Juni 15, 2014

Meretas Aksara di Belantara: Cuplikan Kisah Fasilitasi Pendidikan Alternatif Warsi Bersama Orang Rimba


Tim Warsi, Meretas Aksara di Belantara: Cuplikan Kisah Fasilitasi Pendidikan Alternatif Warsi Bersama Orang Rimba, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012), 160 hlm.


ANAK KEH todo, akeh sakola ko jedi bidan guding. Akeh ndok ngolihnye bulih bentu kanti-kanti di delom
 (Aku akan sekolahkan anakku nanti hingga menjadi bidan. Aku mau melihat dia nanti membantu kesehatan Orang Rimba) (hlm. 102).

Sebuah pengharapan dari orangtua kepada anaknya. Terdengar biasa, bukan? Namun hal ini menjadi spesial karena yang berharap adalah Gentar, Orang Rimba Sako Ninik Makekal Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Mengapa? Karena Orang Rimba masih belum mengetahui betapa pentingnya pendidikan. Orang Rimba menganggap pendidikan adalah sesuatu yang tidak perlu. Terlebih dengan hidup berkelompok yang nomaden, akses mereka untuk mendapatkan pendidikan menjadi jauh lebih sulit. Mereka tinggal jauh di tengah hutan. Jauh dari peradaban kota apalagi sebuah tempat yang bernama sekolah.

Tanpa adanya pengetahuan, keberadaan Orang Rimba kerap “dimanfaatkan” oleh beberapa pihak untuk mencari keuntungan. Misalnya saja dana bantuan yang harusnya diberikan ke Orang Rimba sering kali tidak tepat sasaran. Para oknum yang berbuat curang biasanya memanfaatkan kelemahan Orang Rimba yang buta huruf. Sebetulnya Orang Rimba pun menyadari hal itu. Mereka belakangan menyadari bahwa keterbatasan mereka sering disalahgunakan. Namun, tetap saja menawarkan pendidikan ke Orang Rimba bukan satu hal yang mudah.

Keprihatinan dan usaha untuk mengentaskan buta huruf itulah yang melatarbelakangi Yusak Adrian Hutapea untuk membuat pilot project sekaligus menjadi peletakan konsep dasar pendidikan Orang Rimba. Bersama tim Warsi lainnya akhirnya mereka menarik kesimpulan bahwa, “…untuk menjadi melek huruf dan angka tidak harus sekolah, tidak harus ada gedung, tidak harus ada guru, tidak harus seragam, tidak harus ada murid, tapi memulainya dengan persahabatan yang tulus” (hlm. 17).

Mulailah pendekatan terhadap beberapa kelompok Orang Rimba dilakukan. Tentu saja ini bukan pekerjaan gampang. Terlebih anak-anak Orang Rimba sudah memiliki tugas dan kewajiban membantu orangtua dan kelompok sejak usia dini. Bagi Orang Rimba, kehadiran anak selalu memiliki arti khusus. Anak juga mempunyai arti strategis bagi orangtuanya. “Untuk anak laki-laki sangat diharapkan untuk menjaid dewasa yang kuat, pandai berburu atau mengambil hasil hutan, berbakti kepada istri dan ibu serta pandai berbilang adat” (hlm. 5). Anak perempuan juga memiliki preferensi sendiri karena kelak ketika dewasa mereka akan mewarisi harta orangtuanya. Terlepas dari itu semua, anak perempuan tentu juga memiliki tugas tersendiri yakni, “…berfungsi penting pada distribusi makanan dalam rumah tangga, bebas hukum, dan ikut menentukan dalam arah berladang” (hlm. 5). Dengan adanya kebiasaan-kebiasaan inilah, pengenalan pendidikan kepada Orang Rimba menjadi semakin penuh tantangan.

Komunikasi yang awalnya sulit mulai menemukan titik terang di beberapa kelompok Orang Rimba. Ya, usaha tim Warsi mulai menampakan hasil. Anak-anak mulai diizinkan untuk belajar. Bahkan para lelaki dewasa pun tertarik untuk mengenal huruf. Lucunya, di salah satu kelompok, para istri turut mengawasi suami mereka belajar. Jika mendapati suami mereka tidak serius, sang istri dengan tegas “memarahi”. Unik sekali.

Lalu bagaimana proses belajar orang rimba? Acungan jempol patut diberikan oleh fasilisator pendidikan tim Warsi. Mereka harus membelah hutan, menerjang sungai untuk bisa mencapai satu kelompok Orang Rimba. Belajarnya pun bisa di mana saja. Di bawah rindangnya pohon dan beralas tanah bahkan belajar juga dilakukan di pinggir sungai (seperti yang terlihat di sampul buku ini). Mereka belajar mengikuti alam. Terlebih jika ada salah satu anggota kelompok Orang Rimba yang meninggal, mereka terkadang harus kehilangan jejak kelompok tersebut karena sudah menjadi peraturan adat Orang Rimba yang harus mencari daerah baru untuk ditinggali begitu ada anggota kelompok yang meninggal dunia.

Orang Rimba hidup mengikuti aturan adat. Peraturan itu pun bermacam ragamnya. Misalnya saja peraturan bagi wanita dewasa yang tengah mengandung. Mereka tidak boleh melewati jalan bekas hewan mati. Jika mengambil air di sungai, calon ibu ini tak boleh menghadap ke hilir. Jika melanggar, mereka percaya bayi akan sungsang. Masih banyak peraturan yang diterapkan ketat di kelompok Orang Rimba, walaupun belakangan ada beberapa peraturan yang mereka langgar. Misalnya saja, “Perilaku lain yang juga dipantangkan yaitu dalam hal hubungan intim suami-istri. Berpantang hubungan intim ini bagi Orang Rimba kadang sampai memakan waktu dua tahun. Namun saat ini sudah banyak yang melanggar aturan ini dengan alasan tidak tahan menjalaninya” (hlm. 8). Ternyata, jika berhubungan dengan kebutuhan biologis, Orang Rimba yang taat adat sekalipun akhirnya berpikir “logis”.

Upaya mengenalkan pendidikan kepada Orang Rimba sudah dimulai sejak 1998 hingga sekarang. Tim Warsi beruntung memiliki fasilisator pendidikan yang berjuang keras demi kehidupan Orang Rimba yang lebih baik. Fasilisator pendidikan itu berasal dari penjuru Indonesia. Rata-rata mereka sangat bangga dengan pekerjaan mereka tersebut. “Pengalaman mengajar Orang Rimba merupakan pengalaman yang paling berharga buat saya,” ujar Saripul Alamsyah Siregar, fasilisator pendidikan Warsi periode 2003-2005 (hlm. 23).

Salah satu fasilitator, Fery Apriadi, yang menjadi model kaver buku ini, bahkan tertarik mengenal kehidupan Orang Rimba dari sebuah iklan di televisi. “Kala itu, 2002 yang lalu, tepatnya Agustus, ketika sedang commercial break pada sinetron Si Doel Anak Sekolahan, melintaslah sebuah iklan di koran Kompas yang menjadikan perjuangan Butet Saurlina Manurung di pedalaman Provinsi Jambi… Aku ingin menjadi orang seperti dia,” kata Fery (hlm. 33).

Dedikasi fasilisator Warsi tidak main-main. Bahkan, salah satu fasilisator, Prio Uji Sukmawan, meninggal dunia setelah berjuang mengantarkan beberapa anak Orang Rimba untuk belajar di sekolah umum. “Prio berkeinginan bahwa untuk Orang Rimba, pendidikan yang diberikan harus lebih dikembangkan. Salah satunya dalam bentuk pendidikan keterampilan untuk kehidupan Orang Rimba nantinya” (hlm. 87). “Namun sayang, ketika ini baru dirancang, takdir sudah berkata lain. Prio dipanggil sang Khalik untuk menghadap kepada-Nya, dengan cita-cita mulia yang masih belum sempat diwujudkan.” Maka, cita-cita itu pula yang kini tengah diperjuangkan oleh Tim Warsi lainnya.

Meretas Aksara di Belantara adalah salah satu bukti bahwa masih ada perjuangan yang dilakukan sekelompok muda-mudi bangsa demi kehidupan Indonesia yang lebih baik (dalam hal ini demi kemajuan Orang Rimba). Buku yang ditulis secara “keroyokan” oleh tim Warsi ini cukup jelas menggambarkan bagaimana kehidupan Orang Rimba di Jambi sekaligus memperlihatkan semangat tim Warsi dalam mengenalkan pendidikan untuk Orang Rimba. Toh, kesempatan untuk cerdas dan pintar itu milik semua anak Indonesia, bukan?

Baik secara isi dan fisik, buku ini sangat rapi. Rasanya tidak ditemukan satu pun typo di buku ini. Selain itu, buku ini dilengkapi foto-foto kegiatan tim Warsi dan interaksi mereka dengan Orang Rimba. Bahkan sebagian foto tersebut berwarna. Membaca Meretas Aksara di Belantara membuat kita melek terhadap kehidupan Orang Rimba. Kita juga berapa kali akan merasa terharu ketika membaca kisah perjuangan fasilisator Warsi dalam mengenalkan pendidikan kepada Orang Rimba karena, sekali lagi, itu bukan sesuatu yang mudah. Namun, untunglah semangat tim Warsi tampaknya terus membara dan kita harap hingga kapan pun semangat itu tak akan pernah pudar.[]

_____________________

Dikutip dengan sedikit penyuntingan bahasa dari weblog Omnduut.


0 komentar: