Juni 05, 2014

‘Arudh Haji Syukur


Hilmi, “‘Arudh Haji Syukur”, Kontekstualita: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 20, No. 2 (2005): 118-144.


TIGO MACAM orang hidup yang dipuji
Satu ngajar, keduo ndengar, ketigo ngaji
Tigo macam orang hidup ditempelak
Ngaji idak, amal idak, congkak pulak
Sembahyang idak, puaso idak, malu idak
Bajudi galak, maling pulak, minum arak
Kerjo mungkar, seumur hidup sekato awak


Syair di atas pernah populer di beberapa daerah di Jambi, utamanya di Batanghari, Sarolangun, Merangin, Tebo, dan Bungo. Syair tersebut dilantunkan di masjid atau musala di antara azan dan iqamat (di Jawa disebut pujian), dilafalkan untuk menasihati mempelai dalam resepsi perkawinan, digunakan untuk meninabobokan anak, dipakai sebagai dongeng, dst.

Siapakah penggubah syair itu? Namanya Haji Syukur. Dia ulama yang tinggal di daerah Terusan, Kabupaten Batanghari. Dia lahir pada 1901 dan wafat pada 1979. Menurut Hilmi di dalam artikel ini, Syukur mendirikan Madrasah Jauharul Falah di Terusan, yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Ketika Jepang datang, madrasahnya ditutup-paksa. Meski begitu, semangat mengajarkan Islam pada diri Syukur tidak surut. Dia kemudian berkunjung ke tempat-tempat orang berkumpul seperti di pasar, tempat pertemuan, serta ladang, dan Syukur kemudian mengajar di sana secara informal. Salah satu cara menyampaikan ajaran Islam yang dia gunakan adalah dengan syair sebagaimana di atas. Kegiatan tersebut tetap dilakukan hingga setelah Kemerdekaan.

Syair-syair Syukur berkisah tentang banyak aspek ajaran Islam. Berdasarkan syair-syair yang didapat dari para murid dan keturunan Syukur, Hilmi mengidentifikasi antara lain aspek sejarah, akidah, syariat, akhlak, dan tasawuf. Syair berikut, misalnya, berisi ajaran tentang akidah:

Tauhid rukun Islam yang ketigo
Wajib pado 'itiqad kito Tuhan Eso
Mencuri Islam kalau 'itiqad nyampur aduk
Jiko yakin memberi bekas si makhluk
Kepado kubur mintak tolong mintak bantu
Kafir musyrik agama dio orang itu.
Obat dukun siapo yakin menyembuh penyakit
Samo jugo dengan 'itiqad kafir musyrik.


Syair itu mengatakan bahwa orang Islam wajib meyakini Allah yang esa. Kalau keimanannya masih dicampuradukkan dengan keyakinan pada hal lain seperti meminta tolong kepada kuburan dan dukun, dia sama saja dengan atau masuk kategori kafir musyrik.

Syair di bawah mengajarkan tentang relasi suami-istri dalam rumah tangga:

Contoh baik Nabi lbrahim Siti Syarah
Contoh besar Nabi Muhammad Siti Khodijah
Suami dalam rumah itu jadi rajo
Istri dalam rumah itu wakil dio
Segalo orang rumah itu rakyat dio
Rukun damai seisi rumah surgo dio


Syair-syair Haji Syukur menarik karena Islam yang diajarkan disampaikan dalam bahasa lokal. Popularitas syair-syair Syukur membuktikan bahwa penerimaan masyarakat atas metode pengajaran seperti itu berhasil dengan sangat baik. Syukur juga menyesuaikan subjek pengajarannya dengan materi yang dia sampaikan. Dia misalnya tidak menyampaikan aspek-aspek Islam yang rumit, melainkan hal-hal yang bersifat praktis dan dekat dengan kebutuhan masyarakatnya yang berprofesi sebagai petani, seperti soal relasi suami-istri, ajaran salat dan mengaji, etika kepada guru dan orangtua, serta zakat. Ketika membicarakan tentang ilmu yang tidak diamalkan, Syukur dengan sangat elok menyebutnya sebagai “samo dengan padi masak ditinggalkan.”

Penggunaan istilah lokal yang sangat spesifik juga menarik. Orang yang pintar ilmu duniawi tapi tidak paham agama disebut sebagai “lebih bahayo lebih busuk dari telegu.” Telegu adalah binatang yang berbau sangat busuk. Dia juga menerjemahkan istilah riba dalam bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu yang unik, “nganak duit”:

Ngalimang anjing nganak duit tidak zakat
Segalo harto di leher dio di akhirat
Kikir thomak itu pangkal keras hati
Iblis syetan kawan dio dan Yahudi


Selain berisi istilah lokal yang dia ciptakan, syair di atas juga menyinggung praktik memelihara anjing, yang banyak terjadi dalam masyarakat yang berprofesi sebagai petani, sebagai praktik yang tidak semestinya dalam Islam.

Di dalam syair-syairnya, Syukur terlihat sekali membuat pembedaan yang tegas antara dua hal: orang Islam vs orang musyrik, orang baik vs jahat, orang terpuji vs tercela. Dua hal itu kemudian tampak menjadi semacam “teknik” dalam syairnya: di baris-baris awal Syukur melontarkan dua hal (yang bertolak belakang), berikutnya dia menerangkan perbedaan-perbedaan dua hal tersebut hingga tegas sekali.

Teknik semacam itu paling tidak berbuah dua hal. Pertama, pemaknaan atas syairnya tidak perlu dilakukan dengan kening berkerut. Begitu mendengar, orang bisa dengan mudah menangkap apa yang akan disampaikan. Kedua, penghafalannya juga menjadi hal yang tidak sulit. Sebagai sebuah penyampai ajaran, penghafalan dan kemudian pengulangan syair oleh orang lain sangat penting. Kemudahan dalam dua hal itu sangat menunjang kelestarian syair-syair Syukur di masyarakat. Selain itu, pemaknaan dan penghafalan yang mudah tampaknya juga mempertimbangkan audiens syairnya yang petani.

Pertanyaannya, di manakah Syukur belajar Islam serta belajar menggubah syair? Di dalam artikel, ini tidak banyak diulas oleh Hilmi. Hanya dikatakan, Syukur belajar di Pesantren An-Nawawi Banten.

Petunjuk itu meragukan. An-Nawawi adalah nama ulama Nusantara yang pada abad ke-19 sangat dikenal di Mekkah. Dia mahaguru yang sangat dihormati. Sebagaimana banyak jawi dari Nusantara lainnya, dia menggunakan daerah asalnya di belakang nama. Jadilah namanya An-Nawawi al-Bantani atau di Indonesia disebut saja An-Nawawi Banten. Karena tenarnya ulama ini, nama An-Nawawi dan Banten seolah telah jadi satu paket. An-Nawawi sendiri sejak 1830-an menetap di Mekkah dan tidak kembali ke Banten. Di Banten, sejauh telusur sumber internet yang dilakukan, juga tidak ada pesantren lama bernama An-Nawawi.

Pesantren An-Nawawi justru ada di Purworejo, Jawa Tengah. Apakah di sini Syukur belajar Islam dan syair?

Meskipun tempat belajar Syukur perlu penelusuran lebih jauh, seandainya benar beliau belajar di pesantren di Jawa, sebagaimana kata Hilmi, tradisi bersyair memang akrab dalam khazanah lembaga pendidikan asli Nusantara tersebut. Di dalam kitab kuning yang banyak diajarkan di pesantren, termasuk kitab-kitab karangan Syekh An-Nawawi al-Bantani, syair acap digunakan. Bisa jadi Syukur belajar dari syair dalam kitab-kitab tersebut.

Artikel Hilmi menyebut syair Syukur sebagai “’arudh”. Di dalam sastra Arab, ‘arudh adalah ilmu tentang pola syair atau puisi Arab. Di dalam artikel, penyebutan yang digunakan Hilmi adalah syair. Penggunaan ‘arudh dalam judul juga tidak diterangkan sama sekali.[]


________________

Artikel lengkap dapat diunduh di sini.

0 komentar: