Juni 05, 2015

Dominasi Sawit, Lidung, dan Nek Tarwah


ARSIP PIKIRAN massa menyimpan rapi bahwa sandiwara kebaikan negara tidak sepenuhnya benar. Drama yang paling mudah untuk dilihat dalam konteks kampung adalah hubungan antara petani tradisional dengan industri kelapa sawit yang dimasukkan “secara paksa” oleh “Jakarta” ke kawasan penduduk-petani sejak 1980-an. UU Pemerintahan Desa Tahun 1979 memang menjadi pintu masuk. Sesudah itu, dialog antara petani dan industri dalam panggung Indonesia jarang sekali memperlihatkan percakapan mesra. Industri jelas menang karena memiliki modal besar dan legitimasi negara. Di pihak lain, walaupun kalah, kalau tidak terjadi perlawanan kolektif terhadap industri serta masuk surat kabar, ada juga perlawanan diam-diam yang dilakukan oleh para petani.

Dalam diam itu, kegiatan penggunjingan-pembusukan-cegatan hingga pembakaran kebun pada malam hari telah dilakukan sebagai perlawanan terselubung terhadap industri. Data tentang konflik sosial di sektor perkebunan yang dirangkum organisasi nonpemerintah membuktikan bahwa perlawanan petani juga ada di Jambi dalam dua dekade terakhir.

Secara teoretik, tulisan James C. Scott, Senjatanya Orang-orang yang Kalah (2000)—walaupun konteksnya petani Melayu Kedah—menggambarkan bahwa bibit dan cara perlawanan petani yang ditindas selalu ada setiap hari. Buku Sartono Kartodirjo, Protest Movement in Rural Java (1973), menambah gambaran bahwa petani Jawa juga melakukan gerakan perlawanan terhadap kolonial pada masa lalu.

Kisah dominasi sawit di Jambi antara lain kaum hawa desa, yang berperan penting dalam menunjang sosio ekonomi keluarga tani, menjadi tergusur akibat kebijakan industri kelapa sawit. Desa Lidung di Ulu Batang Tembesi menjadi titik pandang untuk melihat sikap seorang pemimpin perempuan tani kampung dan keterlibatannya melawan kolonialisme dulu, bisa menjadi cermin perlawanan terhadap dominasi perkebunan sekarang. Merekalah bintang-bintang yang lebih layak dimasukkan dalam memori sejarah.


Dusun Lidung

Lidung adalah sebuah dusun tuo. Kawasannya diperkirakan membentang 2.000 hektar persegi dengan kontur tanah dataran sedang dan dilengkapi aliran sungai Batang Tembesi dan dua danau sumber ikan rakyat, Danau Biaro dan Danau Baru. Struktur pembagian tanah berbasis tanah individu, tanah batin dan tanah adat. Tanah individu dibuat rumah, pekarangan, kebun kecil untuk subsistensi keluarga yang disebut umo, serta kebun jauh karet alam (yang tadinya juga umo), untuk tabungan dan jaminan keberlanjutan ekonomi keluarga tani yang disebut talang. Tanah batin pula untuk fasilitas umum seperti masjid, makam, sekolah, dan jalan. Sedangkan tanah adat meliputi lubuk larangan, hutan adat, sungai, dan danau sumber ikan.

Manajemen tanah batin dan tanah adat dilakukan melalui runding ninik mamak tuo tengganai dusun. Semua aturan juga ditegakkan melalui meeting pemuka kampung. Adat baumo (berkebun), batandang (pemuda mengunjungi pemudi), adat bujang gadis dan lainnya diatur secara detail. Jika dilanggar, terutanglah secara adat. Utang adat harus dibayar dengan ayam, kambing, kerbau, beras, atau kain, tergantung skala pelanggaran. Jika dianggap sangat berat, pelanggar hukum adat, walau sangat langka, bisa diusir dari desa.

Undang-undang adat ini telah berlaku sejak desa mulai ramai, kira-kira akhir abad ke-18, hingga akhir pemerintahan Soekarno. Meminjam bahasa Scott dalam Moral Ekonomi Petani (1981), inilah bentuk “moral ekonomi” dan “etika subsitensi” penduduk di Jambi. Moral ekonomi yang merangkap modal sosial itu terbukti efektif menjaga harmoni ekonomi (distribusi kerja dan pendapatan), stabilitas politik kampung, dan kelestarian sistem sosial hingga beberapa waktu setelah Indonesia merdeka.

Lalu apa tindakan negara terhadap sistem ini? Menerbitkan peraturan yang menghapuskannya. UU Pokok Agraria diterbitkan pemerintahan Soekarno untuk mengakuisisi tanah adat menjadi tanah negara. Melalui UU Pemerintahan Desa, Orde Baru menyeragamkan semua sistem pemerintah lokal di Nusantara. Melalui UU Penanaman Modal, pemerintahan Soeharto juga telah menjadikan wilayah adat Lidung sebagai lokasi perkebunan sebuah perusahaan yang berpusat di Jakarta.


Kepemimpinan Nek Tarwah

Dusun Lidung merupakan ibukota margo Batin Limo Sarolangun dan pernah dipimpin oleh Haji Thaher yang terkenal konsisten. Dia memimpin margo tersebut dengan gelar Rio Depati Raden Cokroaminoto Singodilago Joyoningrat atau dipanggil penduduk dusun sebagai Datuk Biaro. Makamnya hingga kini dianggap keramat.

Setelah Rio Depati Haji Thaher wafat, pimpinan margo diambil alih oleh Rio Depati Haji Mataher. Menurut tulisan Zaini Said (tidak diterbitkan, 1999: 1), sebelum terjadi pemberontakan Sarikat Abang melawan penjajahan Belanda pada 1916, Lidung merupakan salah satu pusat gerakan Sarikat Abang. Ketika pemberontakan terjadi, pemimpin margo Batin Limo Sarolangun adalah Rio Depati Ahmad Gebil. Penting untuk dicatat bahwa perlawanan warga tani Lidung dan sekitarnya dalam perang Sarikat Abang mengakibatkan mereka harus mundur ke kawasan pedalaman, kawasan yang disebut dalam tambo adat sebagai Payo Lebar Titian Bangkar Tanah Terkepung Talang Tengah. Kawasan tersebut saat ini adalah di lokasi sungai Pelakar Merangin. 

Selama sembilan bulan, tokoh-tokoh utama perlawanan margo Batin Limo Sarolangun dan penduduk-petani pendukung perjuangan berada di kawasan tersebut. Penjajah Belanda melakukan usaha gencar merayu para penentangnya supaya kembali ke Lidung dengan imbalan pembebasan. Rayuan penjajah Belanda itu akhirnya termakan dan sebagian penduduk kembali semula ke dusun. Tetapi ketika sampai di Lidung, semua laki-laki yang berusia di atas 14 tahun ditangkap oleh tentara kolonial dan dibuang jauh dari Sarolangun.

Akibat terburuk dari peristiwa penangkapan dan pembuangan tersebut, margo Batin Limo Sarolangun tidak lagi mempunyai laki-laki dewasa yang sesuai untuk dilantik menjadi pemimpin. Siti Tarwah yang akrab dipanggil Nek Tarwah dan dianggap Belanda hanya wanita biasa, ternyata malah memimpin sisa-sisa penduduk (perempuan dan anak-anak) menentang sekali lagi kehadiran Belanda di Sarolangun, melempari mereka dengan batu dan kayu ketika mereka berhadapan. Dialah Tjuk Nyak Dien made in Lidung. Riwayat lisan tetua Lidung menyebut Nek Tarwah hanyalah seorang perempuan bertubuh kecil dengan mata kiri cacat tapi punya semangat bicara menyala-nyala. Orasinya tajam, yang konon kelak diwarisi cucu perempuannya, Umi Kalsum. 

Nek Tarwah adalah simbol perlawanan perempuan terhadap kolonialisme yang diriwayatkan dari mulut ke mulut, generasi-bergenerasi, dalam kalangan penduduk. Seperti halnya Ben Anderson menelurkan Java in a Time of Revolution, sejarah lisan punya posisi penting dalam memori massa di Lidung dan Jambi secara umum.


Siapa Nek Tarwah Masa Kini?

Romantisme sejarah saja tentu tidak cukup. Setiap peristiwa adalah pelajaran untuk perbaikan hidup di masa datang. Belanda memang sudah lama pergi dari bumi Indonesia, tapi negara dan perusahaan sawit telah mengubah sistem sosial masyarakat, menafikan adat, mengubah mata pencarian penduduk dari petani mandiri menjadi buruh tani, menghilangkan kayu besar yang sebelumnya oleh warga digunakan untuk membuat rumah, biduk, dan kayu bakar. Yang memprihatinkan, perusahaan menyebabkan konflik dan kecemburuan dalam internal masyarakat di Lidung.

Tidak itu saja. Warga Desa Empang Benao dan Desa Karang Mendapo juga pernah mengalami peristiwa berdarah. Tak hanya perempuan, laki-laki juga “menyerah” dengan memburuhkan tenaga kepada perusahaan, menjadi “hamba sahaya” masa kini. Tentu saja harus muncul tokoh perlawanan seperti Nek Tarwah. Jika tidak dari kalangan orang kampung sendiri, karena kesadaran mereka sudah dimanipulasi perusahaan dan tokoh-tokoh masyarakat gadungan, bisa jadi perlawanan datang dari kalangan luar.[]

____________

Artikel ini ditulis oleh Arfan Aziz, staf Pusat Penelitian dan Penerbitan IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, dan pertama kali diterbitkan dalam rubrik "Pustaka Jambi" oleh harian Jambi Independent pada Kamis, 4 Juni 2015.

0 komentar: