Desember 01, 2019

Peta Kajian Wastra Jambi

MESKIPUN merupakan tradisi wastra periferal di nusantara, wastra Jambi ternyata sudah lama menjadi topik kajian. Pengamat yang pertama kali membuat laporan tentang wastra Jambi adalah B.M. Goslings. Sejak 1927 hingga 1931, secara berturut-turut Goslings mempublikasikan serial artikelnya tentang batik Jambi dalam berkala Nederlandsch-Indie Oud en Nieuw. Menarik untuk menelusuri siapa sebenarnya Goslings dan mengapa ia tertarik meneliti batik Jambi.
 
Pengamatan Goslings rupanya bukan merupakan penelitian berkelanjutan dalam jangka panjang. Satu setengah dekade setelah Goslings menerbitkan artikel terakhirnya, baru muncul lagi laporan tentang batik Jambi. Pada 1945, J.P.W. Philipsen menerbitkan tulisan berjudul Kain Djambi, iets over de versiering der Djambibatikes. Tulisan tersebut dimuat di Cultureel Indie
Tentu cukup menarik, kalau bukan agak aneh, bahwa seorang Belanda menulis tentang artefak budaya nusantara justru saat pendudukan Jepang. Terlebih lagi, pada masa itu, sebagaiamana dijelaskan Fiona Kerlogue (2000), industri batik Jambi mulai gulung tikar karena kemiskinan rakyat yang disebabkan pendudukan Jepang.
Seiring dengan mati surinya tradisi batik Jambi sejak periode kolonialisme Jepang, kajian tentang wastra Jambi pun ikut mati suri selama lebih dari 40 tahun. Pengamat yang membangkitkan kembali perhatian terhadap wastra Jambi adalah Barbara W. Andaya, sejarawan dari Universitas Hawaii yang kawentar sebagai penulis To Live as Brothers
Dalam forum Asian Studies Association of Australia Bicontennial Conference yang diselenggarakan pada 1988, Barbara Andaya mempresentasikan makalah tentang perdagangan kain di Jambi dan Palembang pada abad k-17 dan ke-18. Isi makalah Andaya tampaknya cukup diperhatikan kalangan Indonesianis Cornell sehingga makalah tersebut diterbitkan dalam jurnal Indonesia pada 1989.
Pada akhir 80-an, wastra  Jambi mulai dilirik pengamat dalam negeri, pertama-tama oleh pemerintah. Dalam rangka membentuk ideologi pembangunan nasional, Orde Baru membuat proyek besar untuk mendokumentasikan berbagai segi budaya lokal di nusantara. Proyek ini secara teknis dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dipandang sebagai artefak yang merepresentasikan identitas Jambi, wastra Jambi turut didokumentasikan. Hasil dokumentasi diterbitkan menjadi sebuah monograf berjudul Pakaian Adat Tradisional Daerah Provinsi Jambi.
Pada dekade berikutnya, jumlah kajian wastra Jambi menjadi lebih banyak. Marhamah memaparkan makalah tentang perkembangan batik Jambi dalam Seminar Tekstil Tradisional Se-Sumatera yang diadakan di Jambi pada tahun 1993. Di Copenhagen, Kerlogue pada tahun 1995 menyampaikan makalah tentang kaitan antara tekstil dan identitas di Jambi. Bersama Johannes, Sihol Situngkir, Sudarmadji, dan Puji Y. Subagiyo, Kerlogue kembali mnyuguhkan makalah tentang batik Jambi dalam Simposium Internasional Tekstil Indonesia yang digelar di Museum Nasional pada tahun 1996.
Pada tahun itu pulalah Kerlogue mulai memapankan posisinya secara akademis sebagai antropolog paling otoritatif dalam studi batik Jambi. Scattered Flowers, buku pertama Kerlogue tentang batik Jambi, diterbitkan Universitas Hull. Setahun kemudian, ia merampungkan disertasinya yang berjudul Batik Cloths from Jambi, Sumatra, di dalam mana Kerlogue juga menguraikan kaitan antara batik Jambi dan seni kaligrafi Arab. 
Deretan tulisan Kerlogue tentang wastra Jambi sepanjang dekade 2000-an diselingi oleh tulisan sejarawan dan budayawan lokal tentang tradisi wastra kampung halamannya sendiri. Pada 2001, Djunaidi T. Noor menerbitkan Pesona Batik Jambi: Laporan Penelitian. Untuk kajian wastra Jambi dekade 2000-an, harus disebutkan pula secara khusus studi Kerlogue dan Hitchcock yang terbit di jurnal Indonesia and the Malay World tentang hubungan antara industri batik Jambi, pembangunan Orde Baru, dan pariwisata.
Tak puas hanya mengamati batik Jambi, Kerlogue akhirnya meluaskan perhatiannya dengan mempelajari jenis wastra Jambi yang lain, yaitu sulaman benang emas. Bahkan, Kerlogue juga meneliti motif hias pada rumah adat Jambi dan tradisi kuliner khas Jambi. Sulaman Benang Emas: An Embroidary Tradition from Central Sumatra adalah judul paper Kerlogue yang dipaparkannya dalam suatu forum di Museum Nasional Jakarta pada tahun 2007. Paper yang sama (atau revisinya?) ia paparkan dalam The First Conference on Jambi Studies pada 2013. 
Semenjak tahun 2012, muncul nama-nama baru yang bergabung dalam diskusi ilmiah tentang wastra Jambi, khususnya tentang batik Jambi. Dalam Batik Jambi: Sejarah, Identitas, dan Kelenturan Budaya, Dewi mengulas sejumlah artikel Andaya dan Kerlogue tentang wastra Jambi. Zilberg mengamati wastra Jambi dari sudut pandang arkeologi, sejauh tergambar pada arca Prajnaparamita yang ditemukan di kompleks percandian Muaro Jambi.
Pada 2013, setidaknya ada tiga kajian tentang wastra Jambi, yaitu oleh Sumardjo Karmela, dan Adhanita. Sumardjo mencari makna motif-motif batik Jambi secara kosmologis. Melengkapi penjelasan Kerlogue tentang industri batik Jambi, Karmela menulis tentang industrialisasi batik di Kota Jambi. Terakhir, meramaikan diskusi tentang motif batik Jambi, Adhanita menulis artikel berjudul Pengembangan Batik Jambi Motif Sungai Penuh sebagai Bentuk Kontribusi pada Pembangunan.
Setelah me-review secara singkat dan sederhana perkembangan kajian wastra Jambi selama ini, tampak bahwa telah banyak sisi wastra Jambi yang dieksplorasi para pengamat sejak Goslings. Jenis wastra yang banyak dibicarakan adalah batik Jambi. Sulaman benang emas hanya diamati oleh Kerlogue. Songket Jambi lepas dari radar pengamatan para peneliti. Wastra ikat kepala untuk laki-laki dan wastra penutup kepala untuk perempuan belum pernah menjadi fokus penelitian.
Wastra Jambi paling sering diperbincangkan dari perspektif ekonomi. Walaupun menggunakan pendekatan sejarah, kajian Barbara Andaya jelas mengandung keterangan panjang lebar tentang fungsi ekonomi wastra Jambi dan dinamika ekonomi di sekitarnya. Pasang surut industri batik Jambi telah diteliti oleh Johannes, Situngkir, Sudarmadji, Subagiyo, Kerlogue, Hitchcock, dan Karmela. Justru dominasi perspektif ekonomi dalam kajian wastra Jambi membuka celah bagi para peneliti lain untuk mendiskusikan wastra Jambi misalnya dari perspektif kontestasi politik, agama, pop culture, atau perspektif baru lainnya.
Wastra Jambi sebagai cermin identitas lokal juga sudah lazim dikomentari, tampaknya bahkan sejak tulisan pertama tentang batik Jambi dipublikasikan pada 1927. Semua kajian identitas dalam konteks wastra Jambi dapat dibagi menjadi dua kecenderungan, yaitu kecenderungan esensialis dan kecenderungan eksistensialis. Jelas bahwa pengamat Belanda, Orde Baru, dan pemerintah daerah mengusung kecenderungan esensialis dalam mendefinisikan identitas. Sementara itu, Kerlogue dan Dewi enggan terjebak dalam kecenderungan esensialisasi identitas tersebut.
Yang juga sudah banyak dibahas adalah tradisi wastra bagian hilir Jambi. Kebudayaan Jambi, yang pada mulanya dan pada dasarnya berbasis sungai, sebenarnya terbagi menjadi dua kutub yang satu sama lain saling berkoeksistensi, yaitu kutub hilir dan kutub hulu. Artefak budaya kedua kutub ini tentu memiliki persamaan yang mempertemukan dan menyatukan, juga memiliki perbedaan yang menegaskan subidentitas masing-masing. Tradisi wastra hulu Jambi bukan tidak ada, hanya saja kurang dilirik. Kerlogue sudah serba sedikit menyebut-nyebut kain etnik di hulu Jambi tetapi tradisi wastra ini tidak pernah menjadi konsenstrasi kajiannya.
Bila ingin lebih jauh menelusuri kajian wastra Jambi, Anda bisa mencari referensi-referensi yang dicantumkan dalam bibliografi di bawah ini. Perlu ditegaskan, bibiliografi ini masih dalam proses penyempurnaan. Banyak kajian yang barangkali luput dari jangkauan. Karena itu, demi melengkapi bibliografi ini, informasi dari berbagai pihak tentu diharapkan, ditunggu, dan diterima dengan tangan terbuka.

Bibliografi Kajian Wastra Jambi

1927/1928
Goslings, B.M.,"Een batik van Jambi", Nederlandsch-Indie Oud en Nieuw, 12 (1927/1928), hlm. 279-2-83.

1928
Berestyen-Tromp, E.van, "Batik van Djambi", Kolonial Week Blad, 31Mei1928, hlm. 259-260.

1929/1930
Goslings, B.M.,"Het batiken in het gebeid der hoofdplaats Djambi", Nederlandsch-Indie Oud en Nieuw, 14 (1929/1930), hlm. 141-152; 175-185; 217-223.

193/1931
Goslings, B.M., "Roodgekleurde Djambi-batiks", Nederlandsch-Indie Oud en Nieuw, 15 (1930,1931), hlm. 335-346.

1945
Philipsen, J.P.W., "Kain Djambi, iets over de versiering der Djambibatikes", Cultureel Indie, 7(1945), hlm. 144-122.

1988
Andaya, Barbara W., "The Cloth Trade in Jambi and Palembang Society during the Seventeenth and Eighteenth Centuries", Indonesia, 48(1989), hlm.27-46. Mulanya adalah makalah yang dipresentasikan pada Asian Studies Association of Australia Bicentennial Conference yang diselenggarakan di Universitas Nasional Australia pada Februari 1988.

1988/1989
Depdikbud, Pakaian Adat Tradisional Daerah Provinsi Jambi, (Jakarta: Depdikbud, 1988/1989).

1993
Marhamah, "Batik Tradisional Jamb idan Perkembangannya", makalah dipresentasikan pada Seminar Tekstil Tradisional Se-Sumatra, Jambi, 27September1993. Tampaknya makalah ini atau revisinya kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Batik Tradisional Jambi dan Perkembangannya, (Jambi: Kanwil Departemen Perindustrian Provinsi Jambi, 1993).

1995
Kerlogue, F., “Textiles, Traditionand Identity in Jambi, Sumatra”, makalah dipresentasikan pada The 4th Nordic-European Workshop in Advanced Asian Studies,“ Cultural Studies in Southeast Asia”, NIAS, Copenhagen, 1995.

1996
Kerlogue, F., “The Red Batiks of Jambi: Questions of Provenance”, makalah dipresentasikan pada Simposium Internasional Tekstil Indonesia, Museum Nasional, Jakarta, 6-9November 1996.
Johannes dan Sihol Situngkir," Production and Marketing Policies: Orientation of Jambi Batik", Makalah dipresentasikan pada Simposium Internasional Tekstil Indonesia, Museum Nasional, Jakarta, 6-9November1996. Tak diterbitkan.
Sudarmadji dan Puji Y. Subagiyo," Jambi Batik in Development", makalah dipresentasikan pada Simposium Internasional Tekstil Indonesia, Museum Nasional, Jakarta, 6-9 November1996. Tak diterbitkan.
Kerlogue, F., Scattered Flowers: Textiles from Jambi, Sumatra,(Cottingham: University of Hull,1996).

1997
Kerlogue, F. Batik Cloths from Jambi, Sumatra (1997). Tesis PhD di Universitas Hull.Tidak diterbitkan.
Kerlogue, F.,“Classical Batiks of Jambi”, makalah dipresentasikan pada konferensi The World Batik and Heritage Conference, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, November1997.

1998
Kerlogue, F., “Textiles as a Medium of Communication in Malay Communities in Sumatra”, makalah dipresentasikan pada The Annual Conference of the Association of Social Anthropologists 1988 di University of Kent at Canterbury, 30 Maret hingga 3 April 1998. Makalah ini tampaknya kemudian diterbitkan sebagai artike lberjudul "Interpreting Textiles as Medium of Communication: Cloth and Community in Malay Sumatra", Asia nStudies Review, 24 (2000), hlm. 335-348.

1999
Kerlogue, F., "Importing Identity: Indian Textiles in Jambi, Sumatra", makalah dipresentasikan pada seminar "Textiles in the Indian Ocean", yang diselenggarakan Institute of Social and Cultural Anthropology di Universitas Oxford, 19-20 Maret 1999. Makalah ini kemudian diterbitkan sebagai artikel berjudul "Importing Identity: Textiles of Jambi (Sumatra) and the Indian Ocean Trade", dalam Ruth Barners(ed.),Textiles in Indian Ocean Societies,(London-NewYork: Routledge-Curzon, 2003), hlm. 130-149.
Kerlogue, F., "Transformation and Tradition: Calligraphy Batiks from Jambi", makalah dipresentasikan pada "Textiles in Changing Times: Identity and the Remaking of Tradition", sebuah forum di Fowler Museum of Cultural History, Universitas California, Los Angeles, 15 Mei 1999.

2000
Kerlogue, F. dan Michael Hitchcock, "Tourism, Development, and Batik in Jambi", Indonesia and the Malay World, 28, 82 (2000), hlm. 221-242.

2001
Noer, Djunaidi T., Pesona Batik Jambi: Laporan Penelitian, (Jambi: Dinas Pariwisata Provinsi Jambi, 2001).

2004
Kerlogue, F., “Jambi Batiks: A Malay Tradition?”, kuliah yang diberikan di Galeri Brunei, University of London School of Oriental and African Studies, disela-sela pameran Spirit of Wood, theArt of Malay Woodcarving, 28 Januari 2004.
Kerlogue, F. dan Tara Sosrowardoyo, Batik: Design, Style & History, (London: Thames & Hudson, 2004).

2005
Kerlogue, F., ‘The Batik of Malay Sumatra”, makalah dipresentasikan pada International Seminar on ‘The Spirit and Form of Malay Design’, National Museum, Kuala Lumpur, Juni 2005.

2007
Kerlogue, F., “Sulaman Benang Emas: An Embroidery Tradition from Central Sumatra”, makalah dipresentasikan di Museum Nasional, Jakarta, 21-22 November 2007. Makalah ini tampaknya kemudian dipresentasikan lagi pada The First International Conference on Jambi Studies, Jambi, 21-24 November 2013.

2011
Kerlogue, F., "Memory and Material Culture: A Case Study from Jambi, Sumatra", Indonesia and the Malay World, 39,113 (2011), hlm. 89-101.

2012
Dewi, Ratna, "Batik Jambi: Sejarah, Identitas, dan Kelenturan Budaya", Seloko: Jurnal Budaya, 1, 1(2012), hlm. 175-189.
Zilberg, Jonathan, "Textiles History in Stone I: The Case of Muarajambi Prajnaparamita", Seloko: Jurnal Budaya, 1, 2 (2012), hlm. 215-258.

2013
Sumardjo, Jakob, "Kosmologi Batik Jambi", Seloko: Jurnal Budaya, 2, 1 (2013), hlm. 95-121.
Karmela, Siti Heidi, "Industrialisasi Batik di Kota Jambi: Batik Jambi sebagai Produk Ekonomi dan Politik", Seloko: Jurnal Budaya, 2, 1 (2013), hlm. 123-144.

Adhanita, Septiara, “Pengembangan Batik Jambi Motif Sungai Penuh sebagai Bentuk Kontribusi pada Pembangunan”, Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, 9, 4 (2013), hlm. 381-392.

0 komentar: