Juni 03, 2014

Orang Rimba di Simpang Jalan


Hubungan dengan dunia luar semakin membuat warga Suku Anak Dalam, yang juga dikenal dengan sebutan Orang Rimba, seperti berada di persimpangan jalan. Kasus peradilan dua warga suku terasing ini menggambarkan situasi tersebut. Belum lagi kaum mudanya, yang telah bersentuhan dengan dunia modern, lebih suka menjual lahan daripada menggarapnya, demi sebuah sepeda motor. Mereka berubah jadi konsumtif dan melupakan kearifan hidup bawaan nenek moyang. Inilah potret suku terasing yang emoh disebut sebagai Suku Kubu itu.


DUA TENDA terpal lusuh berwarna biru dan merah tegak di depan Pengadilan Negeri Sarolangun, Jambi. Hampir tiga bulan lamanya sejak Februari, puluhan warga suku terasing Orang Rimba tinggal di tenda-tenda darurat itu. Sebagian besar di antara mereka adalah perempuan dan anak-anak. Di situ pula mereka melakukan aktivitas harian: tidur, memasak, dan makan.

Tapi, jangan salah. Orang Rimba yang lebih dikenal dengan sebutan Suku Anak Dalam, atau yang dulu kerap dijuluki Suku Kubu, itu turun gunung bukan untuk berkemah di kota. Mereka datang dari perkampungannya di Desa Kejasung Besar di kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) untuk berunjuk rasa. Niatnya, menuntut pembebasan dua pemimpin mereka: Temenggung Celitai dan Mata Gunung.

Betapa tidak. Penangkapan dan penahanan kedua orang itu menyebabkan mereka seperti anak ayam kehilangan induk. Celitai, yang berusia 45 tahun, bukan lain berposisi sebagai kepala adat sekaligus pemimpin masayarakat. Sedangkan Mata Gunung, yang berumur 40 tahun, adalah panglima perang yang kelompok yang beranggotakan 30-an orang itu.

Mujur, hakim pengadilan yang diketuai Parmantoni memvonis mereka hukuman penjara 3bulan 20 hari dipotong masa tahanan. Walhasil Celitai dan Mata Gunung hanya tinggal menjalani sisa empat hari masa hukumannya sejak vonis dijatuhkan pada 3 April silam. Dan, unjuk rasa warganya dan kisah pilu salah satu kelompok Suku Anak Dalam ini pun berakhir sampai di situ.

Namun di balik kisah Celitai dan Mata Gunung ini terselip kisah yang cukup memprihatinkan. Bagaimana mungkin orang dari suku terasing yang hanya tau hukum adatnya sendiri dapat dijerat dengan hukum positif. Apalagi, kasus yang bermula dari bentrok antar kelompok Suku Anak Dalam, yang sempat memakan korban tiga orang, itu sebenarnya sudah diselesaikan dengan hukum adat, walau belum sempurna karena keduanya keburu ditangkap polisi (baca: "Kasus yang Menjerat Sang Kepala Adat" di bawah).

Ini memang kasus pertama proses peradilan pidana bagi Suku Anak Dalam. Pertama kalinya pula kelompok masyarakat terasing ini dihadapkan pada hukum positif. Protes-protes pun tidak hanya dilakukan anggota kelompok Celitai. Ada enam temenggung – sebutan untuk kepala adat – lain yang ikut menuntut bela sejak awal penahanan.

Mereka menolak penerapan hukum positif. Sebab, menurut mereka, pemberlakuan hukum positif akan menghilangkan hukum adat yang telah mereka pegang turun-temurun. Lebih-lebih, hal itu bakal membuat mereka terancam menerima hukuman dobel. Meminjam istilah mereka, biduk sekok hopi duo tambangnye (perahu satu, tapi dua tali tambangnya). “Ini malah bisa menambah dendam di antara kami,” kata Temenggung Maritua, seorang di antara kepala adat yang ikut memprotes.

Protes para temenggung jelas dapat dimaklumi. Setidaknya di mata penasehat hukum dari Kelompok Konservasi Indonesia Warsi, Nelly Akbar. Ia malah menilai penangkapan dan proses peradilan terhadap Celitai dan Mata Gunung ini merupakan bentuk intervensi pemerintah terhadap hukum adat Suku Anak Dalam.

“Apalagi selama ini mereka juga tidak pernah mendapat sosialisasi hukum positif,” katanya. Para pemerhati Orang Rimba pun sependapat dengan Nelly. Di antaranya, Willy, yang menyebut pemerintah telah memperkosa hak-hak Suku Anak Dalam ini. Soalnya, selama ini negara tidak pernah memberi mereka hak-hak sebagai warga negara, tapi menuntut kewajiban hukumnya. “Tidak paham hukum positif karena memang tidak disosialisasikan, lantas bagaimana mereka bisa mengerti dan tunduk?” katanya.

Hal senada juga dilontarkan pakar tentang Orang Rimba di Jambi, Prof. Dr. Muntholib Soetomo. Ia menegaskan, alih-alih paham, Orang Rimba tidak pernah mengenal hukum positif. Fakta lain, sebagian besar buta huruf dan hanya setengah persen dari mereka yang mampu baca tulis. ”Apalagi mereka bukan warga negara. Kalau mereka warga negara, tercatat di mana?” kata guru besar IAIN Sultan Thaha Syaifuddin, Jambi, ini.

Selain itu, Muntholib juga menggarisbawahi bahwa Orang Rimba masih sangat menjunjung tinggi hukum adat mereka. Dalam kasus Celitai dan Mata Gunung, persoalan mereka sudah diselesaikan menurut hukum adat. Kalau memang kasus itu tak selesai dengan hukum adat, barulah hukum positif bisa diterapkan. “Posisi hukum adat kan sudah diatur dalam undang-undang dan dapat diterapkan bagi kelompok suku seperti Orang Rimba ini. Negara mengakui hal itu,” kata pengajar berusia 56 tahun ini.

Persidangan kasus Celitai dan Mata Gunung yang dibumbui dengan unjuk rasa puluhan warga Orang Rimba mi memang menyita perhatian banyak kalangan. Termasuk Gubernur Jambi, Zulkifli Nurdin, yang ikut urun kata. Tapi, ia melontarkan pandangan yang berbeda. Ia menilai proses hukum ini sudah tepat. “Kita harus memberikan sosialisasi kepada mereka bahwa kita juga mempunyai hukum formal yang wajib ditaati seluruh warga negara,” ujarnya.

Demikian pula di mata Kepala Kepolisian Resor Sarolangun, AKBP Irawan D.S. Ia menyebutkan, penahanan dan persidangan kasus itu semata-mata bertujuan memberi efek jera sekaligus pembelajaran hukum positif bagi warga Suku Anak Dalam. “Bagaimanapun mereka adalah bagian dari warga negara Indonesia. Jadi, mereka juga harus mengerti soal hukum positif, tidak hanya hukum adat,” katanya.

Kasus peradilan Celitai dan Mata Gunung boleh dibilang sebagai satu contoh bagaimana kini Orang Rimba berada di persimpangan jalan. Harus terus bertahan dengan milik mereka ataukah masuk dalam ranah yang baru dan belum mereka kenal sama sekali. Contoh lain tampak dari banyak kasus betapa mereka seperti mengalami semacam “kegenitan” berhadapan dengan dunia luar.

Banyak dari mereka, misalnya, tidak segan-segan menjual ladang demi mendapatkan sebuah sepeda motor. Padahal, mereka sudah dengan susah payah dan mengeluarkan biaya cukup banyak untuk membuka lahan untuk ladang atau kebun. Menurut seorang warga Orang Rimba bernama Muncang, setidaknya dibutuhkan Rp 3 juta untuk ongkos penebangan menggunakan mesin gergaji.

Gatra pun sempat menyaksikan prosesi pembukaan lahan baru yang dilakukan Muncang. Siang itu, sekitar pukul 13 waktu setempat, di sekitar kawasan Makekal Huku Taman Nasional Bukit Duabelas. Di tengah panasnya sinar matahari yang terasa menyengat kulit, seorang dukun tampak sedang mengitari sebuah lahan sampai tiga kali.

Mulutnya terus komat-kamit membaca mantra. Tak jelas mantra apa yang diucapkan, tapi fungsinya untuk memusatkan angin agar saat proses pembakaran nantinya, sang bayu tidak menyambar kebun orang lain. Ternyata dukun tadi adalah mertua Muncang. Yang dilakukannya adalah menielang proses pembakaran huma milik Muncang.

Ritualnya memakan waktu sekitar satu jam. Pepohonan di lahan itu sudah ditebang dulu. Kayu-kayu besar yang tak dapat ditebang dibiarkan saja. Setelah dtebang, kayu-kayu besar ini dibiarkan hingga tiga bulan agar kering dan kelak dijadikan sebagai kayu bakar.

Seusai ritual, Muncang dibantu beberapa anaknya dengan sigap langsung membakar. Salah satu anaknya yang ikut adalah Pengendum. Lima batang buluh berisi minyak yang telah diberi sumbu disulut dengan api. Mereka mulai berpencar ke berbagai sudut lahan. Tak lama kemudian kobaran api segera menyambar-nyambar dedaunan dan ranting-ranting kering. Langit pun seperti gelap seketika. Baru menjelang sore mereka kembali ke rumah.

Sebagian besar kebun di wilayah Mengkekal Hulu ini umumnya ditanami pohon karet. Tiap ladang mempunyai tegakan pohon karet yang berbeda¬-beda umur tanamnya. Dan pohon karet yang sudah bisa disadap getahnya biasanya yang sudah mencapai umur delapan tahun.

Sepertinya, pohon karet ini menjadi komoditas favorit bagi sebagian besar komunitas Orang Rimba yang mendiami wilayah Mengkekal Hulu. Walau demikian, pada dasarnya, Orang Rimba bermata pencaharian sebagai petani (ladang/huma). Karena itu, kebutuhan untuk membuka dan memiliki lahan dirasa cukup tinggi. Di sini, faktor kepemilikan lahan menjadi sangat penting.

Kepemilikan lahan, ladang ataupun huma, tak hanya didominasi oleh para rerayo (orangtua). Para bujang, sebutan bagi anak-anak muda Orang Rimba, juga banyak yang memiliki ladang. Ironisnya, meski mempunyai kesadaran akan pentingnya memiliki sebidang lahan, banyak di antara Orang Rimba yang menjual ladangnya itu kepada orang luar. Salah satu pemicunya adalah keinginan mereka untuk mempunyai sepeda motor sendiri.

Orang Rimba berpikir, jika punya motor, akses mereka berhubungan dengan orang luar menjadi gampang. Menjual hasil karet, menjual cabe, menjual binatang hasil buruan, dan bahkan berbelanja kebutuhan pokok akan menjadi lebih efektif Desa terdekat yang biasa dikunjungi oleh Orang Rimba adalah permukiman transmigrasi Hitam Ulu, Kabupaten Sarolangun (SP-G). Untuk mencapai desa bila ditempuh dengan berjalan kaki makan waktu hingga tiga jam. Dengan motor, waktu tempuhnya tentu saja menjadi lebih singkat, yakni kurang dari satu jam.

Di samping itu, mudahnya akses jalan untuk keluar-masuk kawasan hidup Orang Rimba menjadi peluang bagi orang desa untuk berhubungan langsung dengan Orang Rimba. Mereka sengaja datang untuk menawar ladang milik Orang Rimba. Rupanya, tawar-menawar soal harga jual ladang/huma itu sudah menjadi hal yang biasa. Kini, rupanya, bagi Orang Rimba, terutama para bujang, punya motor mungkin sudah menjadi kebutuhan penting. Masalah yang muncul: haruskah Orang Rimba kehilangan lahannya sendiri untuk memenuhi kebutuhan tersebut?

Tarip, 50 tahun, adalah orang yang paling tidak setuju jika Orang Rimba menjual ladangnya. “Perasaan awak yang idak elok (tidak bagus). Dibuka lalu dijual dengan orang kayo (kaya). Orang makin kayo, kita makin miskin,” penerima Kehati Award ini mengeluh. Menurut Tarip, di sekitar hutan lindung ini mungkin ada sekitar 2.000 hektare yang dibuka, tapi dari jumlah itu hampir tidak ada kebun milik Orang Rimba. “Ketegasan kami untuk ini lemah, karena tidak ada aturan untuk melarang mereka memperjualbelikan. Yang kami harap adalah kasadaran. Nah, ini yang sulit,” katanya lagi.

“Maaf, cakap (omong) sayo (saya) sampai cium burit (pantat) mereka agar tidak menjual kebunnya. Ingat, ini untuk anak-cucu kalian. Sampai kapan kita hidup miskin,” katanya mengeluh. Sebab, faktanya, banyak yang tidak menggubris nasihat itu. Melihat orang desa membeli motor atau telepon genggam, mereka iri dan emosi. “Beli handphone buat apa? Motor pun demikian. Kan bisa pinjam pada tetangga. Orang desa tidak perlu kita saingi. Mereka sudah lebih dulu makan asam garam,” kata bapak beranak sembilan ini.

Dia mencontohkan adiknya sendiri, Nugra, yang kini bekerja di PT SAL (Sari Aditya Loka). “Jangankan setengah hektare, mungkin 5 meter pun tak ada lagi kebunnya. Berapa sen-lah gaji di perusahaan ini. Itu pun sampai umur berapa. Tidak mungkin sampai tua dia dipakai bekerja,” ujar dia menambahkan. Kim Tarip tinggal di Sei Semapui, Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. Tahun lalu, Menteri Pemukiman Daerah Tertinggal Saifullah Yusuf membangunkan 17 unit rumah di sana. Tapi, menurut Tarip, yang tersisa hanya tinggal tujuh unit rumah. Sebagian besar sudah diperjualbelikan.

Tarip sendiri tidak melulu menyalahkan kaumnya. Banyak orang luar yang kerap memanfaatkan kepolosan Orang Rimba. Orang-orang luar sering merayu agar warga suku itu menjual lahan. Karena terbujuk rayuan itu, proses jual-beli berlangsung mudah dan mulus. Jalan ini lebih mudah untuk mendapatkan uang ketimbang menunggu tujuh-delapan tahun sampai pohon karetnya menghasilkan. “Memang membutuhkan kesabaran yang tinggi,” katanya.

Tarip adalah salah satu potret Orang Rimba yang berhasil. Kesabarannya patut dicontoh. Berkat kesabaran dan kegigihannya, Tarip kini telah memiliki puluhan hektare kebun pribadi. Ada yang ditanami kelapa sawit dan ada yang ditanami karet. “Kebun ini baru saja saya beli Rp 18 juta. Kebunnya hanya seperempat hektare, sisanya rumah,” katanya bangga.

Bahkan, menurut catatan Warsi, kelompok Tarip sudah memiliki kebun karet sepanjang 6 kilometer dengan lebar 100 meter. “Cari sendirilah berapa luasnya,” kata Rudi Syaf, Manajer Program Komunikasi dan Informasi Warsi. Tidak itu saja, menurut Warsi, Tarip bahkan sudah memiliki deposito walau tak jelas benar berapa jumlahnya. Tarip berangan-angan, ia akan mewariskan rumah dan kebun miliknya itu kepada anak-anaknya kelak. “Saya ingin anak-anak saya tidak lagi tinggal di hutan. Nanti, setelah saya bagi-bagi lahan, mereka akan tinggal bersama masyarakat desa,” ujarnya.

Lain Orang Rimba, lain pula yang dialami kelompok Batin Sembilan, Suku Anak Dalam di kawasan Sumatera Selatan. Akibat ulah perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di kawasan hunian mereka, suku ini terpecah-pecah dan harus kehilangan adat istiadat warisan nenek moyang mereka. Generasi mudanya malah tak lagi paham seluk-beluk sukunya itu. Dalam hal adat, yang masih bertahan tinggal acara-acara seremonial seperti basale dan ritual lamaran sebelum menikah. “Ya, itu tadi, gara-gara masuknya perusahaan membuat kami terpecah-pecah dan adat menjadi buyar. Bahkan anak-anak kami tidak lagi bisa berbahasa asli,” keluh Abas, pemimpin kelompok suku yang mendapat bimbingan LSM Setara.

Basale adalah ritual untuk menyembuhkan orang yang sakit dalam waktu cukup lama. Ritual ini dilakukan ketika pengobatan biasa tidak bisa menyembuhkan si sakit. Hingga sekarang, dukunbasale masih dapat ditemui di beberapa kelompok Orang Dalam. Tapi, jangan salah, kelompok Batin Sembilan tidak bisa disamakan dengan Orang Rimba. Asal usul mereka berbeda dengan Orang Rimba, kendati sama-sama disebut Suku Anak Dalam (baca: "Remang-remang Riwayat Orang Rimba" di bawah).

Yang jauh lebih memprihatinkan, identitas suku Batin Sembilan ini hampir-hampir hilang. Generasi yang lahir setelah tahun 1974 sudah banyak yang kurang paham bahwa mereka berasal dari keturunan Batin Sembilan. Sebagian hanya tahu mereka adalah Suku Anak Dalam, sebutan yang dilekatkan pemerintah kepada komunitas yang hidup di pedalaman. “Saya tahunya kami ini disebut Suku Anak Dalam. Kalau asal-usul, saya kurang jelas,” ujar Sadik, yang tinggal di kawasan Tenggalun.[]
_____________________


Kasus yang Menjerat Sang Kepala Adat

BERAWAL DARI perselisihan kecil antarkelompok yang sesungguhnya masih punya pertalian darah. Yang satu kelompok Orang Rimba yang dipimpin Celitai, satu lagi kelompok yang dipimpin Temenggung Majid. Kedua pemimpin ini masih terhitung sepupu, karena ibu mereka masing-masing adalah saudara kandung.

Ceritanya, kelompok Majid menyewa mesin pemotong kayu dari Celitai dengan harga yang disepakati senilai Rp 800.000. Yang jadi soal, biaya sewa itu masih kurang Rp 50.000, yang belakangan sudah dilunasi Majid. Cuma, saat pelunasan, timbul perselisihan karena ada ucapan yang membuat keduanya berang.

Kasus ini kemudian disepakati diselesaikan secara adat. Kelompok Celitai meminta denda berupa beberapa helai kain. Kelompok Majid menyanggupi pembayaran denda itu, walau belakangan ternyata diingkari. Bentrokan antara dua kelompok itu pun tak terhindarkan. Kejadian yang berlangsung di Desa Pematang Kabau, Kecamatan Air Hitam, Sarolangun, pada pekan kedua Desember tahun lalu itu sampai menyebabkan tiga nyawa melayang. Majid kehilangan dua warganya, sedangkan Celitai kehilangan seorang pengikutnya, plus satu orang yang terluka parah.

Menurut Tarip, yang menjadi penengah perselisihan itu, bentrokan berdarah ini sesungguhnya sudah diselesaikan secara adat. Keputusan diambil berlandaskan kesepakatan kedua kelompok. Celitai diwajibkan menyerahkan 1.000 helai kain, sedangkan Majid harus menyerahkan 500 helai kain. Hitungannya satu nyawa yang hilang “dihargai” dengan 500 helai kain.

Namun, kasus bentrokan itu tidak serta-merta selesai dengan acara denda dan serah-serahan kain tersebut. Pertikaian berujung maut itu juga jadi urusan aparat keamanan. Kepolisian Resor Sarolangun menangkap dan memeriksa mereka yang terlibat dalam bentrokan. Selain menetapkan Celitai dan Mata Gunung sebagai tersangka, polisi juga menyita tujuh senjata rakitan, tujuh pentungan, dan tiga golok yang digunakan dalam perkelahian massal itu sebagai bukti.

Penangkapan dan proses peradilan yang dijalani Celitai dan Mata Gunung ternyata menyebabkan ritual perdamaian kurang sempurna, Masih ada yang tertinggal dalam perdamaian mereka, yakni prosesi upacara adat seperti ritual maaf-maafan. “Waktu penyerahan kain, Celitai kan masih ditahan, jadi tidak bisa dilaksanakan. Ini harus segera dilaksanakan agar bentrok tidak terjadi lagi dan tidak ada ganjalan pada kedua belah pihak,” Tarip menuturkan.

Masalah lainnya berkaitan dengan vonis hakim. Celitai dan Mata Gunung sendiri sudah kembali ke kampungnya di Kejasung Besar. Padahal, kelompok Majid tidak puas atas putusan tersebut. Mereka menilai hukuman yang dijatuhkan kepada Celitai dan Mata Gunung terlalu ringan. Mereka ingin hukuman itu lebih berat, kalau perlu lima tahun penjara. “Hukuman mestinya lebih berat agar mereka kapok,” kata Bahtiar, adik kandung Majid.
_________________________


Upaya Memualafkan Orang Rimba

SIANG ITU, Budi Vrihaspati Jauhari, 45 tahun, baru saja menengok Orang Rimba dampingannya. Baru tiga bulan ini dia membangun perumahan Orang Rimba di Pematang Kabau, Kecamatan Hitam Ulu, Kabupaten Sarolangun. Budi adalah Direktur Eksekutif Kelompok Peduli Suku Anak Dalam (Kopsad). Dana pembangunannya berasal dari Kementerian Pemukiman Daerah Tertinggal (KPDT). Anggarannya sebesar Rp 600 juta berasal dari mata anggaran tahun 2008.

Pengalokasiannya sebenarnya hanya untuk pembangunan 25 unit rumah. Tapi, Budi menambahnya menjadi 37 unit. Lengkap dengan fasilitas rumah singgah dan surau. “Saya kasihan melihat mereka. Dananya masih ada sisa. Ya, saya tambah saja bangunannya,” katanya. Tiga hari sebelumnya, seorang ustad baru saja didatangkan dari sebuah pondok pesantren di Jawa Timur. “Saya baru tiga hari di sini. Entah sampai kapan. Pokoknya, selama saya masih sanggup dan kerasan di sini,” kata Ustad Hahif, 25 tahun, ustad yang mengajar di situ.

Menurut H. Hilmi, 50 tahun, mereka yang sudah menetap di pemukiman yang dibangun Kopsad itu baru sekitar 15 Kepala Keluarga (KK). “Sebagian besar dari kami sudah menganut agama Islam. Semuanya berkat kesadaran kami. Tak ada yang memaksa,” katanya. Hilmi sendiri adalah satu-satunya Orang Rimba yang sudah menunaikan ibadah haji.

H. Hilmi menambahkan, dia sudah menjadi mualaf sejak tahun 2001 silam. Menunaikan ibadah haji baru pada tahun 2007, berkat bantuan Dinas KSPM. “Waktu kami naik haji semuanya ada delapan orang. Tapi yang di kampung ini, hanya saya,” katanya. Hilmi mengaku sudah betah tinggal di sana. Dan tidak akan pindah lagi. Ini semata-mata cadangan harta warisan bagi anak cucunya. Pemerintah memang hanya memberi rumah. Sedangkan kebun karet, mereka usahakan sendiri. Lokasinya cukup jauh dari rumah. Hilmi mengaku sudah memiliki 2 hektare yang sudah dipanen.

Selain berkebun karet, warga lain juga menanam ubi. Jika musim padi, mereka juga menanam padi. “Ada kebun karet 2 hektare yang sudah bisa dipanen. Kebun itu kami tanam sendiri. Bukan dikasih pemerintah. Itu makanya kami tidak maju-maju,” kata Hilmi. Ia menambahkan, mereka semua meski belum memahami agama Islam secara baik. Namun mereka terus berusaha mendalami ajarannya. “Kalau yang pintar mengaji sih belum tapi kami berusaha. Setelah mengenal Islam, jiwa saya terasa semakin tenang,” tuturnya.

Dia berharap pemerintah juga memberi bantuan buku dan uang sekolah. Sehingga anak-anak kami bisa terus bersekolah. Selama ini tidak demikian. “Jika kami tak punya uang, anak kami terpaksa berhenti sekolah. Kecuali kalau ada guru yang dikirim ke sini, jadi kami tidak perlu bayar apa pun lagi,” katanya. Hilmi bersama sembilan anaknya memang tampak bahagia meski hidup mereka pas-pasan. Anaknya ada yang sekolah kelas IV SD dan VI SD.

Beberapa pejabat Kanwil Departemen Agama (Depag) Provinsi Jambi ketika mengunjungi mereka belum lama ini mengaku kaget. Mereka baru tahu bahwa sudah banyak Orang Rimba yang menjadi mualaf. Menurut Budi, para pejabat Kanwil Depag Provinsi Jambi ini baru pertama kali melihat Suku Anak Dalam yang mualaf. “Mereka sangat terkejut dan terharu karena keadaannya begitu memprihatinkan, dari fasilitas agama dan absennya tenaga guru agama,” ujar Budi.

Kepala Kanwil Depag Provinsi Jambi, Kadir Husin berjanji akan memrogramkan pembinaan terhadap Orang Rimba yang mualaf ini. "Kami akan membantu dengan mengangkat guru agama atau dai untuk mengajar agama di komunitas ini," ujarnya. Saat ini di Desa Pematang Kabau, ada sekitar 15 kepala keluarga yang sudah memeluk agama Islam. Selama ini, pembinaan dilakukan oleh anggota Kopsad. Mereka mengajar agama Islam, mendirikan tempat ibadah, dan mengirim anak Orang Rimba untuk mengikuti Musabaqah Tilawatil Quran atau MTQ.

Menurut Budi, Orang Rimba jangan dijadikan sebagai objek tontonan, tapi mereka harus mendapat pendidikan agama. “Mereka kan seperti kita juga. Saya ingin sekali memanusiakan mereka,” kata Budi, yang mengaku sudah puluhan bahkan ratusan warga Rimba yang menjadi dampingannya. Kopsad sendiri, menurut Budi, sejak berdiri tahun 1997, selalu menekankan pendidikan agama dan memberi mereka pemukiman tempat bernanung tetap. “Jika mereka sudah hidup bersih, mudah-mudahan keadaan mereka akan menjadi jauh lebih baik,” katanya.

Gatra sempat menemukan ada sebuah pondok yang dijadikan rumah ibadah bagi umat Kristen Protestan. Di depannya terlihat mobil bertuliskan Yayasan Kesatuan Kristen Antiokhia (YKKA). Lokasinya berada di daerah Air Panas, perbatasan Desa Bukit Suba dengan Desa Pematang Kabau. Kedua Desa itu masih berada di Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. Sayangnya Gatra tidak menemukan siapapun di sana. Ketika Gatra sedang memotret, tiba-tiba Tumenggung Tarip yang tengah berboncengan dengan istrinya lewat. Tarip kemudian berhenti, “Di sana tak ada orang. Sudah lama ditinggal pergi orangnya karena tak dapat umat,” katanya.
______________________


Mendidik Anak Rimba Tiada Henti

KOMUNITAS KONSERVASI Indonesia (KKI) WARSI, sejak berdiri tahun 1996, adalah yang pertama kali mengenalkan pendidikan alternatif bagi Orang Rimba di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas. Awal berdirinya, lembaga ini masih bernama Warung Informasi dan Komunikasi, yang disingkat WARSI. Belakangan, beberapa tahun terakhir berganti nama menjadi KKI WARSI. Perintisnya adalah salah satu staf WARSI, Yusak Adrian Hutapea (Juli 1998 – Maret 1991).

Awalnya, Yusak ditolak karena dianggap membawa petaka. Namun tanpa putus asa, ia terus berjuang merancang dan mengujicobakan metode pendidikan alternatif efektif dan fleksibel, yang disesuaikan dengan budaya setempat. Kegigihan Yusak menghasilkan enam orang murid. Meski akhirnya Yusak harus menghadap sang Pencipta setelah berjuang melawan malaria, pada 25 Maret 1999.

Saur Marlina “Butet” Manurung (Oktober 1999 – September 2003) melanjutkan. Ia mengawali sekolah perdananya di Bernai, Makekal Hilir dengan murid hanya tiga orang. Jumlah murid pun terus meningkat seiring dengan diterimanya pengajaran di sejumlah kelompok melukis Oceu Apristawijaya (September 2002 – Desember 2003) bersama Butet, berbagi tugas mengajar Orang Rimba di lokasi berbeda. Oceu berusaha memadukan materi pengajaran dengan materi menggambar. Kecerdasan anak, menurut dia, akan semakin tergali bila diberi sarana dalam berimajinasi dan berkreativitas melalui tulisan.

Saripul Alamsyah Siregar (September 2003 – Januari 2005) dan Agustina D. Siahaan (September 2003 – April 2005) melanjutkan langkah Oceu. Pendidikan pun mulai dicobaterapkan di kelompok baru. Hasilnya, jumlah murid yang signifikan berhasil diraih. Ninuk Setya Utami (Januari 2005 – Desember 2006), Fery Apriadi (Januari 2005 – sekarang) serta Galih Sekar Tyas Sandra (Juli 2006 – sekarang) terus mengembangkan pendidikan alternatif.

Setelah mengundurkan diri dari WARSI tahun 2003, Butet Manurung pun mendirikan lembaga baru: Sokola. Istilah itu dalam bahasa rimba yang berarti sekolah. Langkah Butet ternyata diikuti beberapa rekannya. “Kami berbeda prinsip,” kata Butet singkat, suatu ketika. Sejak tahun 2008, perempuan berusia 38 tahun ini melanjutkan studinya di Australia. Mengambil S2 tentang antropologi berkat beasiswa. Kini Sokola dipegang kendalinya oleh Adhi Pranomo, lelaki berusia 30 tahun lulusan fakultas Antropologi Universitas Padjajaran, Bandung.

Aday – demikian panggilan akrab Adhi Pranomo – dibantu dua orang staf pengajar: Ibey dan Mawai. Mereka mengajarkan berbagai materi seperti: berhitung, baca tulis, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, game (outbond), adat istiadat. Kini murid Sokola ada sekitar 17 orang: Penangguk dan kawan-kawan. “Kadang-kadang mereka kami bawa ke sekretariat Sokola di Bangko untuk mengenal komputer dasar,” tutur Aday kepada Gatra. Aday juga dibantu lima orang kader: Pemilang Laman, Pengendum, Mijak, Besemi, dan Penguwar. Serta empat orang calon kader: Berapit, Sertu, Beconteng, dan Penimbun. Aday sendiri memberi pendidikan di rimba sejak Juli 2008 lalu hingga saat ini.

Menurut Aday, pemisahan calon kader dan kader bukan berdasarkan usia, melainkan berdasarkan kemampuan. Kader adalah murid-murid lama Butet ketika masih bekerja di WARSI. Mereka sudah bisa mewakili pertemuan-pertemuan seputar suku terasing. Mijak misalnya, pernah dikirim ke Bali, Desember 2008 lalu untuk menghadiri pertemuan tentang global warming. Kader juga telah memiliki kemampuan lebih seperti kemampuan menggunakan komputer, pemahaman adat istiadat, bahkan mengedit dan membuat film dokumenter.

Hebatnya, para kader ini pada 6 Oktober 2007 pernah meraih penghargaan juara pertama kompetisi film singkat yang digelar di Melbourne, Australia. Judul film mereka Rimba Rumah Kami. Mereka mengatasnamakan lewat lembaga Kelompok Makekal Bersatu (KMB). “Kami mengerjakan sendiri semuanya. Dari pembuatan skenario, pengambilan gambar hingga pengeditan. Tentu saja dibantu tim dari Sokola,” kata Pengendum kepada Gatra dengan bangga.

Meski demikian, bagi Aday, sulit untuk mengukur keberhasilan pendidikan yang mereka lakukan. “Sampai saat ini kami masih terus berproses,” katanya rendah hati. Sokola memang satu-satunya lembaga yang berkutat di bidang pendidikan. Sedangkan WARSI tidak melulu mengurusi pendidikan. Mereka juga melakukan pemberdayaan di bidang ekonomi, kesehatan, dan tentu saja pendidikan. Di bidang ekonomi, WARSI mendorong orang rimba agar dapat bertransaksi baik dengan para pembeli.

Jernang (buah rotan) untuk membuat warna-warna kain biasanya dijual Rp 900.000 per kilogram,manau (rotan besar) biasanya dibuat jadi kursi dijual Rp 5.000 per batang. Damar jika di dalam rimba untuk dibuat lampu dijual antara Rp 2.000 hingga Rp 4.000 per kilogram. Madu dijual hingga Rp 50.000 per botol. “Karena selama ini mereka selalu dibodoh-bodohi pembeli jika hitungan sederhana. Tapi jika berhitung dalam jumlah yang banyak, mereka masih kebingungan,” kata Rudi Syaf, Manajer Program Kominfo WARSI.

Di bidang kesehatan, WARSI mendorong agar Orang Rimba mendapat pelayanan. Terutama dari puskesmas atau rumah sakit terdekat. “Pernah suatu hari orang rimba ingin berobat. Namun karena tak memiliki administrasi yang jelas seperti KTP dan dokter atau mantrinya takut karena menyangka orang rimba itu sakti, akhirnya mereka tidak mendapat pelayanan,” alumnus Universitas Jambi ini menambahkan. Untunglah dua kabupaten, Merangin dan Sarolangun berinisiatif memberikan jamkesnas (jaminan kesehatan nasional) bagi mereka.

Sementara di bidang pendidikan sampai saat ini sebagian besar sudah cukup terbuka menerima pengajaran. Hanya saja hingga saat ini yang cukup sulit menerima tinggal kelompok Sei Terap. Populasi mereka sekitar 200 jiwa. Baru sejak Oktober 2008 lalu mereka mau menerima pendidikan. Itupun baru Tumenggung Maritua dan belasan anak-anak lelaki.
______________________


Remang-remang Riwayat Orang Rimba


CERITA ASAL-usul Suku Anak Dalam terjalin dalam beberapa versi. Salah satu cabangnya, kelompok Batin Sembilan, sudah menetap dan terbuka terhadap dunia luar Populasinya tak banyak bertambah.

Sehari-hari tanpa pakaian, kecuali kain penutup kemaluan. Tempat tinggalnya hanyalah dibatasi dinding kayu dan atap rumbia. Buah-buahan hutan, kijang, ayam hutan, atau rusa jadi santapan sehari-hari. Untuk minum, mereka mengandalkan air sungai yang diambil dengan cara sederhana, menggunakan bonggol kayu.

Itulah gambaran umum tentang masyarakat Suku Anak Dalam yang juga dikenal dengan sebutan Orang Rimba. Uniknya, walau sudah banyak pakar yang mengkaji, soal asal-usul kelompok etnis yang masih terbelakang ini masih belum jelas benar. Belum ada ahli antropologi yang bisa memastikan riwayat suku yang tersebar di beberapa kawasan di Jambi ini.

Dan riwayat mereka pun berkembang dalam beberapa versi. Salah satu pakar yang lama meneliti suku ini adalah Prof. Dr. Muntholib Soetomo. Dia pula yang pertama kali memperkenalkan sebutan Orang Rimba pada kelompok masyarakat yang masih tinggal di pedalaman Sumatera ini.

Muntholib mengungkapkan, sebetulnya ada tiga kelompok Suku Anak Dalam. Pertama, mereka yang mendiami kawasan di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh diseburnya sebagai Suku Talang Mamak. Kedua, mereka yang tinggal di sekitar Taman Nasional Bukit Dua Belas dijuluki Orang Rimba, Ketiga, mereka yang ada di Sumatera Selatan adalah Orang Batin Sembilan.

Dahulu kala, menurut Muntholib, wilayah Kerajaan Jambi cukup luas sampai meliputi kawasan Sei Lilin di Sumatra Selatan dan Pagaruyung di Sumatera Barat. Berdasarkan penelitiannya selama lima tahun, sejak 1990 hingga 1995, ia menyimpulkan bahwa ketiga kelompok suku itu hidup sejak tahun 1200. Kemudian, sekitar tahun 1500-an, timbul masalah antara Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan Jambi. Untuk menyelesaikan masalah itu, Kerajaan Pagaruyung mengirim beberapa orang utusan ke Kerajaan Jambi.

Para utusan itu menempuh perjalanan yang jauh dengan berjalan kaki. Malang tak dapat ditolak, sebelum sampai ke tujuan mereka kehabisan bekal di tengah jalan. Akhirnya, para utusan ini meng-”kubu”-kan diri alias bertahan di lokasi itu yang kini dikenal sebagai kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas, sampai beranak cucu. Mereka inilah cikal-bakal Orang Rimba yang disebutkan tadi.

Versi lain diungkapkan oleh Munawir Muchlas pada 1975. la menyebutkan adanya berbagai hikayat dari penuturan lisan yang dapat ditelusuri seperti Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita Seri Sumatera Tengah, Cerita Perang Bagindo Ali, Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar clan Bayat, Cerita tentang Orang Kubu. ,

Dari beragam hikayat tersebut, Muchlas menarik kesimpulan bahwa Suku Anak Dalam berasal dari tiga turunan. Pertama, turunan dari Sumatera Selatan yang umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari. Kedua, Keturunan dari Minangkabau, umumnya berada di Kabupaten Bungo Tebo clan sebagian Mersam di Batanghari. Ketiga, Keturunan dari Jambi asli, yaitu Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko.

Versi lain disusun oleh tim dari Departemen Sosial yang dimuat dalam terbitan berkala Profil Masyarakat Terasing. Terkisah, pada zaman dahulu kala, pecah perang antara Kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Putri Selaras Pinang Masak dan Kerajaan Tanjung Jabung yang dipimpin Rangkayo Hitam. Peperangan ini semakin berkobar, hingga beritanya sampai ke telinga Raja Pagaruyung, yang bukan lain adalah ayah Putri Selaras Pinang Masak.

Untuk menyelesaikan peperangan tersebut, Raja Pagaruyung mengirimkan prajurit-prajurit yang gagah berani untuk membantu Kerajaan Jambi. Raja Pagaruyung memerintah mereka untuk membantu menaklukkan Rangkayo Hitam. Para prajurit itu menyanggupinya clan bersumpah tidak akan kembali sebelum meraih kemenangan.

Jarak antara Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan Jambi sangat jauh, barns melalui hutan belantara dengan berjalan kaki. Setelah berjalan berhari-hari, kondisi para prajurit ini mulai menurun, sedangkan persediaan bahan makanan sudah habis. Mereka pun kebingungan. Perjalanan yang harus ditempuh masih jauh. Kembali ke Kerajaan Pagaruyung, mereka malu.

Mereka pun bermusyawarah. Walhasil, mereka memutuskan bertahan hidup di dalam hutan. Untuk menghindari kemungkinan bertemu dengan warga Pagaruyung dan merasa malu, mereka mencari tempat sepi dan jauh ke dalam rimba raya. Keadaan kehidupan mereka makin lama kian terpencil. Keturunan mereka inilah konon yang menamakan dirinya Suku Anak Dalam.

Ada lagi yang mengait-ngaitkannya dengan riwayat Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi, yang sejatinya masih serumpun. Menurut versi ini, asal-usul Suku Anak Dalam dapat dirunut sejak tahun 1624, saat dimulainya ketegangan hubungan antara kedua kerajaan tersebut. Ketegangan pun berpuncak dengan pecahnya perang pada 1629. Itu sebabnya, menurut versi ini, sekarang ada dua kelompok Suku Anak Dalam dengan bahasa, bentuk fisik, adat istiadat, dan tempat tinggal yang berbeda.
Ada kelompok Suku Anak Dalam yang bermukim di hutan belantara kawasan Musi Rawas, Sumatera Selatan. Kelompok ini berkulit kuning dengan postur tubuh mirip ras Mongoloid, seperti orang Palembang. Kelompok inilah yang diduga merupakan keturunan Kesultanan Palembang. Sedangkan kelompok lainnya mendiami kawasan hutan di Jambi. Kulit mereka ini berwarna sawo matang, berambut ikal, dan mata agak menjorok ke dalam. Mereka mirip ras India (Wedoid) dan konon keturunan tentara bayaran Kerajaan Jambi.

Ada lagi versi cerita lain yang mengungkap asal-usul kelompok Batin Sembilan yang masih merupakan bagian dari Suku Anak Dalam juga. Syahdan, pada zaman Kerajaan Melayu Jambi dahulu. Raja Jambi Maruhun melakukan perjalanan menelusuri Sungai Batanghari, kemudian naik ke Sungai Batang Tembesi. Di suatu tempat, Sang Raja bertemu dengan perempuan yang cantik jelita. Raja pun sangat tertarik dengan kecantikan perempuan, yang diketahui bernama Bayan Lais itu.

Singkat cerita, raja pun mengawini Bayan Lais. Dari pernikahan ini lahirlah Raden Ontar. Setelah menikah, Raden Ontar mempunyai anak bernama Raden Nagasari. Raden Nagasari sendiri kemudian memiliki sembilan anak, delapan laki-laki dan seorang perempuan. Anak-anak Raden Nagasari ini kemudian menyebar ke sembilan anak sungai yang berada di sekitar Sungai Batanghari, Batang Tembesi, dan Sungai Lalan.

Semua anaknya yang laki-kaki memilih tempat di wilayah timur Batanghari dan Batang Tembesi, yaitu Sungai Burung Hantu, Telisa, Sekamis, Pemusiran, Jangga, Jebak, Bulian, dan Bahar. Sedangkan anak perempuannya memilih berada di wilayah barat Batanghari, yaitu Sungai Singoan. Persebaran kesembilan keturunan Raden Nagasari inilah yang kemudian berkembang menjadi Suku Batin Sembilan atau Orang Dalam.

Batin Sembilan merupakan komunitas yang hidup dari petualangan dan mengambil hasil hutan. Mereka sudah lama hidup menetap dan berinteraksi dengan orang luar. Terutama pada masa penjajahan Belanda, dengan adanya eksplorasi minyak bumi, daerah-daerah pemukiman Batin Sembilan telah terhubung dengan dibukanya sejumlah ruas jalan. Pembukaan jalan-jalan ini pula yang menyebabkan banyak migran menetap di daerah komunitas Batin Sembilan. Keadaan ini sekaligus meningkatkan interaksi mereka dengan orang luar.

Kini, dengan adanya pembentukan desa, masyarakat Batin Sembilan tersebar di 18 desa. Sebagian bermukim di Desa Naga Sari, Pelempang, Nyogan. Tanjung Pauh 39, dan Merkanding. Sebagian lainnya menetap di Desa Tanjung Lebar, Ladang Peris, Kilangan, Sengkawang, Pompa Air, Bungku, Jebak dan Jangga Aur. Ada juga komunitas mereka yang menyebar di Desa Muara Singoan, Pemusiran, Lubuk Napal, Lamban Segatal, dan Sepintun.

Komunitas Batin Sembilan memang tampak berbeda dibandingkan dengan suku-suku Anak Dalam lainnya. Terutama sejak Departemen Sosial menggulirkan Program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing pada 1970-an. Program ini cukup berhasil untuk komunitas Batin Sembilan karena mereka mau diajak hidup menetap. Tapi tidak demikian halnya dengan Orang Rimba yang tetap bertahan dengan pola hidup nomaden.

Menurut hasil survei Kelompok Konservasi Indonesia Warsi, pertambahan jumlah anggota kelompok Orang Rimba dari tahun ke tahun tidak berubah banyak. Hal itu diungkapkan Rudi Syaf, Manajer Program Komunikasi dan Informasi Warsi. Menurut catatannya, total populasi Suku anak Dalam sekitar 3.500 jiwa. “Tingkat kelahiran tinggi, tapi tingkat kematiannya juga meningkat,” Rudi menyebut penyebabnya.

Dari jumlah itu, sekitar 1.700 jiwa berdiam di sekitar jalan lintas timur Sumatera. Lalu, ada sekitar 450 jiwa berada di kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Yang bermukim di sekitar kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas kurang-lebih 1.500 jiwa. Sedangkan suku Batin Sembilan sulit diketahui persis berapa populasinya. “Sebab. mereka sudah tersebar dan berbaur dengan suku-suku lain, seperti Jawa dan Batak,” kata lelaki berusia 41 tahun itu.[Jogie Sirait/Gatra]

______________________

Semua artikel ini dimuat oleh Gatra, 2 Juli 2009.

0 komentar: