Juni 09, 2014

Kisah-kisah Anak Rimba


Kader Pendidikan Warsi, Kisah-kisah Anak Rimba, (Jambi: KKI Warsi, 2007).


"Aku ingin kanti-kanti rimba segelo tokang baco tuliy hitung yoi, biak piado nang nipu lagi (Aku ingin semua teman rimba bisa baca tulis dan hitung, supaya tidak ada lagi yang menipu mereka)," ujar Jujur, salah seorang anak rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas yang usianya diperkirakan 17 tahun.

Jujur adalah salah satu dari lima anak rimba yang menuliskan 10 kisah anak rimba atau Suku Anak Dalam yang dibukukan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi.

Buku berjudul Kisah-kisah Anak Rimba setebal 80 halaman, lengkap dengan gambar-gambar berwarna, itu diluncurkan secara resmi, Rabu (2/5), bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional.

Awalnya, anak-anak itu hanya ingin belajar membaca dan menulis agar komunitas mereka tidak lagi diremehkan sebagai orang "kubu" alias terbelakang. Meski fasilitas di hutan sangat minim, mereka tekun belajar agar tidak lagi direndahkan oleh orang "terang" (di luar rimba).

Bahkan, Jujur bukan hanya belajar membaca dan menulis, tetapi juga sudah terlatih untuk menjadi guru bagi anak-anak rimba. Semua dilakukan karena tidak mau lagi anak rimba dianggap bodoh, tidak beradab, dan kudisan.

"Saya yakin, kalau anak rimba mau belajar, kami akan lebih dihormati. Saya berharap selalu ada anak rimba yang menjadi guru di hutan kami," ujar Jujur.

Kini, Jujur dan teman-temannya patut berbangga, sekalipun tidak mengenyam pendidikan formal seperti anak-anak Indonesia lainnya, mereka dapat mencapai kemampuan baca, tulis, dan hitung yang setaraf. Mereka bahkan telah menghasilkan sebuah buku cerita.

"Saking semangatnya, aku menulis dua cerita sekaligus hanya dalam semalam. Suatu saat nanti, aku akan punya buku yang berisikan hasil karya saya sendiri," kata Jujur.


Belajar Keras

Jujur dan 226 orang komunitas Suku Anak Dalam lainnya secara bertahap sejak tahun 2000 mendapatkan pendidikan alternatif, gagasan KKI Warsi. Sebanyak 27 di antaranya adalah perempuan. Mereka tidak belajar di dalam kelas, tetapi di atas kayu-kayu kecil, beratap terpal tanpa dinding, di bawah pohon rindang di dalam hutan Bukit Duabelas.

Mereka juga tidak mengenakan seragam sekolah. Ada sebagian yang masih mengenakan cawat untuk laki-laki dan kain kemben untuk anak perempuan.

Waktu belajarnya pun disesuaikan dengan kemauan dan ketersediaan waktu mereka. Ketika pagi hari membantu orangtua mengumpulkan makanan, sekolah baru akan dimulai setelahnya. Saat belajar, mereka juga tidak selalu duduk manis. Kadang lesehan atau bahkan sambil tiduran.

Kemauan keras dan hasrat yang kuat untuk belajar membuat mereka betah belajar sampai malam meski hanya ditemani cahaya lilin. "Kami lebih senang belajar seperti ini. Kalau di gedung sekolah, kami kesulitan. Lokasinya terlalu jauh," tutur Ejam, anak rimba yang usianya diperkirakan 17 tahun.

Dari seluruh siswa, ada 44 orang yang kemudian dididik menjadi calon guru. Dari jumlah itu, yang masih aktif tinggal enam orang. Lainnya mulai pasif membantu teman-temannya karena telah berkeluarga.

Ferry Apriadi, fasilitator pendidikan bagi orang rimba, mengatakan, untuk melatih kemampuan mereka membaca, ia menghabiskan dua pekan penuh setiap bulan. Untuk latihan, ia kerap datang dengan membawa koran dan buku.

Sebuah modul khusus pun dibuat Warsi untuk memudahkan kegiatan belajar-mengajar. Modul berwarna ini bagi anak-anak rimba cukup menarik, penuh gambar dan angka atau huruf dalam ukuran lebih besar sehingga mudah dipahami.

Anak-anak rimba juga dilatih menulis surat kepada staf Warsi. Banyak hal yang mereka tulis dan sampaikan. Dengan kemampuan baca tulis yang semakin baik inilah muncul ide untuk mendokumentasikan cerita-cerita dongeng yang berkembang di tengah orang rimba. Anak-anak rimba pun tertarik dan mulai menuliskan cerita yang pernah mereka dengar semasa kecil.


Kisah di Hutan

Cerita-cerita yang dimuat di dalam buku yang diluncurkan di Pendopo Kantor Gubernur Jambi, kemarin, merupakan kisah-kisah yang membuat mereka selalu terkenang. Bahkan, cerita kuno itu kerap terbawa dalam mimpi anak rimba.

Pada masa kecilnya, Jujur selalu mendapat cerita-cerita menarik dari mamak (ibu) pada malam hari sebelum tidur. Sambil rebah berderetan di atas jalinan bambu, Jujur dan 13 saudaranya bisa mendapat tiga sampai empat cerita dalam semalam.

Kalau ceritanya agak menakutkan, seperti "Hantu Benor" atau "Manusia Jadi Gejoh (gajah)", Jujur dan saudara-saudaranya sering tidak berani tidur. Terpaksalah si mamak memberi cerita lain yang lucu-lucu atau yang berakhir bahagia. Satu per satu mereka akhirnya tertidur.

Hingga besar, Jujur selalu ingat kisah "Hantu Benor". "Cerita ini paling berkesan buat saya, makanya saya mau tuliskan supaya bisa dibaca semua orang," tuturnya.

Sebenarnya, cerita "Hantu Benor" sederhana saja, yaitu tentang hantu berbadan besar yang sering mengambili benor (sejenis umbi-umbian yang tumbuh di Taman Nasional Bukit Duabelas) pada malam hari. Ia hanya akan menunjukkan wujudnya kepada orang-orang yang mengambili benor di luar kebun miliknya.

Wujud hantu yang besar itu membuat orang rimba ketakutan dan lari terbirit-birit, tetapi selalu terkejar juga oleh hantu.

Dari cerita ini, mamak menasihati anak-anaknya supaya jangan mencuri di kebun orang lain karena nanti bisa mendapat musibah. Segala pekerjaan yang dilakukan memang tergantung niatnya. Bila niat baik, kebaikan pula yang akan didapatkan.

Sedangkan Ejam paling terkesan dengan cerita "Biawak Jadi Menantu Raja". Ini cerita tentang seorang putri yang menikah dengan biawak. Seperti kisah-kisah yang berakhir bahagia, biawak berubah menjadi manusia atas pertolongan istrinya. Dari situ, anak-anak rimba diingatkan untuk jangan putus asa menghadapi persoalan. Mereka harus terus berusaha.

Meliana Tansri, penulis cerita anak yang sempat membaca buku tersebut satu minggu sebelum acara peluncuran, mengaku menangis terharu. "Mereka bisa membaca dan menulis tanpa mengenyam pendidikan formal, bahkan kini telah menghasilkan sebuah karya yang dibukukan. Dunia kita sudah makin terbuka," tuturnya.

Nilai-nilai budaya di negeri ini, menurut dia, berada dalam kondisi yang semakin rapuh. Anak-anak kecil cenderung lebih menggemari film-film kartun ketimbang membaca cerita-cerita rakyat yang memiliki nilai dan pesan moral.

Di sisi lain, banyak cerita lokal yang belum didokumentasikan, seperti kisah-kisah anak rimba ini. Maka, upaya anak-anak rimba itu patut dihargai....[Irma Tambunan/Kompas]

________________

Artikel ini diambil utuh dari versi asli berjudul “Anak Rimba Pun Bisa Menulis Buku”, Kompas, 3 Mei 2007.


0 komentar: