Mei 30, 2014

Hutan adalah Rumah dan Sumber Penghidupan Kami: Kesaksian Tumenggung Tarib 'Orang Rimbo'

"Hutan adalah Rumah dan Sumber Penghidupan Kami: Kesaksian Tumenggung Tarib 'Orang Rimbo'", disampaikan di Mahkamah Konstitusi, 27 Juni 2012.


PADA 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian judicial review UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Pokok putusan itu menegaskan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara.

Salah seorang saksi yang dihadirkan dalam sidang-sidang pengujian UU tersebut adalah Tumenggung Tarib, seorang pemimpin sebuah komunitas Orang Rimba di Jambi. Tarib bersaksi pada 27 Juni 2012. Kesaksiannya berjudul “Hutan adalah Rumah dan Sumber Penghidupan Kami”.

Secara umum ada delapan bagian kesaksian sepanjang 21 halaman tersebut. Bagian pertama, “Sejarah ‘Orang Rimbo’”, menceritakan dua versi leluhur atau “asal-usul” Orang Rimba. Versi pertama adalah Maalau Sesat yang meninggalkan keluarga karena pertengkaran dan lari ke hutan. Versi kedua sudah sering dikatakan, yakni keturunan Pagaruyung. Selain itu disampaikan juga tentang jumlah dan hukum yang dipegangi Orang Rimba.

Bagian kedua, “Penyebutan ‘Orang Rimbo’ dan Suku Anak Dalam”, membahas sebutan yang diinginkan Orang Rimba. Suku Anak Dalam, Masyarakat Terasing, dan Suku Kubu merupakan sebutan-sebutan yang tidak diinginkan mereka. Sebutan yang pas adalah “Orang Rimbo”. Tarib juga menyebut, dalam dunia akademik, Muntholib Soetomo merupakan ilmuwan pertama yang mengungkap sebutan ini dalam disertasinya.

Bagian ketiga, “Karakteristik dan Kultur ‘Orang Rimbo’” mengisahkan berbagai kebiasaan yang dipegangi Orang Rimba, seperti melangun ketika ada yang meninggal, upacara besale, aturan dalam seloko, kepercayaan, dan cara mereka mengelola hutan. Bagian keempat, “Sistem Kekerabatan”, membahas sistem matrilineal yang mereka anut. Selain itu juga disampaikan soal struktur kepemimpinan Orang Rimba.

Bagian kelima, “Organisasi Sosial dan Kelompok Masyarakat”, lebih detail menyangkut pelapisan masyarakat Orang Rimba, yang sebenarnya lebih mencerminkan struktur kepemimpinan sebagaimana disinggung dalam bagian sebelumnya. Bagian keenam, “Kehidupan Masyarakat ‘Orang Rimbo’”, membahas makanan dan cara berpakaian Orang Rimba. Dikatakan, hutan merupakan rumah mereka yang menyediakan makanan untuk mereka. Sumber makanan Orang Rimba adalah hutan. Bagian ketujuh, “Peralatan, Komunikasi & Seni”, membahas definisi kekayaan bagi Orang Rimba dan komunikasi mereka dengan orang terang. Disampaikan juga soal nyanyian, tarian, pantun, serta seloko.

Bagian kedelapan, “Wilayah Persebaran”, yang tampaknya merupakan inti kesaksian, mengisahkan hutan sebagai wilayah hidup mereka. Hutan mereka tinggal dinamakan Bukit Duabelas, sebab terdapat 12 undakan di sana. Hutan itu masuk dalam lima kabupaten, yaitu Batanghari, Sarolangun, Merangin, Bungo, dan Tebo. Meskipun sebagian besar masuk dalam kawasan taman nasional, banyak bagian hutan berubah fungsi menjadi HPH atau HGU. Disebutkan senarai perusahaan yang mendapatkan “hak” untuk “merusak” hutan.

Perubahan fungsi hutan menjadi bencana bagi Orang Rimba. Hutan sebagai sumber makanan Orang Rimba menyusut dan menyebabkan binatang sebagai buruan mereka di darat menghilang serta menyebabkan sungai mengering sehingga ikan dan labi-labi habis.

Akibat kehadiran perusahaan-perusahaan yang mengalihfungsikan hutan juga dijabarkan dalam bagian kesembilan, “Selain Wilayah, Nyawa Juga Dipertaruhkan”. Di dalamnya disampaikan konflik Orang Rimba dengan perusahaan-perusahaan tersebut. Dalam hal itu, perusahaan tak segan-segan menggunakan cara-cara kekerasan seperti penembakan, penyerbuan, pengusiran, penganiayaan, dan pembakaran. Dikatakan pula pemerintah tidak berpihak dan membiarkan Orang Rimba. Posisi mereka yang lemah tak membuat pemerintah melakukan pembinaan kepada mereka. Bahkan kebijakan transmigrasi, menurut Tarib, juga membuat posisi Orang Rimba terdesak karena tanah ulayat mereka kemudian dibagikan kepada orang luar.

Kesaksian Orang Rimba ini menarik karena tertulis. Selama ini nyaris tidak ada pandangan Orang Rimba yang ditulis oleh tangan pertama, paling-paling oleh peneliti yang “mengklaim” tulisannya sebagai pandangan Orang Rimba. Di kesaksian ini, misalnya, terang disebutkan “Orang Rimbo”, bukan “Orang Rimba” yang belakangan lebih sering digunakan. Apakah penulisan yang diinginkan mereka adalah “Orang Rimbo”?

Satu-satunya ilmuwan yang konsisten menggunakan "Orang Rimbo" adalah Muntholib. Dan kalau tak silap, berbagai hal soal adat, sejarah, organisasi sosial, persebaran, kepemimpinan, dan tradisi hukum Orang Rimba sudah dibahas panjang-lebar dan lengkap oleh guru besar IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi tersebut dalam disertasi yang dia ajukan ke Universitas Padjadjaran pada 1995. Rasanya pandangan Tarib di atas juga tidak berbeda dari uraian Muntholib. Judul disertasi Muntholib adalah “Orang Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing di Makekal, Provinsi Jambi”. 

Tentu berbagai hal yang muncul belakangan seperti masuknya banyak perusahaan ke Bukit Duabelas dan akibat yang ditimbulkannya adalah hal baru.[]

_________________

Naskah kesaksian lengkap dapat diunduh di sini.

0 komentar: