Mei 29, 2014

Perjuangan untuk Menjadi Bagian dari Proses Perubahan Agraria yang Menguntungkan: Studi Kasus Perkebunan Sawit di Kabupaten Sarolangun, Jambi


Sutaryono, Amien Tohari, Anik Iftitah, dan Ahmad Nashih Luthfi, “Perjuangan untuk Menjadi Bagian dari Proses Perubahan Agraria yang Menguntungkan: Studi Kasus Perkebunan Sawit di Kabupaten Sarolangun, Jambi”, Ahmad Nashih Luthfi (ed.), Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21: Hasil Penelitian Sistematis STPN, 2012, (Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2012): 36-69.


SIANG HARI 20 Mei 2012, sekitar 50 orang berkendara sepeda motor mendatangi areal perkebunan PT. Jambi Agro Wijaya (JAW) di Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Jambi. Satpam berusaha menghalau, tapi jumlahnya yang sedikit tak membuahkan arti apa pun. Bersama beberapa karyawan lainnya, para satpam lari tunggang langgang. Massa yang tak terbendung kemudian membakar apa saja yang ditemui. Tercatat 60 dari 64 rumah karyawan beserta isinya, 15 hektar kebun kelapa sawit, dan 3 sepeda motor ludes terbakar. Sebuah koran lokal di Jambi memperkirakan kerugian mencapai Rp 5 miliar.

Mengapa pembakaran itu terjadi? Faktor apa yang melatarbelakanginya? Pertanyaan-pertanyaan itu yang berusaha dijawab oleh tim peneliti dari STPN Yogyakarta dalam bagian kedua buku Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21. Menurut mereka, peristiwa pembakaran oleh warga tersebut tidak bisa dipisahkan dari perubahan agraria yang terjadi di Jambi, khususnya pasca-otonomi daerah.

Setelah kejatuhan Orde Baru, reformasi muncul dengan semangat distribusi keadilan yang lebih merata. Salah satu bentuknya adalah pemberian kewenangan kepada daerah untuk mengelola sendiri wilayahnya, yang tertuang dalam kebijakan otonomi. Demi pemerataan dan memendekkan jalur birokrasi, terjadi pemekaran daerah. Di Jambi, berdirinya Kabupaten Sarolangun pada 1999 tidak bisa dipisahkan dari semangat itu.

Sebagai daerah baru, Sarolangun mesti melakukan banyak hal, salah satunya menghasilkan pendapatan yang besar agar bisa membangun daerahnya dan bersaing dengan kabupaten induk. Dengan potensi wilayahnya yang luas, sektor perkebunan menjadi pilihan. Hak guna usaha (HGU) pun banyak diberikan kepada perusahaan perkebunan. Hingga 2012, tak kurang 35 perusahaan perkebunan memiliki HGU di Sarolangun. Yang terluas adalah HGU milik PT JAW yang merupakan anak usaha Bakrie Sumatra Plantation, yakni mencapai 22.021,59 hektar atau 60 persen dari keseluruhan luas HGU.

Kehadiran perusahaan-perusahaan perkebunan itu kerap menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar. Penyebabnya macam-macam, namun umumnya terkait kepemilikan lahan yang tumpang-tindih. Dalam catatan tim peneliti, sepanjang 2011-2012 saja terdapat setidaknya sepuluh konflik lahan yang melibatkan masyarakat dan perusahaan, salah satunya PT JAW.

Konflik masyarakat dengan PT JAW muncul sejak 2007 ketika perusahaan belum lama beroperasi. Masyarakat mengklaim bahwa sekitar 2.000 hektar lahan HGU PT JAW sebenarnya milik mereka. Sementara perusahaan membantah dengan menyebut masyarakat sebagai penggarap liar di lahan HGU.

Klaim masyarakat tersebut disampaikan kepada pemerintah kabupaten lewat surat. Karena tidak ada tanggapan dalam waktu lama, pada Desember 2010 masyarakat menggelar demonstrasi ke DPRD. Sebuah tim yang terdiri atas anggota DPRD, kepolisian, dan TNI kemudian dibentuk untuk melakukan pengecekan. Hasil pengecekan pada Januari 2011 dibahas di rumah dinas Bupati dengan melibatkan juga anggota DPD. Salah satu putusannya, akan dilakukan pengukuran ulang HGU. Apabila ada lahan masyarakat yang terdapat di HGU, ditawarkan dua opsi: di-inclave dari HGU atau dijadikan mitra oleh perusahaan. Namun kemudian keputusan tersebut tidak berlanjut dan tanpa realisasi.

Selain pemerintah daerah, BPN Sarolangun juga melakukan pengecekan dan mediasi pada Agustus 2011. Temuannya lebih rumit: ada lahan yang digarap masyarakat sejak 1986, luasnya tidak seperti diklaim, sebagian sudah dilakukan jual-beli oleh oknum masyarakat, perusahaan juga telah memberikan ganti rugi atas penggarapan lahan HGU oleh masyarakat yang sudah telanjur dikerjakan.

Pada Desember 2011, diadakan pertemuan lanjutan dengan masyarakat dan pemerintah. Saat itu masyarakat mengatakan bahwa tidak pernah ada sosialisasi HGU PT JAW sebelumnya. Pada Februari 2012 juga diadakan pertemuan, tapi pihak PT JAW tidak datang.

Berbagai upaya mediasi dan penyelesaian macet. Hingga kemudian terjadi peristiwa pembakaran itu.

Konflik lahan sebagaimana antara masyarakat dan PT JAW banyak terjadi di Jambi. Pada awalnya banyak sekali lahan di Jambi yang tak bertuan. Hingga 2000-an awal, umum terjadi pembukaan lahan kosong oleh masyarakat. Ketika perusahaan perkebunan mendapatkan HGU, sering HGU-nya tumpang-tindih dengan lahan bukaan dari masyarakat. Terlebih ketika kelapa sawit menjadi primadona perkebunan sejak 1990-an, masyarakat seperti berlomba membuka lahan. Hadirnya perusahaan-perusahaan perkebunan besar di Jambi juga disebabkan demam sawit yang sama.

Menurut tim peneliti, yang terjadi sesungguhnya baik masyarakat maupun perusahaan tengah bertarung untuk masuk ke dalam arena pasar sawit yang lebih luas. Karena pintu masuk untuk sampai ke sana adalah kepemilikan tanah, perebutan tanah menjadi tak terhindarkan. Perusahaan masuk lewat HGU, sementara masyarakat lewat pembukaan lahan. Perubahan agraria di Jambi belakangan banyak ditentukan oleh faktor itu. Di sini terlihat bahwa baik perusahaan maupun masyarakat berkonflik karena keinginan untuk menjadi bagian dari perubahan agraria yang mereka anggap menjanjikan dan menguntungkan (the struggle for better incorporation).

Konsep better incorporation yang digagas tim peneliti diinspirasi oleh John F. McCarthy. Dari hasil risetnya sepanjang 2007-2009 di Jambi, McCarthy menemukan bahwa ada banyak pola pelibatan masyarakat dalam sistem besar niaga sawit, antara lain plasma atau kemitraan, yakni lahan milik masyarakat digarap oleh perusahaan dan masyarakat mendapatkan bagi hasil darinya. Pola ini sering kali tidak transparan terkait hasil dan keuntungan, sehingga merugikan masyarakat. Dengan temuan tersebut, McCarthy menunjukkan bahwa kemiskinan atau ketidakberdayaan sering kali bukan karena orang tidak dimasukkan dalam sebuah sistem (exclusion), melainkan pelibatan mereka (inclusion) memang diskemakan untuk membuat mereka tidak berdaya dan merugi (adverse incorporation). Konflik juga acap muncul akibat pola yang tak menguntungkan masyarakat atau petani ini.

Penelitian tim STPN Yogyakarta membantah bahwa persoalan konflik bukan saja karena pelibatan yang merugikan, tetapi ada juga yang diakibatkan persaingan untuk saling mendapat untung. Paling tidak ini hasil pentingnya, yakni penyebab yang melatarbelakangi konflik agraria tidaklah satu, tetapi banyak dan beragam.

Pertanyaannya, apakah benar semata cari untung, kalau kemudian yang terjadi adalah saling bunuh dan serang secara brutal? Tidak adakah hal yang lebih mendasar dari itu?[]

____________

Buku Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 dapat diunduh di sini.


0 komentar: