Mei 27, 2014

Paham Keagamaan H. Abdul Jalil bin H. Demang: Analisis Kitab Minhaj al-Umniyah fi Bayani ‘Aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah


Pirhat Abbas, “Paham Keagamaan H. Abdul Jalil bin H. Demang: Analisis Kitab Minhaj al-Umniyah fi Bayani ‘Aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah”, Kontekstualita: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 25, No. 1, (2010): 137-163.


DI DALAM bukunya yang terkenal, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma below the Winds, Michael F. Laffan menyinggung seorang haji dari Jambi bernama Abd al-Galil. Dikatakan, pada 1909 Abd al-Galil tercatat oleh Perwakilan Kolonial di Kairo tanpa membawa dokumen perjalanan.

Pertanyaannya, siapakah al-Galil?

Di Jambi, dia dikenal sebagai Abdul Jalil, lengkapnya H. Abdul Jalil bin H. Demang. Abdul Jalil tinggal di wilayah hulu Jambi. Daerahnya sekarang adalah Desa Kasiro, Kecamatan Batangasai, Kabupaten Sarolangun. Dia diperkirakan hidup pada 1840-1928.

Pada 1909, Abdul Jalil berangkat menunaikan haji ke Mekkah. Sebagaimana dicatat Laffan, rupanya dia melalui Suez dan singgah di Kairo sebelum ke Mekkah. Setelah selesai haji, Abdul Jalil tidak lantas pulang. Sebagaimana jamak dipraktikkan oleh para haji dari Nusantara, Abdul Jalil mukim di Mekkah untuk belajar agama. Sekira sembilan tahun dia mukim di Mekkah, dan baru pulang ke Jambi sekitar 1918.

Pada 1919 Abdul Jalil mendirikan madrasah di kampungnya di Kasiro. Dia menjadi perpanjangan tangan ulama Jambi yang mengurusi masalah keagamaan di afdeling Sarolangun. Pada 3 Jumadil Akhir 1346 H atau pada 1924, Abdul Jalil merampungkan kitab karangannya, berjudul Minhaj al-Umniyah fi Bayani ‘Aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Metode Ideal untuk Menjelaskan Akidah Ahlussunnah Waljamaah). Kitab itu dicetak di Singapura. Kitab Minhaj itulah yang dibahas Pirhat Abbas di dalam artikelnya ini.

Ketika Abdul Jalil menulis kitabnya itu, masyarakat Kasiro masih memercayai roh-roh nenek-moyang yang dapat membantu mereka dalam menyelesaikan berbagai persoalan hidup. Mereka kerap pergi ke makam keramat dan Bukit Sulah untuk meminta kaya, terkenal, dan mendapatkan kekebalan. Tradisi itu pelan-pelan ingin dihilangkan oleh Abdul Jalil dengan mendirikan madrasah untuk anak-anak dan remaja serta membuka pengajian untuk para orang tua. Kalau dalam pengajaran madrasah Abdul Jalil memakai kitab-kitab sebagaimana digunakan madrasah-madrasah di Seberang Kota Jambi, dalam pengajian orang tua Abdul Jalil membacakan manaqib Syekh Muhammad Saman.

Kitab Minhaj tampaknya untuk melengkapi manaqib dan diajarkan kepada orang tua. Kitab ini ringkas, hanya 32 halaman termasuk judul. Di dalam halaman yang terbatas itu, menurut Abbas, Abdul Jalil membahas setidaknya tigas aspek Islam, yaitu akidah, fiqh, dan tasawuf. Dengan luasnya tema yang dicakup masing-masing aspek, jelas kitab ini tidak memadai diajarkan kepada para murid yang “formal”. Untuk orang tua, yang hadir dalam pengajian dengan waktu terbatas, kitab ringkas tentu lebih pas.

Di dalam masalah tauhid, pembahasan yang diketengahkan Abdul Jalil hanya soal iman: pengertian, jenis, dan rukun iman. Dalam membahas tentang ketuhanan, disampaikan 20 sifat yang wajib, seperti wujud, qidam, baqa, dst. Dipaparkan pula empat sifat yang wajib dan mustahil bagi rasul.

Berkenaan dengan fiqh, Abdul Jalil berpanjang-panjang menerangkan tentang salat. Masyarakat saat itu tampaknya butuh penjelasan lebih tentang salat. Persoalan fiqh seperti zakat, puasa, dan haji hanya diterangkan sepintas. Dalam menerangkan fiqh, menurut Abbas, tampak sekali Abdul Jalil memegangi mazhab Syafi’iyah.

Sementara terkait tasawuf, Abdul Jalil menerangkan soal makrifat dan tentang ilmu. Dijelaskan bahwa makrifat atau mengenal Allah mesti dilakukan setiap makhluk. Lalu di mana posisi ilmu? Dapatkah ilmu menguak Allah? Dengan bagus Abdul Jalil membagi ilmu menjadi tashawwur dan tashdiq. Kalau tashawwur merupakan pengetahuan yang didapat dari pengalaman empiris, tashdiq adalah soal keyakinan. Tashawwur membutuhkan hawas atau indera, yang hasilnya berupa khabar atau kenyataan yang inderawi, yang kemudian dicerap aqal; tashdiq semata wilayah aqal bahkan nur. Jadi, makrifat, kata Abdul Jalil, adalah wilayah tashdiq dan aqal atau nur.

Menurut Abbas, dalam soal tauhid, pembahasan Abdul Jalil menunjukkan bahwa dia adalah pengikut Ahlussunnah Waljamaah. Uraiannya tentang sifat 20 dan sifat rasul dekat dengan Muhammad bin Yususf al-Sanusi atau Sanusiyah. Sementara pandangan tasawufnya jelas memperlihatkan muatan falsafi yang kuat.

Pembahasan yang ringkas dan menyasar hal-hal yang dibutuhkan masyarakatnya, memperlihatkan bahwa Abdul Jalil menulis kitab ini untuk mereka. Dengan kesadaran akan konteks yang kuat, kata Abbas, tidak ada peluang bagi Abdul Jalil untuk menyadur atau sekadar menerjemahkan kitab lain, tapi dia mesti menulis sendiri.[]

_______________

Artikel lengkap dapat diunduh di sini.


Related post:

>> Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma below the Winds

0 komentar: