Juni 09, 2014

Butet Saur Marlina Manurung: Didik Orang Rimba Agar Tak Tertipu


ANTROPOLOG CANTIK kelahiran Jakarta 29 tahun silam ini mengabdikan hidupnya untuk mendidik Orang Rimba di Jambi yang kerap jadi korban penipuan dan ketidakadilan oleh orang kota. Ia rela hidup di hutan dan menjadi bagian dari suku yang enggan berbaur dengan orang luar itu. Unesco (Badan PBB untuk pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan) memberinya penghargaan.

Siapa, sih, sebenarnya yang dimaksud Orang Rimba?

Orang Rimba adalah masyarakat yang mendiami tepi sungai kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), Propinsi Jambi. Jumlah mereka kian hari kian menyusut, yaitu sekitar 2.800 orang. Sedangkan yang berada di TNBD hanya 1.600 orang. Mereka hidup berkelompok dan berpindah-pindah. Masing-masing kelompok berkisar antara 20-100 orang. Di TNBD misalnya, ada tiga kelompok besar, yaitu Makekal, Air Hitam, dan Kejasung. Nama-nama ini sesuai dengan nama sungai di wilayah itu.

Bagaimana ceritanya Anda sampai mengajar anak-anak suku Orang Rimba?

Sejak akhir tahun 1999, saya bergabung dengan Warsi (Warung Informasi Konservasi), sebuah LSM yang mendapat dukungan dana dari Norwegian Rain-Forest Foundation. Tugas kami adalah pendampingan bagi Orang Rimba. Di antaranya bidang kesehatan, pendidikan, dan sebagainya, yang kami anggap sangat mereka perlukan. Kebetulan saya bertugas di bidang pendidikan, menggantikan tugas rekan sebelumnya, Yusak Hutapea yang meninggal akibat terserang malaria.

Apakah Orang Rimba masih buta huruf?

Umumnya demikian. Keadaan inilah yang sering dimanfaatkan "Orang Terang" yaitu orang luar rimba yang telah berpendidikan dan modern seperti kita, untuk menipu mereka. Misalnya, Orang Rimba menjual damar seberat 10 kg dengan harga Rp 1.000 perkilo, mereka dibayar Rp 10 ribu. Namun jika mereka membawa 20 kg hanya dibayar Rp 15 ribu. Karena tidak mengerti berhitung mereka hanya diam. Paling-paling mereka mengadu kepada kami.

Yang lebih parah, mereka diiming-imingi uang agar mau menandatangani atau cap jempol pada selembar surat yang diberikan. Mereka mau saja karena tidak tahu baca tulis. Enggak tahunya, kertas tadi adalah akte jual-beli. Hasilnya bisa ditebak. Orang Rimba dianggap sudah menjual wilayahnya kepada pengusaha HPH secara resmi karena sudah memberi tanda tangan pada akte jual beli. Lantas Orang Rimba diusir. Mereka tidak melawan karena tidak suka keributan.

Susah enggak, sih, ketika Anda pertama kali masuk ke sana?

Saya pertama kali masuk di kelompok Makekal ditemani rekan Willy, yang juga dari Warsi. Kami utarakan maksud kedatangan kami. Yaitu untuk memberi pelajaran membaca dan menulis supaya mereka tidak dibodohi "orang terang". Namun, mereka langsung menolak karena menganggap saya berniat jahat. "Maksud Ibu jahat, jangan di sini," usir mereka. Bagi mereka, sekolah dan jadi pandai berarti sama dengan menjadi penipu dan penjahat. Besoknya saya angkat kaki dari sana.

Lantas? 


Bulan berikutnya, November 1999, saya coba lagi. Kali ini di wilayah Kejasung yang saya anggap adatnya lebih longgar dan lebih terbuka menerima orang luar. Di sini saya mendekati kaum perempuan. Saya ikuti berbagai kegiatan mereka. Misalnya menumbuk singkong, mengambil air, dan sebagainya. Ternyata mereka juga tertutup sekali. Rupanya mereka memperhatikan penampilan saya yang menurut mereka sangat tabu. Antara lain karena saya mengendarai sepeda motor dan mengenakan celana panjang. Susah juga mendekati kaum perempuan ini.

Tapi saya tak pernah berhenti mencoba. Saya coba mendekati anak-anaknya. Mula-mula saya dekati anak-anak usia 6-8 tahun. Ternyata susah juga. Mereka malah ketakutan. Akhirnya saya menemui anak yang lebih besar, usia 9-11 tahun, yang mereka sebut bujang kecik. Mereka sudah mulai diajar orang tuanya menangkap ikan dengan tuba, memanjat pohon, memasang jerat hewan-hewan berukuran kecil, misalnya marmut, kelinci, dan sebagainya.

Apa yang kemudian Anda lakukan?

Dari situ saya mendapat ide, mendekati mereka lewat bermain. Dunia anak-anak, kan, bermain. Saya ikuti permainan ala anak-anak Orang Rimba. Misalnya saja memancing ikan. Saya juga membuat bola dari kertas kemudian kami main sepak bola bersama-sama.

Lewat permainan tadi, tanpa mereka sadari saya sudah memasukkan unsur pengenalan huruf dan angka. Misalnya, mereka mengatakan tinggi pohon delapan meter, saya menuliskan angka delapan. Ketika memancing ikan, saya menghitung jumlah ikan yang mereka peroleh, kemudian memberi tahu cara menulisnya. Bulan keempat saya sengaja pakai jam tangan yang dilengkapi dengan angka. Nah, mereka melihat angka-angka sekaligus mengetahui waktu.

Anda tidak pernah takut?

Perasaan itu selalu ada. Tapi saya pikir kalau kita berniat baik, maka semua akan berjalan dengan baik pula. Lagi pula saya mengikuti semua cara hidup mereka. Misalnya, karena wanita, saya mengenakan kain. Sedangkan pria mengenakan cawat. Pokoknya semua atribut sebagai Orang Terang harus dilepas dulu.

Berapa murid Anda sekarang?

Cuma lima, tapi cucu-cucunya sudah banyak. Ha ha ha...

Maksudnya?

Dalam mengajar, kan ada murid yang daya tangkapnya cepat, sedang dan lambat. Nah, ketika pelajaran sudah dilanjutkan, ternyata masih ada yang belum paham pelajaran sebelumnya. Nah, murid yang sudah bisa saya minta mengajari temannya tadi. Ternyata, kalau temannya yang mengajar, hasilnya lebih cepat.

Dari sana timbul ide untuk mendelegasikan tugas mengajar kepada murid yang sudah pintar. Misalnya Gentar, salah seorang murid yang pintar, mengajari beberapa orang di kelompoknya. Demikian pula Temiang dan Lincak mengajar beberapa orang di kelompoknya masing-masing. Tugas saya tinggal mengawasi dan membantu kalau mereka mendapat kesulitan. Tentu saja, saya tak bisa terlalu serius, ya. Di tengah asyik belajar, terkadang mereka mau bermain. Saya ikuti saja kemauan mereka.

Apa target yang Anda harapkan dengan mendidik mereka?

Untuk jangka pendek, dengan bisa membaca, menulis, serta mengenal angka, agar mereka tidak bisa lagi ditipu orang luar. Misalnya, soal hitung-hitungan. Atau seperti yang saya singgung, mereka dimintai tanda tangan dengan iming-iming uang tapi sebenarnya ditipu. Kasus seperti ini banyak. Mereka pura-pura mau menyewa tanah, tapi menyodorkan surat jual-beli dengan harga yang sangat murah. Atau sewa untuk 1-2 tahun, tahu-tahu di dalam surat tertera 20 tahun. Maka itu, mereka menyebut Orang Terang sebagai setan bermato runcing. Nah, problem semacam ini harus diatasi secara cepat.[]


__________________

Wawancara ini dimuat Kompas dengan judul yang sama. Tanggal pemuatan tidak terlacak.

0 komentar: