Mei 25, 2014

Pergeseran Peran Sosial Tuan Guru dalam Masyarakat Jambi Seberang


As’ad Isma, “Pergeseran Peran Sosial Tuan Guru dalam Masyarakat Jambi Seberang”, Kontekstualita: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 20, No. 1, (2010): 1-28.


MASYARAKAT SEBERANG Kota Jambi, kadang-kadang disebut Jambi Seberang atau Seberang Jambi, dikenal sangat taat beragama. Daerah itu sejak lama dikenal sebagai daerah santri. Tak kurang lima pesantren (masyarakat Jambi masa lalu menyebutnya madrasah) lama berdiri di sana. Di masa kejayaannya, yang datang untuk belajar tak hanya dari berbagai daerah di Indonesia, tetapi juga dari mancanegara seperti Malaysia dan Singapura. Para pengasuh pesantren itu dalam masyarakat Jambi disebut tuan guru. Dia berperan penting dalam membangun corak dan sistem sosial masyarakat Seberang. Perannya bisa disandingkan dengan peran kyai di Jawa atau ajengan di Tanah Sunda.

Peran dan fungsi sosial tuan guru telah berlangsung lama dalam sejarah. Namun, seiring waktu, perlahan peran itu makin terkikis. Perubahan peran tuan guru di masa lalu dan masa sekarang itu yang diteliti oleh As’ad Isma dalam artikelnya.

Menurut As’ad, peran tuan guru di masa lalu utamanya berkaitan dengan agama. Tuan guru adalah ahli dalam bidang ilmu-ilmu keislaman seperti fiqh, tauhid, akhlak, dan ibadah praktis. Tuan guru menjadi tempat bertanya masyarakat ketika menjumpai persoalan-persoalan menyangkut agama.

Tuan guru juga bertanggung jawab dalam penyelenggaraan ibadah yang bersifat massal di masjid. Tuan guru menjadi aktor penting yang menggerakkan warga untuk membangun, memelihara, dan mengisi kegiatan masjid. Mereka menjadi imam dan khatib serta mengisi pengajian-pengajian dengan ceramah agama dan pembacaan kitab kuning maupun memimpin pembacaan Yasin dan tahlil. Di samping itu, di dalam masyarakat Seberang Jambi yang kental dengan berbagai ibadah dan ritual seperti peringatan menyambut Muharam dan Nisfu Sya’ban, penyelenggaraan upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian, serta haul dan ziarah ke makam wali, tuan guru menjadi pemimpinnya.

Selain di masjid, peran paling kelihatan dari tuan guru adalah di madrasah atau pesantren. Tuan guru merupakan pemimpin atau guru yang mengajar di pesantren itu, di samping juga bertanggung jawab atas manajemennya.

Di luar wilayah agama, tuan guru punya peran penting sebagai penghubung antara umat dan pemerintah. Ketika di masa lalu digalakkan program KB dan terjadi silang-sengketa kebolehannya dalam masyarakat, misalnya, pemerintah meminta bantuan tuan guru untuk menjelaskan dan mengampanyekannya. Tuan guru juga menjadi penghubung dengan bahkan direkrut partai politik untuk menjadi wakil rakyat. Di masa lalu, ketika partai politik hanya dua ditambah Golongan Karya, tuan guru yang populer kerap menjadi rebutan. Kebanyakan memilih netral, dan hanya dua yang bersedia menjadi anggota DPRD.

Kalau di masa lalu peran guru sangat sentral di masyarakat, sekarang keadaannya berubah. Menurut As’ad, perubahan itu terjadi karena perubahan pandangan masyarakat terkait dua hal. Pertama, pandangan tentang tuan guru. Di masa lalu tuan guru adalah satu-satunya sumber informasi dan pemerolehan berkah, di masa kini masyarakat menemukannya dalam media seperti televisi dan koran. Kepengurusan masjid, karena juga menyangkut manajemen dan keuangan, mulai memasukkan orang yang kompeten di kedua bidang itu, dan tidak melulu tuan guru. Banyak tuan guru kemudian nyaris hanya menjadi imam dan khatib, tidak lagi pengurus masjid. Di bidang pendidikan, ilmu agama tidak lagi satu-satunya ilmu yang diajarkan di madrasah atau pesantren, tetapi ada juga ilmu umum seperti matematika, fisika, dan bahasa. Tugas-tugas dalam lembaga pendidikan kemudian tidak lagi sepenuhnya dipegang oleh tuan guru—apa yang disebut tuan guru juga kemudian berubah.

Perubahan pandangan masyarakat juga terjadi terhadap tradisi keagamaan, yang pada gilirannya menyebabkan perubahan peran tuan guru di masyarakat. Upacara-upacara keagamaan seperti penyambutan Muharam, Nisfu Sya’ban, haul dan ziarah kubur, serta tradisi Burdah mulai ditinggalkan dan kurang mendapatkan antusiasme masyarakat.

Meskipun tidak memberikan bukti yang meyakinkan, As’ad menuding pembangunan dan kemodernanlah biang di balik perubahan pandangan masyarakat tersebut. Mengutip Muhammad Aspar (1987), As’ad mengatakan bahwa “pada masyarakat yang sudah maju, fungsi agama dan tokoh agama mengalami banyak perubahan... Pada masyarakat modern...peran agama dan tokoh-tokoh agama hanya terbatas pada masalah keagamaan semata” (hlm. 22).

Pandangan bahwa yang modern kurang bisa menyatu dengan agama pernah menjadi populer sebagai kritik terhadap pembangunan. Belakangan yang terjadi justru kebalikannya, yakni masyarakat modern yang kembali ke agama (religious turn?). Di dalam keadaan yang berbalik-arah itu, masuk paham dan pandangan keagamaan baru yang tidak selalu sesuai bahkan bertentangan dengan pandangan dan tradisi keagamaan lama. Dalam masyarakat Jambi, termasuk di Seberang, hal terakhir ini juga terjadi. Beberapa paham dan pandangan keagamaan tuan guru di sana bahkan beralih secara total, dan mereka kemudian menjadi aktor-aktor baru yang menyuarakan gerakan kontra terhadap tradisi lama (Suaidi Asyari, 2013). Sayangnya, As’ad tidak mempertimbangkan faktor tersebut dalam artikelnya ini.[]

______________

Artikel lengkap dapat diunduh di sini.

0 komentar: