaksanakan pekerjaannya sehari-hari, disamping Comite-comite atasan belum dapat memberikan pimpinan yang tepat pada Comite-comite bawahan. Kolektifitas sebagai syarat pokok bagi kelancaran jalannya organisasi belum terwujud dalam badan pimpinan Partai, disamping belum terwujudnya kolektifitas, rasa tanggung jawab kader-kader terhadap Partai sangat tipis sekali. Kurangnya rasa pertanggungan jawab ini disebabkan karena belum dikuasainya oleh kader-kader kita fungsinya sebagai pimpinan terhadap kemajuan Partai. Disamping itu kawan-kawan yang memegang fungsi dalam Partai, umumnya terdiri dari kawan-kawan yang mempunyai pekerjaan khusus di lapangan lain, karena terikat pada pekerjaannya amat sedikit sekali waktu dan tenaganya yang dapat dipergunakan untuk Partai, untuk mendatangi Comite-comite bawahan dan sebagainya. Hal ini menyebabkan kurang dikuasainya oleh kader-kader kita tentang keadaan Partai yang sesungguhnya di Comite-comite bawahan. Karena kurangnya penguasaan pimpinan terhadap keadaan organisasi menyebabkan pimpinan tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagai pimpinan Partai.

Tentang pendiskusian Plan yang dapat dikatakan baik, baru terbatas hingga Comite-comite Subseksi, sedangkan massa anggota begitu juga pimpinan-pimpinan Resort belum memiliki hakekat Plan, untuk apa Partai membikin Plan dan tujuan apa yang harus dicapai dengan Plan.

Kawan-kawan. Sebab-sebab lain yang merintangi pelaksanaan Plan ialah keadaan situasi sendiri. Ketika Plan baru mau dilaksanakan di Sumteng timbul pergolakan DB-”PRRI” yang sangat mempengaruhi situasi dan pekerjaan Partai di daerah Jambi. Penangkapan-penangkapan yang dilakukan oleh DB-”PRRI” terhadap kawan-kawan kita di Sumbar, dalam Partai timbul gejala-gejala menyerahisme yang menampakkan dirinya dalam bentuk tidak mau tahu terhadap Partai dan menghentikan sama sekali kegiatan organisasi. Pentingnya usaha mengaktifkan dan memperkuat Partai dan organisasi-organisasi rakyat sebagai senjata di tangan rakyat tidak diyakini sepenuhnya, adanya sikap acuh tak acuh terhadap pemberontak DB-”PRRI”, sebagai pernyataan watak bimbang dan ideologi borjuis-kecil yang tidak teguh dalam perjuangan. Karena belum adanya kesatuan ideologi, kesatuan tindakan dan kesatuan pendapat dalam Partai, karena belum adanya cara kerja dan pembagian pekerjaan yang tepat dalam Partai, kanena belum adanya koletifitas dalam badan pimpinan Partai, kelemahan-kelemahan ini tidak segera dapat diatasi, sedangkan di kalangan massa anggota dan rakyat membutuhkan sekali adanya pimpinan yang tepat dari Partai. Tapi karena adanya kelemahan-kelemahan ini keinginan massa anggota dan rakyat untuk mendapat pimpinan dari Partai belum dapat terpenuhi oleh Partai. Karena tidak adanya pimpinan ini, tidak saja di kalangan rakyat, di dalam Partai pun, tampak adanya kebingunan yang pada akhirnya menimbulkan rasa takut, menyerahisme seperti disebutkan di atas. Di sementara kader untuk menyelimuti ketakutan ini, kewaspadaan yang dianjurkan oleh Partai, digunakan sedemikian rupa bukan untuk memperkuat Partai mengkonsolidasi organisasi, tapi membenarkan dengan tidak mengadakan perlawanan terhadap pikiran-pikiran yang dengan atas nama kewaspadaan, sob dan sebagainya menghentikan sama sekali kegiatan-kegiatan Partai.

Kawan-kawan. Tentang belum berkuasanya ideologi proletar dalam Partai tidak saja berakibat tidak terurusnya masalah organisasi, dan tidak dapatnya Partai memberikan pimpinan pada rakyat, tapi juga berakibat timbulnya ketegangan-ketegangan dalam badan pimpinan Partai. Ketegangan ini timbul hanya disebabkan karena perbedaan-perbedaan pendapat — yang memang wajar — mengenai masalah yang dihadapi oleh Partai, ketegangan-ketegangan ini jika tidak segera diatasi akan sangat membahayakan Partai. Ucapan-ucapan “tidak mau aktif, terserah pada kawan-kawan”, “merajukisme”, dan sebagainya, sebagai pernyataan ideologi tuan tanah sering dikemukakan dalam Partai. Diskusi-diskusi yang diadakan oleh Partai lebih banyak digunakan untuk menyelesaikan soal-soal seperti ini daripada mendiskusikan masalah tugas-tugas Partai. Dari pengalaman ini amat dirasakan sekali oleh Partai kita, betapa perlu dan dibutuhkannya oleh Partai adanya kesatuan ideologi, kesatuan pendapat, kesatuan tindakan dan kolektifitas dalam badan pimpinan Partai. Masalah mewujudkan kesatuan ini, merupakan masalah yang penting bagi Partai kita di daerah Jambi.

Disamping itu masalah menggunakan kritik otokritik sebagai suatu metode untuk menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi yang timbul dalam Partai, juga memerlukan suatu pengertian dan penguasaan yang mendalam tentang prinsip-prinsip bagaimana cara menggunakannya, dan tujuan utama yang harus dicapai dengan kritik otokritik ini bagi kader-kader Partai. Tanpa memiliki prinsip-prinsip ini, kritik yang dimaksudkan untuk menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi yang ada, malah menimbulkan sebaliknya yaitu mempertajam kontradiksi-kontradiksi itu. Karena belum menguasai sepenuhnya prinsip-prinsip ini, kritik otokritik yang pernah kita adakan belum dapat berhasil membawa perbaikan-perbaikan dalam Partai.

Demikian beberapa persoalan yang dihadapi oleh Partai kita yang menyebahkan Plan belum dapat dilaksanakan dengan baik. Disamping Comite-comite bawahan yang belum tersusun rapi, disamping kekurangan kader di tiap tingkat organisasi dan keterbatasan tenaga kader yang dapat digunakan untuk Partai, ditambah lagi dengan masih rendahnya teori kader, serta tipisnya rasa tanggung jawab kader terhadap Partai. Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ini, untuk dapat melaksanakan tugas-tugas Partai selanjutnya penting sekali artinya peringatan Kawan D. N. Aidit yang dikemukakan dalam laporan CC, memperbaiki cara kerja, langgam kerja Partai, mewujudkan kolektifitas dan menjaga kemurnian ideologi Marxisme-Leninisme dalam Partai. Terlaksana atau tidaknya tugas-tugas Partai, dalam pengalaman kita sepenuhnya bergantung kepada ada atau tidak adanya cara kerja dan langgam kerja yang tepat dalam Partai, bergantung kepada ada atau tidak adanya kesatuan ideologi, kesatuan pendapat dan kesatuan tindakan dalam Partai.

Kawan-kawan. Mengingat keadaan Partai kita pada waktu ini, pekerjaan memperkuat Comite-comite Partai, mengadakan pembagian pekerjaan di dalam Partai, mengaktifkan dan memperbarui Comite-comite Partai di semua tingkat, adalah pekerjaan yang mendesak yang harus segera dilaksanakan. Kemudian meneruskan pelaksanaan Plan, mengkonkretkan keanggotaan, mengintensifkan pembentukan Grup-grup, membuang cara kerja yang liberal dan cara berpikir yang subjektif. Jika pekerjaan ini dapat kita laksanakan, barulah ada kemungkinan bagi Partai kita untuk menduduki tempatnya melaksanakan tugas sejarah yang dipikul oleh kelas proletariat sebagai Partai pelopor, sebagai jenderal-staf dari massa rakyat yang mampu mempersatukan massa rakyat ke bawah panji-paji Partai, guna berjuang menghapuskan sama sekali kekuasaan imperialisme dan tuan tanah, menuju pembangunan Indonesia baru yang merdeka di lapangan politik, ekonomi dan kebudayaan, membangun masyarakat Indonesia yang demokratis, bersatu dan makmur sebagaimana yang dicantumkan dalam Program PKI.

Demikian sambutan kami terhadap Laporan CC pada Kongres Nasional ke-VI Partai yang disampaikan oleh Kawan D. N. Aidit, dan keterangan-keterangan kami terhadap persetujuan kami pada Laporan CC.

Terima kasih.[]

______________________

Dikutip utuh dari Marxis.org (dimuat dan diedit oleh Ted Sprague, 22 September 2012). Sumber yang digunakan adalah Bintang Merah Nomor Special Jilid II, Dokumen-Dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1960.


Read more…

Pidato Kawan Adenan Rachman (Sekretaris CDB PKI Jambi) dalam Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959


KAWAN-KAWAN,

Jauh sebelum Kongres yang besar ini dimulai kepada kita telah disampaikan material dari Kongres kita yang sekarang sedang berlangsung ini, dan telah pula dibahas di daerah-daerah.

Atas semua bahan-bahan ini kami dari CDB Jambi mengemukakan pendapat, bahwa Partai kita telah menunjukkan kesungguhannya yang besar dalam memimpin Revolusi Nasional Indonesia. Ini dibuktikan dengan surat terbuka dari CC yang berupa seruan kepada Rakyat umum, baik yang berada di dalam maupun di luar barisan PKI untuk memajukan pendapat-pendapatnya yang berupa saran-saran dan kritik-kritik atas Material Kongres.

Dengan ini sebagai Partai kelas proletar ia menunjukkan kejujuran dan keberaniannya, sekaligus ia menjadikan Kongres ini bukan hanya Kongres dari kaum Komunis saja tetapi juga dari Rakyat Indonesia yang anti-imperialisme dan anti-feodalisme. (tepuk tangan). Singkatnya, langgam ini membuat Partai kita satu dengan Rakyat Indonesia, dan bersatu dengan Rakyat Indonesia berarti membina suatu benteng yang tak terkalahkan oleh musuh-musuh Rakyat dan selanjutnya akan merupakan jaminan bagi kehancuran musuh-musuh Rakyat. (tepuk tangan).

Laporan Umum Kawan Aidit yang mengatakan imperialisme Belanda masih tetap musuh pertama Rakyat Indonesia, bahwa Indonesia masih tetap negeri setengah-feodal dan bahwa imperialisme AS sudah merupakan bahaya yang terus-menerus mengancam kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia, kami uji kebenarannya di daerah kami, ia ternyata benar. Tak mungkin kami uraikan seluruhnya tetapi beberapa contoh dapat kami tunjukkan sebagai berikut:

Di daerah Jambi menurut kenyataannya seluruh perusahaan Belanda masih baru dalam tingkatan pengawasan Pemerintah, belum ada yang dinasionalisasi kecuali NV Jacobson v.d. Berg dan Borsumy yang sekarang namanya berturut-turut menjadi Yudha Bakti Corporation dan Indevitra, sedangkan perusahaan-perusahaan lainnya seperti Internatio, Perkebunan Pondokmeja (NV Mayanglanden) dan perkebunan HVA Kayu Aro tidak tentu statusnya, juga tidak terpelihara dengan baik untuk maksud membantu keuangan Negara dan nasib kaum buruhnya.

Selain dari perusahaan-perusahaan tersebut di atas, modal Belanda yang masih utuh juga terdapat di Jambi, seperti modal BPM pada PT Permindo sebanyak 50%; disamping kekuasaan modalnya itu juga terdapat kekuasaan BPM melalui apa yang disebut “bantuan teknik” dari BPM, ini sangat mempengaruhi hidupnya perusahaan PT Permindo karena bantuan itu meliputi alat-alat material dan tenaga-tenaga ahli.

Sisa-sisa pikiran kolonial, “Hollands denken” masih juga belum terhapus habis dari pikiran sementara pembesar-pembesar Pemerintah Daerah serta tenaga-tenaga pimpinan di perusahaan-perusahaan penting tersebut di atas, seperti pikiran-pikiran bahwa Rakyat Indonesia tidak tahu apa-apa. Maka itu tidak perlu diajak berunding mengenai soal-soal negara dan sebagainya, dan oleh karena itu cukuplah sesuatunya ditentukan dari atas saja; pikiran yang memandang Belanda masih superior dalam segala hal sehingga menganggap rendah kemampuan diri sendiri dan massa Rakyat. Golongan-golongan yang berpikiran semacam ini banyak terlibat dalam gerakan “PRRI” karena pertautan pikiran mereka yang tidak demokratis dan “Hollands denken” tersebut yang hendak memaksakan kemauannya atas pundak Rakyat. Jadi secara Nasional Belanda adalah musuh pertama Rakyat Indonesia, yang pengaruhnya secara langsung dirasakan oleh Rakyat pekerja di Jambi.

Sisa-sisa feodalisme juga masih bercokol dan berkuasa dengan masih adanya di daerah Jambi sistem bunga kayu, bunga pasir, rodi, maro tanah dengan pembagian 1:2 (1/3 bagian untuk yang mengerjakan, 2/3 bagian untuk pemilik tanah). Keadaan seperti ini banyak terdapat, sehingga Laporan Umum Kawan Aidit yang mengatakan bahwa negeri kita adalah setengah feodal sepenuhnya adalah benar.

Laporan Umum Kawan Aidit memberikan kewaspadaan yang besar kepada kita dengan dikemukakan dengan fakta-fakta yang lengkap bahwa imperialisme AS telah merupakan bahaya yang terus-menerus mengancam kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Peringatan ini mempunyai arti yang penting bagi Rakyat Indonesia untuk lebih berjaga-jaga dan dengan cepat serta tepat pada waktunya mengambil tindakan-tindakan seperlunya sesuai dengan perkembangan selanjutnya.

Pada puncak kekuasaan “DB/PRRI” kita melihat dengan jelas usaha-usaha membarter, hubungan-hubungan langsung dengan luar negeri dari tokoh-tokoh tertentu di Jambi; semuanya ini adalah usaha-usaha yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan AS yang memutus-mutus kekuasaan Pusat ke Daerah-Daerah, dan Daerah menjadi tunduk secara langsung kepadanya. Tugas ini dilakukan oleh gembong-gembong Masyumi-PSI yang sebagian besar dari mereka yang sekarang ini masih bercokol dalam Pemerintahan dan memegang fungsi-fungsi penting. Pantai Daerah Jambi yang dekat letaknya dari Singapura dan banyaknya sungai-sungai yang menyusup ke pedalaman yang tidak terjaga, merupakan tempat-tempat baik sebagai saluran (doorloop-station) bagi kaki tangan-kaki tangan Amerika untuk memasukkan senjata dan berbagi-bagi alat, hal mana mempermudah dan mendorong AS memperbanyak kaki tangannya di daerah ini.

Karena pertautan AS dengan KMT yang begitu erat, maka politik AS tersebut di atas adalah terwujud dalam bentuk kegiatan KMT di Jambi. Dalam pelaksanaan berlakunya barter liar di Jambi, KMT melakukan peranan yang besar.

Infiltrasi kebudayaan AS juga semakin terasa di Jambi, tarian Hullahoop sudah mulai menjalar sampai di beberapa kampung yang fanatik agama, lagu-lagu Amerika mengisi hati pelajar, begitu juga gaya-gaya cowboy dan sebagainya; jika dulu kami hanya mendengar di Jakarta, sekarang kami lihat di Jambi, ini adalah akibat buruk dari film-film AS yang menguasai pasaran. Dilihat dari kenyataan yang tersebut di atas, benarlah apa yang dikatakan dalam laporan Kawan Aidit bahwa imperialisme AS telah merupakan bahaya yang terus-menerus mengancam kedaulatan RI.

Partai tidak saja mengonstatir penghidupan yang jelek dari sebagian besar Rakyat Indonesia sebagai akibat dari krisis ekonomi tetapi ia juga menunjukkan jalan keluar dari krisis tersebut dengan jalan memperkuat ekonomi sektor Negara di antaranya melalui pengambilalihan perusahaan-perusahaan milik kolonial Belanda dan KMT, memperluas areal tanah garapan, melakukan perdagangan luar negeri yang dititikberatkan pada memperluas hubungan dengan negeri-negeri sosialis, menguasai devisen yang dihasilkan oleh maskapai minyak asing, ekspor-impor dan distribusi bahan-bahan penting dikuasai oleh Pemerintah dan lain-lain. Jalan keluar yang ditunjukkan oleh Partai ini benar-benar akan menciptakan syarat untuk melepaskan Indonesia dari cengkeraman krisis ekonomi yang terus-menerus yang hingga sekarang berlangsung di negeri kita ini. Ia akan mengurangi pengangguran, ia akan menyetop kenaikan harga barang, ia akan memperbaiki tingkat hidup massa Rakyat banyak dan sebagainya.

Satu hal yang penting lagi ditekankan bahwa dalam memperbesar produksi di perusahaan-perusahaan negara harus dijalankan semboyan “pimpinan patriotik, mempertinggi produksi, cegah sabotase, dan perbaiki nasib buruh”. Ini berarti kita menyokong usaha memperbesar produksi dan pembangunan dengan syarat diperbaikinya nasib kaum buruh, begitu juga mempertinggi tingkat hidup kaum tani. Ini adalah sebaliknya dari pikiran kaum reaksi yang hendak melakukan pembangunan dan mempertinggi produktifitas kerja dengan semboyan “untuk mempertinggi pendapatan nasional” atas keuntungan kaum kapitalis semata-mata dan atas kerugian kaum buruh dan kaum tani. Pembangunan yang semacam ini sudah tentu kita tolak.

Tuntutan-tuntutan di atas disamping ia merupakan jalan keluar dari krisis ekonomi di Indonesia, ia juga merupakan bantahan terhadap kaum reaksioner yang hendak mengatasi krisis ekonomi ini dengan jalan lebih banyak mengundang penanaman modal asing, dengan memperbanyak pajak-pajak atas Rakyat Indonesia.

Sebagai akibat daripada krisis ekonomi di Indonesia yang semakin mendalam kaum buruh, kaum tani, kaum miskin kota dan kaum intelegensia mengalami kesulitan-kesulitan besar.

Kaum buruh di Jambi menderita ketidakadilan sosial yang mendalam, upah yang rendah, pengangguran, dan sebagainya. Menurut DHP resort Jambi upah buruh pelabuhan sebelum BE adalah rata-rata Rp. 710,- sebulan sedangkan kebutuhan seorang buruh pada waktu itu adalah Rp. 1.144,50; sesudah BE (Juni ’59) upah riil merosot menjadi Rp. 615,- sedangkan kebutuhan meningkat menjadi Rp. 2.019,45 sebulan.

Lebih celaka lagi bagi buruh harian Pemerintah “Otonom” dimana masih terdapat upah Rp. 234,12 sedangkan kebutuhan hidup sama dengan jumlah tersebut di atas yaitu Rp. 2.019,45 sebulan. Dalam hal ini belum termasuk kebutuhan anggota-anggota keluarga.

Disamping upah yang rendah, juga semakin banyak pengangguran. Dari catatan KPT Jambi pada bulan Desember 1957 terdapat 572 penganggur, Juni 1958 763 penganggur dan pada bulan Januari 1959 menjadi 753 orang. Jumlah ini baru meliputi orang-orang yang mendaftarkan diri, yang belum mendaftarkan tentu masih banyak lagi. Jika kita ambil saja jumlah ini lipat dua kali, maka ini akan berarti 1.506 orang atau 12.5% dari jumlah buruh seluruhnya (Jumlah buruh di Jambi 11.863 orang belum termasuk tentara dan polisi dan buruh-buruh Kerinci). Tentang Kantor Penempatan Tenaga kurang kaum buruh mendengarnya.

Pendapatan-pendapatan yang tidak mencukupi dari memburuh membikin mereka banyak beralih ke pekerjaan berdagang kecil, atau memburuh sambil berdagang kecil, ini pun tak dapat mencukupi keperluan sehari-hari.

Kaum tani sekalipun menjual hasil tanamannya dengan harga yang lebih tinggi dari biasa, tetapi setelah ia mempergunakan uangnya untuk membeli bahan-bahan kebutuhan sehari-hari, mereka juga menghadapi kekurangan-kekurangan.

Kaum intelektual, seperti guru-guru merasakan sulitnya beban hidup yang memaksa mereka bekerja lembur terus-menerus sehingga waktu dan spirit mereka habis, ini membikin kelesuan mereka untuk memperdalam ilmu pengetahuan, dan hasil pekerjaan mereka mengenai sesuatu pekerjaan yang dipegangnya menjadi tak sempurna. Sedang bahan-bahan pelajaran, seperti buku-buku dan lain-lainnya amat tinggi harganya; ini juga menjadi penghambat kemajuan.

Dari hari ke hari nampak tekanan-tekanan semakin berat dalam kehidupan Rakyat, barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari misalnya gula pasir dan sebagainya acap kali hilang dari pasaran. Kesulitan-kesulitan ini bertambah lagi karena jeleknya dan kurangnya perhubungan lalu-lintas. Sebagai akibat yang menyolok dan jeleknya perhubungan ini, dapat dikemukakan bahwa kentang dan cabe misalnya di Jambi harganya meningkat 4 sampai 5 kali, malahan puluhan rupiah.

Fakta-fakta yang terdapat di daerah Jambi ini meyakinkan kami akan analisa yang tepat dari Partai mengenai krisis ekonomi di Indonesia.

Dalam masalah Front Persatuan laporan Kawan Aidit mengatakan bahwa tidaklah mudah bagi kekuatan progresif untuk mengembangkan dirinya, telah dibenarkan oleh pengalaman-pengalaman sejarah. Laporan Umum Kawan Aidit juga menekankan untuk yang ke sekian kalinya bahwa untuk mengubah imbangan kekuatan pekerjaan Partai yang utama dan terus-menerus ialah membangktikan, mengorganisasi dan memobilisasi massa Rakyat terutama buruh dan tani, suatu hal yang sekali-kali tidak boleh diabaikan dalam penggalangan front persatuan menuju ke kemenangan Revolusi.

Kesimpulan ini sangat tepat. Kami mengalami juga hal-hal yang membenarkan kesimpulan ini. Kita bisa berhasil menggalang front persatuan, kalau program yang diajukan adalah tepat dan menguntungkan kedua belah pihak.

Tetapi bila kaum borjuis jauh lebih kuat dari kekuatan progresif maka kerja sama sukar dilaksanakan. Namun sikap demikian tidak bisa menghentikan usaha-usaha Partai untuk menggalang Front Persatuan.

Jadi penggalangan front persatuan hanya bisa berhasil, kalau kita berhasil mengorganisasi dan memobilisasi Rakyat di bawah pimpinan Partai.

Kami berpendapat bahwa Laporan Umum Kawan Aidit telah mencakup segala persoalan fundamental yang berkenaan dengan penyelesaian Revolusi Nasional Indonesia sekarang ini.

Akhirnya, sambutan umum ini kami tutup dengan keyakinan yang sepenuh-penuhnya akan kebenaran-kebenarannya. Dan berdasarkan itu kami menyetujuinya dengan penuh kesadaran. Kami juga meyakini akan kemampuan Partai untuk menyukseskan garis-garis yang telah dipatokkan dalam Laporan Umum tersebut, dan kami berjanji akan berusaha sekeras-kerasnya untuk perjuangan yang mulia dan luhur ini.

Sekian! (tepuk tangan).[]

______________________

Dikutip utuh dari Marxis.org (dimuat dan diedit oleh Ted Sprague, 22 September 2012). Sumber yang digunakan adalah Bintang Merah Nomor Special Jilid II, Dokumen-Dokumen Kongres Nasional Ke-VI Partai Komunis Indonesia, 7-14 September 1959. Yayasan Pembaruan, Jakarta 1960.


Read more…

Mei 18, 2014

Laporan Tiga Penduduk Jambi tentang Ancaman dari Sejumlah Kapal Perang Johor di Sungai Batanghari, 11 September 1714


Barbara Watson Andaya, “Laporan Tiga Penduduk Jambi tentang Ancaman dari sejumlah Kapal Perang Johor di Sungai Batanghari, 11 September 1714”, dalam Harta Karun: Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta, dokumen 10. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2013.


LAYAKNYA KERAJAAN-kerajaan Melayu lain di sepanjang Selat Melaka, seperti Indragiri, Palembang dan Johor, maka Jambi juga membawahi sejumlah kelompok Orang Laut yang bermata pencaharian sebagai nelayan dan pengumpul hasil laut. Permukiman utama Orang Laut di Jambi terletak di Simpang, yaitu di muara Sungai Nior, sebuah anak sungai dari Sungai Batang Hari yang memuntahkan airnya ke Selat Melaka. Dari pangkalan inilah Orang Laut menyebar-luaskan berbagai berita tentang kegiatan maritim, membimbing kapal-kapal yang berlayar masuk ke hulu sungai dan melakukan patroli di lajur-lajur pelayaran di sekitarnya. Apabila terjadi penyerbuan, maka mereka mengerahkan armada kapal mereka, menyerang kapal-kapal musuh dan (atas perintah penguasa) seringkali mengganggu kapal-kapal yang dalam perjalanan menuju pelabuhan lain dengan tujuan untuk menghancurkan kegiatan perdagangan musuh. Demikianlah, maka Orang Laut sebenarnya merupakan unsur kunci dalam ekonomi Jambi, dan berperan pokok dalam menopang keamanan. Sebagai imbalan, maka penguasa menganugerahkan para pemimpin Orang Laut berbagai gelar kehormatan dan juga sejumlah hadiah (termasuk wanita) serta mengizinkan mereka memiliki sebagian dari hasil rampasan yang mereka peroleh ketika melancarkan serangan tersebut. Ciri tradisional dari semua masyarakat Orang Laut adalah kesetiaan dari setiap anggota mereka kepada penguasa yang mereka layani.

Selama abad ke-enam belas, Jambi menjadi terkenal berkat lada yang ditanam di dataran tinggi, dan di tahun 1615 Kompeni Belanda dan Kompeni Inggris mendirikan pangkalan-pangkalan mereka masing-masing di kawasan tersebut. Pada masa itu, Jambi bersekutu dengan Johor, akan tetapi kemudian timbul sejumlah perselisihan ketika mereka berdua menyatakan berhak mengendalikan Tungkal, yaitu sebuah kawasan di perbatasan Jambi dengan Indragiri yang merupakan jalan masuk ke kawasan pedalaman tempat lada ditanam. Antara 1671 dan 1674, perselisihan yang berkepanjangan itu memuncak menjadi sebuah konflik terbuka, Orang Laut yang tunduk pada penguasa Jambi merompak kapal-kapal di perairan Johor, sementara Orang Laut dari Johor melancarkan aksi serupa di Jambi. Armada Johor bahkan berlayar masuk ke Sungai Batang Hari dan mengancam ibu kota Jambi. Namun, hubungan mereka kemudian membaik dan di tahun 1681 para penguasa Jambi dan Johor masih bersedia untuk membina suatu persekutuan guna menghadapi saingan bersama mereka yaitu Palembang. Orang Laut dari kedua kerajaan menyerang kapal-kapal dagang di perairan Palembang dan juga menjarah kawasan pesisir.

Menjelang akhir abad ketujuh belas kesetiaan Orang Laut menghadapi ujian. Ekononi Jambi merosot tajam akibat jatuhnya harga lada dan keresahan semakin meluas sehingga di tahun 1687 Belanda mencomot serta membuang penguasa dan melantik putranya, Kiai Gede, sebagai penguasa baru. Akan tetapi, sebagian Orang Laut menolak untuk mengalihkan kesetiaan mereka kepada sultan baru yang tidak disenangi utamanya karena akibat ekonomi yang buruk, penguasa tidak dapat memberi mereka ganjaran seperti yang dilakukan para penguasa sebelumnya. Beberapa di antara mereka bahkan meninggalkan Jambi dan menjadi kawula penguasa Indragiri. Sebagian lagi tetap tinggal di Jambi karena percaya bahwa Kiai Gede adalah raja yang sah dan seyogyanya mendapat kesetiaan mereka, kendati mereka maklum bahwa beliau memiliki sejumlah kekurangan.

Sementara itu Johor juga menghadapi sejumlah masalah. Di tahun 1699, ketika penguasa dibunuh oleh kelompok elit, sejumlah kelompok Orang Laut menolak untuk melayani sultan baru (yang merupakan pemimpin dalam komplotan pembunuhan sultan lama) dan memilih untuk menjadi kawula Sultan Palembang. Namun, banyak Orang Laut tetap setia pada dinasti baru karena mereka tetap dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan Johor yang rancak. Kesejahteraan tersebut berimbas bahwa semakin banyak kapal yang kemudian berkunjung ke ibukota Johor yang baru yang terletak di pulau Bintan (dekat Singapura masa kini) dengan akibat bahwa keuntungan yang selama itu mengalir ke Melaka yang berada di bawah kendali VOC terus menurun. Saudara laki-laki Sultan Melaka yaitu Raja Muda yang sangat berkuasa, juga memanfaatkan Orang Laut untuk memengaruhi para mualim kapal agar tidak memilih pelabuhan lain di Selat Melaka atau bahkan menghalangi mereka. Jurus-jurus siasat demikian melahirkan semangat permusuhan besar antara Johor dan Melaka yang dikuasai Belanda.

Di bulan September 1714, konflik antara Johor dan Jambi kembali memuncak ketika Kiai Gede berusaha menghalangi kegiatan penyelundupan lada Jambi yang disalurkan dari dataran tinggi ke Johor melalui Sungai Tungkal; usaha tersebut dilakukannya karena penyelundupan itu memangkas tajam pendapatan yang sangat diperlukan itu. Kendati para bangsawan istana tidak menyukai Kiai Gede, mereka dan juga residen Belanda (Isaac Panhuys) menjadi cemas ketika mendapat laporan-laporan tentang keberadaan sejumlah kapal Johor di hilir sungai. Tumenggung Mangkubumi, seorang tokoh bangsawan, Pangeran Nattadiningrat (menantu Kiai Gede) dan Residen kemudian mengirim lima kapal bersenjata ke hilir sungai untuk melakukan investigasi. Ternyata, kapal-kapal Johor itu sudah tiba di Sungai Batang Hari melalui Kuala Nior dan juga melewati sebuah sungai sempit yang dikenal dengan nama “celah nyamuk”. Orang-orang Johor itu membujuk Orang Laut Jambi supaya meninggalkan keluarga mereka dengan mengatakan bahwa hidup mereka akan menjadi lebih baik apabila menjadi kawula penguasa Johor. Ketika bujuk rayu mereka tidak membuahkan hasil, mereka membumihanguskan Simpang dan menangkap sejumlah Orang Laut. Mereka juga menyerang empat kapal Jawa dan membunuh sejumlah orang di kapal-kapal tersebut – tindakan mereka itu dilakukan sebagai peringatan bahwa kapal-kapal dagang sebaiknya memilih Johor dan bukan Jambi.

Dokumen ini menggambarkan dengan jelas tidak hanya peran penting yang dimainkan Orang Laut dalam persaingan ekonomi antara negara-negara Melayu, melainkan juga bahwa Orang Laut Johor, seperti penguasa mereka, merasa mampu menantang Melaka yang dikuasai Belanda, dan bahkan juga Batavia. Dalam kisah ini, ancaman penyerbuan Johor ke Jambi tidak menjadi kenyataan dan persaingan antara kedua kerajaan juga memudar sesudah Minangkabau menaklukkan Johor di tahun 1718 serta Kiai Gede meninggal di tahun 1719. Kendati Orang Laut tetap memiliki peran ekonomi penting selama abad kedelapan belas, hubungan mereka dengan para penguasa Johor dan Jambi memudar oleh karena peran mereka di bidang keamanan dan pertahanan diambil alih oleh para pendatang Bugis dan Makasar yang berdatangan dan menetap di kawasan Melayu.

________________
Dikutip utuh dari bagian “Pengantar”. Teks lengkap, mencakup pengantar, transkripsi dari teks bahasa Belanda, terjemahan bahasa Indonesia, kolofon, dan gambar folio, dapat diunduh di sini.[]


Read more…