Desember 13, 2015

Pondok Pesantren Sa'adatuddaren: Bahagia di Dua Negeri


PRINSIPNYA BERGEMING, sekali kitab kuning tetap kitab kuning. Pembaharuan ditempatkan pada ekstrakurikulum.

Mentari baru saja menyembul di ufuk timur. Langit cerah. Hanya ada secuil mendung di langit. Cahaya sang surya menerpa embun di pohon kayu alkasia, membentuk butiran-butiran bak mutiara. Indah, berkelipan. Jalanan masih sedikit basah. Jalanan lenggang belum ada anak-anak sekolah maupun pegawai negeri berangkat kerja. Hanya ada beberapa depot bensin dan warung kecil mulai sibuk. Satu dua pengecer koran hilir mudik di perempatan lampu merah.

Melintasi Jembatan Aurduri yang membela sungai Batanghari, suasana pedesaan mulai terasa. Beberapa pemuda tanggung bergerombol di pelataran rumah panggung bercorak khas Jambi. Mereka tak terusik oleh raungan kilang kayu serta bau tak sedap yang menyeruak dari sebuah pabrik pengolahan karet di tepi sungai.

Tampaklah sebuah pondok pesantren. Halamannya masih sepi. Seorang santri mengantarkan Rizal Ependi, koresponden majalah Medium di Jambi, menuju kediaman Muhammad Nazir HB, perungurus pondok. Nazir adalah keponakan pendiri pondok pesantren tersebut.

Pesantren ini berlokasi di tepi kota, 10 kilometer dari pusat Kota Jambi. Jika dari sungai Batanghari hanya 2 kilometer. Tepatnya di Jalan Tumenggung Jakpar, RT. 01, RW. 01, Kelurahan Tahtul Yaman, Kecamatan Pelayangan, Kota Jambi. Pesantren ini banyak menelorkan ulama kesohor.

Pondok Pesantren Sa’adatuddaren adalah pusat pendidikan Islam tertua di Jambi. Dulu namanya kombinasi Bahasa Arab dan Inggris: Sa’adatuddaren Islamic School (Sekolah Islam Kebahagiaan di Dua Negeri). Nama itu disematkan oleh pendiri: Almarhum K.H. Ahmad Syakur bin Syukur alias Guru Gemuk. Julukan guru gemuk itu diperoleh dari masyarakat.  Sebutan kyai saat itu kalah populer dibanding sebutan guru. Tubuh kyai memang gemuk.

Pesantren ini mempertahankan kitab klasik atau kitab kuning. Untuk tingkatan Tsanawiyah dan Aliyah, tidak menerima santriwati. Menurut Nazir, pada zaman dulu guru yang mengajar santriwati  biasanya bukan para kyai. Tapi mereka dididik oleh istri para kyai di rumah kyai.

Karena istri para kyai itu tak sempat lagi meluangkan waktu untuk mengajar, maka ketika itu, kaum hawa tidak diberi kesempatan untuk belajar di pesantren tersebut jika sudah tingkatan Tsanawiyah dan Aliyah. “Kalau tingkatan Ibtidaiyah di sini masih mau menampung,” kata Nazir.

Kini santri berjumlah 1.037 orang. Yang mondok untuk tingkat  Tsanawiyah 427 orang, untuk kelas satu, dua, dan tiga yang ditampung dalam 14 kelas. Mereka dikenakan biaya Rp. 280 ribu per tahun, untuk uang sekolah, sewa pondok, plus Rp. 100 ribu per bulan untuk uang makan.

Biaya tadi tak berbeda dengan yang dikenakan pada santri tingkat Aliyah. Hanya saja jumlah santri untuk tingkat Aliyah hanya 137 orang untuk kelas satu, dua, dan tiga yang terhimpun dalam 5 kelas.

Ruangan belajar pada pesantren ini berjumlah 23 kelas, tiap-tiap kelas berisi rata-rata 35 santri. Tiap santri berdampingan duduk satu meja dan kursi yang terbuat dari kayu. Santri tingkatan Tsanawiyah dan Aliyah yang mondok membawa peralatan makan dan mendapat satu kamar yang dihuni 5 sampai 6 orang.

Tapi jumlah kamar pemondokan itu cukup banyak, saat ini jumlahnya mencapai 75 pintu. Dari jumlah tersebut dapat menampung sekitar 600 santri. Namun pesantren ini akan melakukan perombakan sarana baik ruang belajar maupun pemondokan, guna kemajuan pesantren itu sendiri.

Tingkat Ibtidaiyah dari kelas satu sampai tiga justru lebih banyak. Saat ini ada 437 orang putra-putri yang menempati 14 ruang belajar dan tidak mondok di pesantren. Biayanya lebih murah. Uang pendaftaran awal Rp. 10 ribu plus SPP sebesar Rp. 4.000 per bulan. Biasanya penerimaan santri baru pada pesantren ini dilakukan setelah ujian akhir semester. Persyaratan untuk tingkat Tsanawiyah dan Aliyah seperti persyaratan sekolah biasa.

Pada pagi hari mulai belajar pukul 07.30 hingga 12.05 WIB. Sedangkan belajar malam, pukul 19.15 hingga 21.30 WIB. Pakaian juga diatur. Hari Minggu, Senin, dan Selasa diwajibkan memakai baju koko warna putih, kopiah hitam dan pakai sarung.

Untuk hari Rabu dan Kamis, pakai baju kurung, kopiah putih juga mengenakan sarung warna bebas. Sedangkan untuk dua hari tersisa, para santri mengisi waktu dengan kegiatan yang masih berhubungan erat dengan proses belajar mengajar di pondok tersebut.

Ada juga ekstrakurikuler, seperti belajar mengoperasikan komputer, seni letter dan kaligrafi, jama’atul qurro' (Quran lagu), Barzanji serta angkatan marhaba, sarana dan organisasi. Adalagi kursus menjahit dan pagelaran seni.

Pesantren ini memang mengupas kitab kuning. Mata pelajaran pada pondok itu meliputi: Quran, tauhid, fikh, nahwu, syorof, dan tareh. Adalagi qowaid, muthala’ah, khoth dan imlak, ahlak, tajwid, serta Tafsir Al-Azhar.

Kemudian ditambah lagi dengan bahasa Arab, tahfiz juga mahfuzhah. Tapi kalau untuk tingkatan Aliyah, mata pelajaran itu ditambah lagi dengan: Nahwu Wadhih, tasawuf, mantiq, dan Hadis.

Para santri dibimbing oleh pengajar yang berasal dari alumnus Gontor, Mesir, dan Mekah sebanyak 56 orang.  Tapi 90 persen adalah alumni pondok itu sendiri. Biasanya setamat dari pondok mereka melanjutkan pendidikan ilmu kitab itu ke pesantren lain yang tersebar di seluruh Indonesia.

Bahkan ada yang sampai ke tanah Suci Mekah atau tanah Arab lainnya. Lalu kembali mengajar di pesantern itu. Namun para muridnya pun berasal dari berbagai daerah. Ada yang dari Palembang,  Padang, Pulau Jawa. Bahkan dari Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam. Namun mayoritas berasal dari Provinsi Jambi.

***

PONDOK PESANTREN Pesantren Sa’ adatuddaren berada di kawasan permukiman penduduk. Luasnya kira-kira 35x15 meter. Bangunan utama bertingkat dan terbuat dari beton permanen yang dilapisi cat warna putih.

Pondok pesantren dibangun di atas tanah wakaf dari almarhum K.H. Ahmad Syukur, seluas 2 hektar. Di sebelah kanan terdapat  sebuah masjid. Masjid Jami Azharussa’adah Tahtul Yaman. Juga terdapat bangunan tua, bekas gedung pondok lama yang sekarang telah beralih fungsi menjadi Kantor Sekretariat Pondok.

Di sebelah kiri berbatasan dengan rumah penduduk yang dipisahkan oleh pagar besi keliling bercat putih. Dapur umum, sumur, dan WC dibangun semipermanen yang terletak di belakang gedung lama.

Ada lagi bangunan menyerupai gudang yang dulunya pernah digunakan untuk ruang belajar. Sedangkan fasilitas lain seperti kantor majelis guru, laboratoriun  komputer, koperasi pelajar. Ruang OPPS (Organisasi Pelajar Pesantren Sa’adatuddaren) serta tempat mencuci pakaian dan tempat setrika juga ada di sana. Ada juga kantin, sarana olahraga, serta perpustakaan.

Jalan masuk ke lokasi pondok itu ada dua pintu masuk: Pintu utama yang terdapat di bagian depan dan pintu lainnya terdapat di bagian belakang tembus ke permukiman penduduk.

Di depan seberang jalan terdapat sebuah bangunan terbuat dari kayu berukir, bercorak khas Jambi. Bangunan itu ialah Gedung Pondok Pesantren Mubarok yang masih satu atap dengan Pondok Pesantren Sa’adatuddaren. “Itu juga gedung santri untuk belajar,” kata Hisbullah, kakak kandung pengurus pondok (Nazir) ketika ditemui di rumahnya.

***

MASJID PONDOK, Masjid Jami Asharussa’adah Tahtul Yaman penuh sesak oleh jemaah. Selesai salat Jumat, para jemaah laksana semut bertemu temannya. Mereka saling bersalaman, di bibir masing-masing jemaah tersungging senyum ramah penuh maaf. Kawasan pondok tertata rapi dan bersih. Halaman pondok ditumbuhi rumput hijau, adalagi pohon pinang dan beberapa kayu liar yang sengaja dibiarkan tumbuh.

Syahdan. Dari cerita Nazir, setelah Sultan Thaha Syaifuddin gugur zaman Belanda. Seorang ulama Jambi lainnya, K.H. Abdul Majid, merasa jiwanya terancam di Jambi. Ia hijrah ke Mekah, di sana ia menjadi guru dan mendidik para santri yang berasal dari berbagai negara, termasuk dari Jambi.

Kebanyakan para santri asal Jambi pulang dan mendirikan pondok pesantren di kampung halamannya. Salah satunya adalah K.H. Ahmad Syakur bin Syukur alias Guru Gemuk yang kelak mendirikan Pondok Pesantren Sa’adatuddaren Tahtul Yaman. Sedangkan gurunya tadi setelah pulang ke Jambi mendirikan Pondok Pesantren Nurul Iman di Ulu Gedong, sekitar satu kilometer dari Pesantren Sa’adatuddaren.

Ikatan persaudaraan antara guru dan murid yang telah terajut di tanah suci itu tetap terjaga. Kemudian pada 1909 kedua kyai tadi mempelopori terbentuknya wadah persaudaraan yang bernama  Samaratul Insan. Wadah inilah cikal bakal  Pondok Pesantren Sa’adatuddaren  yang berlokasi di Iskandaria Tahtul Yaman, atau Kelurahan Tahtul Yaman sekarang.

Masih dalam tahun yang sama, wadah Samaratul Insan mengalami perkembangan menjadi kelompok pengajian dan mendirikan rumah kitab (maktab) sebagai tempat berkumpulnya para santri untuk belajar ilmu agama Islam. Pada 1915 Masehi atau 1333 Hijriyah, Guru Gemuk mendirikan pesantren yang dinamakan Sa'adatuddaren Tahtul Yaman.

Menurut Nazir, nama pondok tersebut sarat dengan makna dan mengandung filosofi. Yang dimaksud dengan kebahagiaan di dua negeri itu adalah bahwa sekolah itu tidak hanya berorientasi pada kebahagiaan akhirat saja, tapi juga kebahagiaan di dunia.

Walaupun Guru Gemuk anak seorang saudagar di masa itu, dia mendapatkan kendala dalam membangun pondok tersebut. Dia telah mewakafkan tanah seluas 2 hektar, menjual ruko warisan orangtuanya. Sehingga harta warisan dari Syukur dan Hamida, orangtuanya, habis sudah. Itu pun belum cukup. Ia kemudian dibantu oleh para kerabat dan masyarakat setempat.

Bahkan terpaksa jemput bola, setahun sekali pergi ke luar negeri untuk meminta bantuan dari teman-temannya. Tapi berkat usaha dan doa banyak orang, akhirnya pondok itu jadi juga.

Tapi setelah pondok selesai, Guru Gemuk meninggal dunia. Dia wafat pada 1923 dalam usia 47 tahun. Ia sempat memimpin pondok tersebut selama lebih kurang 8 tahun, dari 1915 hingga 1923. Kemudian tampuk pimpinan diserahkan kepada K.H. Abdul Rahman. Namun dua tahun kemudian, 1925, oleh beliau diserahkan kepada muridnya yang baru pulang dari Mekah: Abubakar Syaifuddin.

Di masa Abubakar inilah pondok mengalami kemajuan pesat, sampai-sampai santrinya melebihi kapasitas pemondokan. Pada masa ini (1925-1942) keharuman nama Sa’adatuddaren terdengar hingga ke mancanegara.

Namun roda selalu berputar. Pada 1942 pondok tersebut mulai mengalami bermacam cobaan. Masuknya penjajah Jepang membuat aktivitas pondok lumpuh total. Para guru banyak yang ditindas; intimidasi kepada seluruh elemen pondok merajalela.

Pimpinan pondok Abubakar Syaifuddin pulang ke kampung halamannya di Desa Teluk Rendah, Kabupaten Tebo, dan meninggal di sana dalam usia 63 tahun. “Guru-guru banyak yang berlari ke hutan  dan santrinya hanya tinggal tiga orang,” kata Nazir.

Setelah itu tampuk pimpinan dipegang K.H. Muhammad Zuhdi alias Guru Zuhdi, lalu K.H Abdul Madjid (menantu Guru Gemuk). Pada 1955 pondok dipimpin K.H. Zaini bin Abdul Qodir, setahun kemudian dipegang oleh K.H. Ahmad Jadawi (anak K.H. Abubakar Syaifuddin).

Ahmad Jadawi ini guru yang mengusai empat bahasa: Arab, Inggris, Belanda, dan Jerman. Dia memimpin pesantren sekitar 25 tahun (1956-1989). Dialah pemimpin terlama sepanjang sejarah pondok itu. Setelah beliau wafat tahun 1989, tampuk pimpinan diserahkan kepada Guru Abdul Qodir Mahyuddin (keponakan Guru Gemuk) selama 13 tahun.

Mengingat usianya sudah senja, maka dari 2003 hingga sekarang tampuk pimpinan pesantren tersebut dipegang oleh Guru Helmi Abdul Madjid, yang masih anggota kerabat dari pendiri pondok.

Pada masa sekarang (2005), dengan majunya teknologi informatika, pesantren beradaptasi dengan zaman. Tapi walaupun mejelis guru sepakat menambah kurikulum, tidak memasukkan mata pelajaran tersebut pada kurikulum inti.

Rupanya ciri khas pondok untuk terus menggali kitab kuning terus dipertahankan; sekali kitab kuning tetap kitab kuning.[Rizal Ependi, Jambi]

________________

"Bahagia di Dua Negeri", Medium, edisi 12-25 Januari 2005, hlm. 57-59.

0 komentar: