Mei 19, 2014

Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma below the Winds


Michael Francis Laffan, Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma below the Winds, (London & New York: RoutledgeCurzon, 2003).


SECARA UMUM buku ini membahas tentang pembentukan nasionalisme Indonesia. Berbeda dari banyak pandangan yang mengatakan bahwa nasionalisme Indonesia mulai menemukan bentuknya di tangan para pelajar Indonesia di Belanda pada awal abad ke-20, buku ini menelusurinya lebih ke belakang. Argumen paling menarik adalah bahwa bibit nasionalisme sudah ada sebelumnya di kalangan orang-orang Nusantara yang berada di Mekkah. Karena orang Nusantara berada di sana untuk tujuan agama, yakni menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama, nasionalisme jelas disumbang oleh kaum agama.

Jadi jauh sebelum Belanda dan Mesir banyak dijadikan tempat bersekolah, Mekkah sudah menjadi kiblat pendidikan bagi orang Nusantara. Beberapa orang Nusantara bahkan kemudian menjadi mahaguru dan ulama besar di Mekkah, seperti Nawawi al-Bantini dan Ahmad Khatib al-Minankabawi.

Di Mekkah, para hujjaj dan mukimin menyebut diri dan disebut sebagai Jawi, merujuk daerah asal mereka yang dikenal sebagai Bilad al-Jawah, yang berarti “daerah angin”. Laffan menerjemahkannya dengan “below the winds”. Sebutan ini mengacu Nusantara yang merupakan daerah tropis dan berada di garis khatulistiwa. Perkumpulan Jawi ini yang dikatakan Laffan memunculkan bibit nasionalisme yang dia sebut nationhood.

Untuk melihat betapa berpengaruhnya agama dalam membentuk nasionalisme, Laffan kemudian menghitung jumlah para hujjaj. Cara menghitungnya dengan melihat daftar hujjaj yang dikelola pemerintah Hindia Belanda dan daftar yang dimiliki konsulat atau agen kolonial di Jeddah. Rupanya ketika itu kolonial punya perwakilan di Jeddah yang selain berfungsi melayani penduduk Nusantara, juga mengintip apa saja yang dilakukan hujjaj di tanah Arab. Tapi kata Laffan, cara penghitungan dengan melihat daftar saja acap menipu. Pertama, banyaknya nama “Ahmad” dan “Muhammad” di daftar dan tidak bisa dipastikan mereka orang yang sama atau berbeda. Kedua, banyak hujjaj yang sengaja menghindari konsulat dan agen di Jeddah. Caranya mereka pertama-tama berlayar ke Suez dan dari sana mereka memilih pelabuhan tikus Yanbu’, bukan Jeddah. Mereka menghindari Jeddah karena tidak punya paspor.

Ketika menerangkan orang Nusantara yang tak berpaspor itu, Laffan mencontohkan orang Jambi. Namanya Abd al-Galil. Sewaktu berangkat ke Mekkah, al-Galil tampaknya juga menggunakan jalur Suez. Catatan Laffan tentang al-Galil (sayangnya hanya satu kalimat) adalah, “...in 1909 the Dutch Agency in Cairo noted the presence of a Sumatran pilgrim (Abd al-Galil of Jambi) staying without a passport” (...pada 1909, Perwakilan Belanda di Kairo mencatat kehadiran seorang haji dari Sumatera, yaitu Abd al-Galil dari Jambi, yang singgah tanpa menggunakan paspor). Hanya itu catatan Laffan tentang al-Galil dan juga tentang Jambi di buku ini.

Siapakah al-Galil sebenarnya? Di Jambi dia disebut dengan Abdul Jalil. Nama lengkapnya Haji Abdul Jalil bin Haji Demang. Dia ulama yang tinggal di daerah hulu, tepatnya sekarang di Desa Kasiro, Batangasai, Sarolangun. Diperkirakan dia hidup pada 1840-1928. Dia mukim di Mekkah selama sembilan tahun, dan pulang pada 1919. Dengan demikian, catatan agen kolonial pada 1909 dia terlihat di Kairo itu sewaktu dia berangkat. Melihat masa hidupnya, cukup tua dia baru berangkat studi ke Mekkah. Tujuan utamanya jelas menunaikan haji. Seperti biasanya orang Nusantara kala itu, setelah haji Abdul Jalil tidak lantas pulang, tapi bermukim dulu untuk belajar Islam.

Setelah kembali ke Jambi, Abdul Jalil mendirikan madrasah di kampungnya. Pada 3 Jumadil Akhir 1346 H (1924), Abdul Jalil merampungkan kitab karangannya, berjudul Minhaj al-Umniyah fi Bayan ‘Aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (artinya: Metode Ideal untuk Menjelaskan Akidah Ahlussunnah Waljamaah). Meskipun judulnya Arab, isi kitab memakai huruf Jawi (Arab Melayu). Kitab itu dicetak di Singapura
.

Lebih jauh tentang kitab karangan Abd al-Galil atau Abdul Jalil, baca related post di bawah.[]

______________

Related post:

>> Paham Keagamaan H. Abdul Jalil bin H. Demang: Analisis Kitab Minhaj al-Umniyah fi Bayani 'Aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah

0 komentar: