“Kemelut Berlarut Pembangunan Gereja”, Gatra, 16 Februari 2012.
KARENA AKSI penolakan warga, pembangunan gereja di sejumlah daerah menjadi kemelut yang berlarut-larut. Di lain pihak, pemerintah daerah cenderung pro-masyarakat mayoritas dan tidak bisa bertindak tegas.
Acara kebaktian Ahad lalu itu, apa boleh buat, berlangsung di halaman gereja di bawah rintik hujan. Sulit untuk mengatakan ritual ibadah jemaat Gereja HKBP Syalom Aurduri, Kelurahan Penyengat Rendah, Kota Jambi, itu berjalan khusyuk. Betapa tidak, tenda plastik warna biru tempat mereka bernaung tak sepenuhnya mampu menepis buliran air hujan. Belum lagi suara berisik air hujan yang menghantam tenda.
Untung saja, suara Pendeta Bernard T.P. Siagian, MTh, yang memimpin ibadah itu terdengar cukup lantang. Di samping itu, sejumlah personel polisi yang berjaga-jaga turut memberi ketenteraman bagi jemaat. Dalam khotbahnya, Bernard Siagian menyinggung soal penyegelan gereja mereka. “Kita tunggu saja sampai mereka kuat. Mereka pasti akan menyerah,” kata Pendeta Bernard.
Bernard tak menyebut secara jelas siapa “mereka” yang dimaksud. Namun para jemaatnya mahfum,”mereka” yang dimaksud tak lain massa Perwakilan Masyarakat Penyengat Rendah dan Wali Kota Jambi, Bambang Priyanto. Ya, gara-gara demo Masyarakat Penyengat Rendah, Bambang Priyanto langsung menerbitkan surat yang berbuntut penyegelan gereja mereka, baik yang lama maupun yang sedang dibangun.
Tragisnya penyegelan yang tertuang dalam surat Wali Kota tanggal 14 Desember 2011 itu berlangsung hanya sehari sebelum perayaan Natal 25 Desember lalu. Tak ayal, prosesi kebaktian Natal ketika itu terpaksa dilangsungkan di halaman dekat gereja tanpa persiapan berarti. Para jemaat memegang payung, berlindung dari siraman hujan yang memang kerap turun di penghujung tahun.
Jemaat kaum ibu tampak meneteskan air mata, menatap gereja mereka yang disegel. Pendeta Resort J. Lumbangaol mencoba menenangkan jemaatnya, meminta mereka sabar dan tabah. Meski berlangsung di halaman, tanpa tenda pula, kebaktian Natal itu berlangsung cukup khidmat. “Semua prosesi kebaktian berjalan seperti biasa, tak ada yang dipotong,” kata J. Lumbangaol kepada Gatra, usai memimpin kebaktian Natal, 25 Desember lalu.
Keputusan Walikota itu menyegel Gereja HKBP Syalom Aurduri itu dipicu aksi demo puluhan warga yang mengatasnamakan Perwakilan Masyarakat Penyengat Rendah, 28 November lampau. Selain berdemo di lokasi gereja yang sedang dibangun, massa yang dipimpin H. Raden Abdus Shomad S. itu juga mendatangi Kantor DPRD Kota Jambi. Massa memberi tenggat 15 hari agar pembangunan gereja itu dihentikan. ''Kalau dalam 15 hari tak dihentikan, kami yang bertindak," ujar Abdus Shomad.
Menurut Abdus Shomad yang bekerja sebagai pengawas sekolah madya di Kantor Kementerian Agama Kota Jambi, sejak 1997 aktivitas gereja di Kelurahan Penyengat Rendah tidak diterima masyarakat. “Seratus persen masyarakat di sini (Penyengat Rendah) adalah Muslim. Jadi, kalau mereka (panitia pembangunan gereja) mengaku mendapatkan KTP nonkristen, itu berarti manipulasi,” kata Abdus Shomad kepada Gatra.
Buntut aksi demo itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Jambi langsung mengambil sikap pro-pendemo yang merupakan masyarakat mayoritas, dengan menerbitkan surat pelarangan pembangunan gereja baru, sekaligus pelarangan beribadah. Gereja itu pun langsung disegel, dengan dasar Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2002 tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Hendra Ambarita, Sekretaris Panitia Pembangunan Gereja HKBP Syalom Aurduri menampik tudingan Abdus Shomad bahwa aktivitas gereja mereka sejak 1997 tidak pernah diterima masyarakat setempat. Menurut Hendra, gereja lama yang terbuat dari kayu berdiri secara sah sejak 1997. Dasarnya adalah Keputusan Mendagri dan Menhankam No. 153 Tahun 1995 tanggal 26 Desember 1995. Aktivitas gereja itu, kata Hendra, juga tak pernah diusik warga.
Belakangan, gereja itu mulai lapuk, sehingga diputuskan dibangun gereja baru yang lebih kokoh dan permanen. Lokasinya sekitar lima meter dari bangunan lama, juga berupa rawa. Tanah untuk bangunan baru ini merupakan hibah, sedangkan tanah gereja lama hanya pinjaman dari jemaat. Proses penimbunan dilakukan sejak 2004 sampai 2008. Pada 2010, panitia mulai mengurus IMB sambil membangun gereja pelan-pelan.
Menurut Hendra pula, panitia berhasil mengumpulkan 30 KTP nonkristen sebagai salah satu syarat pembangunan gereja. Nah, sejak pembangunan gereja permanen berlangsung, barulah datang berbagai aksi penolakan yang berujung penyegelan. Sejak itu, jemaat pun turun drastis, dari 2.000-an menjadi hanya 100 orang yang masih setia mengikuti kebaktian.
Bagi Hendra Ambarita, sebetulnya ada dua persoalan terpisah, tapi dipaksakan dipukul rata. Yakni masalah IMB untuk pembangunan gereja baru dan izin beribadah gereja lama yang dikantongi sejak 1997. “Kami sudah menghentikan kelanjutan pembangunan gereja (baru), tapi kenapa aktivitas beribadah juga dilarang? Kalau dibilang aktifitas kami meresahkan, Anda bisa lihat sendiri. Gereja dikelilingi hutan, jauh dari pemukiman warga. Saya kira yang resah hanya monyet,” kata Hendra Ambarita, masygul.
Hendra menegaskan, pihak gereja akan terus berjuang sampai hak mereka untuk beribadah terpenuhi. “Kami heran, pemkot melarang kami beribadah. Apakah kami ini (menganut) ajaran sesat?” kata Hendra lagi. Menurut Hendra, pada 11 Januari, pihak gereja telah mengajukan surat keberatan kepada Pemkot Jambi. Jika surat itu belum dijawab juga, pihak gereja akan menggugat Pemkot ke pengadilan tata usaha negara. Jemaat berencana pula menggelar ibadah bersama di depan kantor wali kota, sebagai bentuk protes penyegelan gereja itu.
Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Jambi, H.A.R. Sayuti, mengatakan bahwa penyegelan itu sudah berdasarkan hukum. Menurut Sayuti, sesuai dengan laporan masyarakat dan hasil verifikasi, timnya menyimpulkan bahwa rumah ibadah itu, baik bangunan lama dan baru, tidak memiliki izin apa pun. Juga tidak mengantongi rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jambi. ”Selagi tidak mengantongi izin, tidak akan kami rekomendasikan,” ujar Sayuti.
Wali Kota Jambi, Bambang Priyanto belum bisa dimintai komentarnya. Sedangkan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Jambi, H. Daru Pratomo, mengatakan persoalan ini sedang dikaji secara mendalam. Tapi ia mengelak memaparkan lebih jauh mengenai hasil kajian itu. “Saya kan baru seminggu menjabat sekda. Jadi, saya belum memahami betul persoalan ini. Kita tunggu saja proses berikutnya,” kata Daru Pratomo.
Ketua Forum Pemuda Bangsa, LSM yang mengadvokasi kasus ini, Tomando Sihite, prihatin atas kasus penyegelan gereja ini. Lebih-lebih, dari 57 gereja di Kota Jambi, sebanyak 37 gereja di antaranya tidak mengantongi IMB karena pengurusannya sangat sulit. “Bukan tidak mungkin penyegelan gereja di Jambi akan terjadi kembali dalam waktu dekat,” kata Tomando.[]
0 komentar:
Posting Komentar