Agustus 06, 2014

Nyanyian Batanghari


TOKOH UTAMA dalam novel Nyanyian Batanghari ini adalah Martinus Amin, seorang wartawan profesional di Andalas Post, Padang. Martinus adalah tokoh yang idealis dengan gaya yang selalu dingin terhadap perempuan. Kerja jurnalistik bagi Martinus adalah kerja kemanusiaan. Ia paling gerah melihat manusia tertindas.

Selain Martinus, tokoh lain dalam novel ini adalah tiga perempuan yang mempunyai rasa cinta yang dalam, empati, kreatif, sangat manusiawi, dan cenderung obsesif. Tiga perempaun itu adalah Katrina Baidlawi Koto (Katrin), Naomi Kurasawa (Naomi), dan Dewi Gustria Sari (Sari). Mereka bertigalah yang menjadi pencerita dalam novel ini. Katrin adalah anak seorang pemilik Andalas Post, Naomi seorang jurnalis asal Jepang yang kemudian meliput peristiwa pembakaran perkebunan sawit di Riau, dan Sari seorang guru di pedalaman Muaro Bungo, Provinsi Jambi.

Novel ini bisa dikatakan sebuah novel pergerakan, akibat dahsyatnya tekanan kapitalis dan negara yang selalu melindungi pengusaha. Masalah dimulai dari keterlibatan Martinus di perkebunan sawit di Tongar, Pasaman, Sumatera Barat. Perkebunan sawit di sana, yang sangat digemari investor tahun 1990-an, membagi-bagi tanah rakyat sehingga rakyat Tongar tidak mendapatkan hasilnya kecuali upah buruh. Masalah ini diberitakan oleh Martinus di Andalas Post lewat diskusi yang sangat alot dengan pimpinan redaksi dan perusahaan. Setelah berita itu dimuat membuat kehebohan di kalangan pemerintah dan menimbulkan spirit bagi masyarakat Tongar. Setelah berita itu dimuat, Martinus pun menghilang dan tak pernah kembali ke kantornya. Kiranya ia lari ke Tongar dan di sana bergabung dengan masyarakat. Saat ia di sana, kebun dibakar oleh masyarakat. Pembakaran membuat pemerintah dan pengusaha marah, lalu mengirim aparat ke sana. Martinus disebut-sebut sebagai dalangnya dengan inisial ma. Sejak itu ia diburu aparat.

Setelah bertahan dengan kelaparan sambil menyamar di sebuah gubuk di sebuah kampung, Martinus bisa keluar dari Pasaman berkat kebaikan hati Katrin bersama bapaknya yang juga pimpinan Andalas Post, H. Muhammad Badlawi Koto. Martinus yang sudah jatuh sakit dan kelelahan dirawat di sebuah rumah sakit di Padang. Saat itu hatinya selalu ingat nasib warga Tongar yang diburu dan ditangkap aparat. Saat perawatan itu pula Katrin selalu menjenguk Martinus dan menghiburnya di rumah sakit. Rasa penasaran dan keinginan untuk main-main (Kartin lebih tua dari Martinus), ternyata membuat Katrin terjebak. Dia jatuh cinta kepada Martinus, namun Martinus tetap dingin, diam dan beku, seperti batu.

Walaupun Katrin merayunya untuk tetap bekerja di perusahaan bapaknya, Martinus tidak mau. Tepat pada hari rencana pernikahan Katrin dengan tunangannya, Martinus memutuskan "melarikan diri" dari Padang berangkat ke Sawahlunto dengan kereta api batubara pada subuh hari. Dari Sawahlunto ia terus ke Desa Rantih, sebuah desa di pinggiran Batang Ombilin, Talawi, sebelah utara kota. Di sana ia menyewa sebuah perahu tradisional tua menuju Batang Kuantan di Teluk Kuantan. Ia melewati arus Batang Ombilin yang deras dan berbahaya untuk sampai di perbatasan Provinsi Sumatra Barat dan Riau. Ia mampir di Dusun Tigo Pasang. Di sana diserang demam tinggi dan akhirnya akrab dengan Rosidah, seorang bidan desa yang setiap hari merawat dan memeriksanya. Tiga hari kemudian ia pergi ke Kiliranjau menuju Teluk Kuantan (Riau). Dari sini ia pergi ke Rengat. Ia berpikir keras untuk mendapatkan pekerjaan karena dia tinggal punya punya uang beberapa ribu rupiah. Lewat seseorang pemilik penginapan ia pun berkenalan dengan Budi Nurcahyo, seorang Jawa yang menjadi menajer perkebunan di Pangkalan Kerinci, tiga jam perjalanan dari Rengat. Martinus Amin memperkenalkan dirinya kepada manajer itu sebagai Ahmad Amin asal Tanjung Gadang (Sijunjung). Berkat pertolongan menajer itu, Martinus bisa bekerja di perusahaan perkebunan di Pangkalan Kerinci.

Di Pangkalan Kerinci, Martinus merasakan dan melihat secara langsung betapa melaratnya kehidupan buruh, mereka dipaksa bekerja tanpa imbalan gaji yang sesuai. Ia sendiri sampai demam untuk melakoni hidup sebagai buruh. Namun sejak kedatangan Martinus ke perkebunan itu, secara berangsur-angsur muncul kesadaran bagi sebagian buruh. Ada para pekerja yang rajin bertanya dan berdiskusi dengan Martinus. Dua orang yang sangat penting adalah dua anggota GAM yang juga menyamar sebagai buruh di perkebunan. Akhirnya mereka bertiga memutuskan untuk mengadakan perlawanan untuk menuntut kenaikan upah. Tetapi karena suara mereka tidak dihiraukan, bahkan mereka diancam, maka pada suatu malam mereka membakar kebun. Ribuan buruh terlibat dalam peristiwa ini, 15 ribu hektar sawit ludes, ratusan rumah penduduk, pertokoan serba ada dan perumahan karyawan semuanya juga habis terbakar. Pabrik terbesar di Asia Tenggara yang juga ada di lokasi itu juga habis.

Pembakaran itu menarik perhatian bagi media massa dari dalam dan luar negeri. Puluhan wartawan datang ke lokasi kejadian. Dalam kejadian itu pun tercium nama Martinus Amin. Namun, walaupun begitu ia sempat menginap di sebuah hotel di Pekanbaru dan berkenalan secara sangat aneh dan rahasia dengan seorang wartawan The Japan Post, Jepang, Naomi. Mulanya ia mengenalkan dirinya sebagai wartawan Andalas Post, tetapi kemudian ia buka kartu dan mengatakan bahwa ia Martinus Amin yang ikut membakar perkebunan itu. Naomi, berkat ketertarikannya dari profesi, kemanusiaan maupun karena rasa keperempuanannya, ia membawa Martinus ke Jakarta dan mengenalkannya kepada kalangan aktivis yang tahun 1990-an sedang bergejolak. Di Jakarta ia bergabung dengan Palang Merah Indonesia (PMI). Ia memilih lembaga itu, dalam pikiran Martinus, adalah untuk menembus dosa-dosanya selama ini. Sebab setiap ada gerakan massa ia ada di situ dan akibatnya memakan banyak korban nyawa. Tetapi, di Jakarta, saat terjadi peristiwa 27 Juli 1996, namanya masih disebut media massa sebagai salah seorang aktor.

+++


Novel ini disusun tidak beralur A sampai Z, namun bolak-balik dari suatu waktu ke waktu yang lain. Pengarangnya dengan lincah membangun peristiwa ke peristiwa dan tokoh ke tokoh dalam setting waktu yang lentur. Tokoh-tokoh diketengahkan dengan peran yang kuat dan berkesan. Tidak ada tokoh yang sempalan. Martinus dengan sosok yang idealis, dingin, serius, dan tidak mau terlalu hanyut ke dalam cinta perempuan. Ini memang seperti laiknya seorang tokoh pergerakan. Mirip dengan ungkapan seorang tokoh demonstran tahun 1960-an, Soe Hok Gie, bahwa perempuan bisa mengganggu gerakan. Penulis dalam hal ini mengutip pernyataan seorang tokoh pergerakan sosialis Myanmar, Aye Saung, "Saya memang belum tertarik sama perempuan, karena ia akan merintangi cita-cita sebuah gerakan," katanya.

Pada sisi lain, novel ini akan mengingatkan pembaca kepada tokoh-tokoh sosialis, seperti Tan Malaka, Syahrir, atau tokoh-tokoh lain yang besar dalam penderitaan pergerakan. Martinus sebagai tokoh terasa misterius, ia seakan bisa menggerakkan ribuan orang untuk melawan di mana pun ia berada, namun tidak pernah aparat bisa menangkapnya. Ia sendiri justru sering tidak memahami akan proses alamiah sebuah peristiwa; kenapa ia yang bermaksud memperjuangkan hak asasi manusia justru membuat banyak orang terbunuh? Kenapa saat ia begitu dingin terhadap perempuan justru perempuan makin ingin mencintainya lebih dalam?

Martinus sepanjang hidupnya memang sudah dihadapkan dengan beringasnya kekuasaan negara dan misterinya kehidupan. Ayahnya meninggal karena dibunuh aparat tanpa dasar yang jelas dan dihanyutkan di Sungai Batanghari. Ia tidak pernah bertemu ayahnya sejak lahir. Ibunda Martinus baru mau menceritakan perihal ayahnya saat ia mau tamat SMP. Ayahnya mati dibunuh aparat tahun 1965, sebuah kisah yang tidak dimengertinya sampai ia dewasa. Martinus tidak paham, kenapa ayahnya yang petani keturunan Jawa itu dibunuh dan dihanyutkan tanpa rasa kemanusiaan di sungai Batanghari? Ayahnya hanya sebagai penakik getah yang merantau ke Rantau Berangin, Muaro Bungo, Jambi, tahun 1952. Konon ayahnya terkenal sebagai pemberani dan disegani, sebab ia pernah membunuh harimau (dalam novel ini, Martinus memiliki keanehan dalam dirinya, ada roh aneh [harimau?] yang berada di badannya yang tak bisa dikontrolnya, dan dia tak pernah sadar dengan hal itu. Tentang latar ini, pengarang tidak menjelaskannya dan masih menjadi misteri cerita sendiri).

Namun setelah Gerakan 30 September 1965, ayah Martinus diciduk oleh aparat dan tidak kembali ke rumah. Ia dituduh sebagai anggota Barisan Pemuda, onderbouw PKI. Penderitaan bundanya selalu menjadi bayang-bayang bagi hidupnya sehingga ia membenci penindasan. Sejak kecil hanya bundanya yang sangat berarti dalam hidupnya. Tetapi, saat kasih sayang itu dirasakannya, bundanya pun meninggal. Martinus sangat terpukul. Sekolah, mengaji, salat dan sebagainya terasa tidak ada artinya. Ia muncul jadi pemberontak terhadap kenyataan. Bahkan ia merasakan Tuhan tidak adil padanya, suatu kesadaraan metafisik yang dianggap menyimpang.

Sejak bundanya meninggal, Martinus lebih suka berburu binatang buas ke hutan dan menakik getah. Namun suatu hari di hutan, saat ia bertarung melawan beruang, dia "ditolong" oleh seekor harimau. Ketika dia terkapar pingsan, di antara kesadarannya yang terbelah, ada suatu sugesti yang datang di alam mimpinya; hidup haruslah realistis, ia harus sekolah kembali dan kemudian pergi dari Rantau Berangin. Sejak itu ia bangkit, sekolah, kuliah, dan jadi wartawan di Padang. Namun latar belakangnya sebagai anak yang mengalami liku-liku perih kehidupan membawanya menjadi seorang sosialis misterius.

+++


Nyanyian Batanghari tampaknya ditulis dalam suatu studi yang panjang, dengan penelitian yang cukup mendalam. Ini kelihatan dari lincahnya penulis memindahkan setting dari suatu tempat ke tempat lain, seperti Padang, Tongar (Pasaman, Sumatra Barat), Batang Ombilin (Sawahlunto), Rantau Berangin (Jambi), Pangkalan Kerinci (Riau), dan Jakarta. Kemudian sejumlah permasalahan juga terangkat dari berbagai level, seperti permasalahan idealisme jurnalis, perusahaan media massa, kapitalisme perkebunan, masyarakat lokal, perburuhan, gerakan rakyat dan mahasiswa, bahkan masalah pergulatan dengan Tuhan dan hal-hal kecil yang terdapat dalam masyarakat.

Tanpa suatu riset yang baik, penulis novel ini tidak mungkin akan mampu menceritakan detail mengenai kebun kelapa sawit dan kongkalikong antara birokrat dan pengusaha di Tongar dan Pangkalan Kerinci. Begitu juga mengenai peta lokasi dan situasi arus Batang Ombilin yang berbahaya. Kelincahan penulis juga terlihat dari wawasannya mengenai film, seperti munculnya Tomstone dan The Saint. Kemudian juga muncul nama-nama tokoh sejarah dan pemikir yang tidak asing lagi seperti Aye Saung, Peter L. Berger, Iris Chang, Tony Blair, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Hamka, Chatib Sulaiman, juga pengusaha pejuang Hasyim Ning dan lain-lainya. Nama-nama bukan hanya sekadar pajangan, beberapa pikiran mereka didialogkan dalam novel ini.

Setiap bagian dari novel ini dipadati oleh wawasan sosial-ekonomi, budaya, politik dan kesejarahan. Khusus mengenai sejarah, penulis sangat lincah berbicara. Umpamanya mengenai keberadaan sejarah pendudukan Jepang di Asia, termasuk di Indonesia. Saya pikir, tidak mungkin novel ini hadir begitu lincahnya berbicara mengenai masalah sosial, sejarah, politik, dan budaya seperti itu sekiranya penulisnya tidak pembaca berat.

Hal yang menjadi catatan juga adalah mengenai keberanian penulis dalam berpikir, termasuk berpikir mengenai Tuhan dan eksistensi sosial. Sebuah dialognya berbunyi, "Kau mengingkari doaku. Kau katakan jika manusia berdoa kepada-Mu dan meminta sesuatu yang bisa Kau berikan, Kau akan memberikannya. Tetapi kenapa tidak Kau biarkan bundaku tetap bersamaku dan aku akan melakukan apa pun untuk-Mu?" Selanjutnya ia katakan, "Kau tidak adil!" Tentu ini pergulatan seorang penulis yang "gila" (hal. 217-218).

Semakin dibaca, novel karya Hary B Kori'un (yang juga menulis novel Nyanyi Sunyi dari Indragiri dan kini berkerja sebagai wartawan Riau Pos) ini terasa makin banyak yang belum dibicarakan. Mungkin tidak terlalu berlebihan jika novel ini ibarat sumur telaga yang dalam dan setiap pembaca bisa meminum airnya terus-menerus, dan semakin haus....[]

________________

Hary B. Kori’un, Nyanyian Batanghari, (Yogyakarta-Pekanbaru: Akar Indonesia dan Yayasan Sagang, 2005).


Artikel ini ditulis oleh Wannofri Samry dengan judul asli “Penindasan, Radikalisme dan Romantisme dalam Nyanyian Batanghari”, dimuat di Riau Post, 9 Oktober 2005. Untuk keperluan pemuatan di sini, sedikit penyuntingan bahasa dilakukan.

0 komentar: