Juni 03, 2014

Urgensi Konferensi Studi Jambi: Sebuah Timbangan


Jumardi Putra, "Urgensi Konferensi Studi Jambi: Sebuah Timbangan", dimuat pertama kali di weblog Jambi Studies.


“Studi Jambi membuka diri selebar-lebarnya bagi tangan-tangan kreatif dari para ilmuwan, dengan disiplin apa saja, untuk menguaknya.”


KROEBER DAN Kluckhohn adalah dua tokoh yang pernah menghitung, menganalisa, dan mengadakan klasifikasi definisi tentang “kebudayaan”. Mereka mendapatkan lebih dari 160 pengertian mengenai kebudayaan dari berbagai literatur yang ada.

Karena itu, dalam tulisan yang singkat ini, kita tidak perlu mengurut semua defenisi “kebudayaan” yang ada. Namun, menurut hemat saya, benang merah “kebudayaan” bermuara pada sebuah pengertian, yaitu perwujudan yang kompleks, yang di dalamnya mengandung kepercayaan atau keyakinan, moral, hukum, adat istiadat, kesenian, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seorang sebagai anggota masyarakat.

Tentu pengertian kebudayaan di atas dapat memandu kita ke belantara budaya Jambi, yang dalam catatan Seloko: Jurnal Budaya (Dewan Kesenian Jambi), untuk menyebut beberapa, terdapat tujuh warisan budaya (tangible-intangible) yang potensial untuk dikaji dalam ruang studi yang terbuka lebar, yakni sejarah, adat, bahasa dan sastra, sungai Batanghari, Percandian Muarojambi, karya seni, busana, dan kuliner.

Bukan itu saja, hasil Seminar Internasional Melayu Kuno 1992 di Jambi, kawasan ini membuktikan, salah satunya, peran ekonominya dalam konteks dunia sebagai salah satu bandar persinggahan dalam jalur maritime silk road. Bangsa-bangsa dari Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Timur pernah tinggal dan melakukan hubungan perdagangan maupun diplomatik di wilayah yang saat ini disebut sebagai Jambi. Bahkan, melalui seminar itu pula, para peneliti dari berbagai negara dan lintas disiplin ilmu menyebut pusat Melayu berada di Jambi (Batanghari).

Namun, sayangnya, jejak sejarah yang panjang dan keragaman budaya yang dimiliki Jambi tidak berbanding lurus dengan jumlah penelitian dan publikasi yang melingkupinya. Justru studi-studi Jambi hingga kini jumlahnya sangat terbatas, dan di antara yang sedikit itu, didominasi oleh tulisan-tulisan peneliti asing. Bahkan pascakemerdekaan Republik Indonesia, Jambi terus “terabaikan” dalam berbagai studi lokal.

Dalam keadaan itu, tak heran, bila Barbara Watson Andaya, profesor dari Universitas Hawai’i, Amerika Serikat, yang menaruh perhatian besar terhadap sejarah Melayu, berpendapat, sejak 1938, belum ada buku yang spesifik dan menyeluruh untuk studi Jambi.


Mengumpulkan yang Tersebar

Pada masa kolonial terdapat pusat kajian Zuid-Sumatra yang telah banyak melakukan penelitian, tak terkecuali tentang Jambi. M.H. Abid, mengutip perkataan sejarawan Bambang Purwanto, dalam diskusi bertajuk "Menggairahkan Studi-studi Jambi", Januari 2012, menyebutkan, di jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) yang diterbitkan KITLV, di nomor yang terbit pada 1894-an, Zuid-Sumatra disebut. Beberapa studi tentang Jambi yang diterbitkan BKI itu, untuk menyebut beberapa, yaitu kajian tentang Undang-undang Kesultanan Jambi dan studi-studi tentang Orang Rimba, yang di masa itu ditulis sebagai “Koeboe”.

Kemudian beberapa ditulis dalam konteks hubungan dengan kawasan di luar Jambi, ambil misal Sriwijaya (O.W. Wolters, 1974); Menuju Sejarah Sumatera (Antony Reid, 2005); dan karangan William Marsden, History of Sumatra (1783). Melalui buku yang ditulis dengan standar yang sangat tinggi, cap Anthony Reid terhadap William Marsden, kita membaca Jambi hanya dibahas sedikit, yakni terkait Kerinci, Sungaitenang, Serampei (Serampas), Batang Aser (Batangasai), dan Pangkalanjambu. Itu pun dengan catatan, dalam menulis Jambi, Marsden tidak datang sendiri ke Jambi, melainkan mengandalkan catatan orang lain yang datang ke Jambi, yakni Charles Campbell (melalui surat-menyurat) dan Hasting Dare (catatan harian). Hal serupa kita jumpai dalam karangan Edwin M. Loeb, Sumatra: Sejarah dan Masyarakat, (Ombak, 2013), terjemahan dari buku asli Sumatra: Its History and People (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1972). Dalam buku tersebut, Jambi, lagi-lagi, hanya disebut sepintas dan sangat tidak memadai.

Studi penting tentang Jambi lainnya adalah karya antropolog C.W. Watson, Kinship, Property and Inheritance in Kerinci, Central Sumatra (University of Kent, 1992); Barbara Watson Andaya menulis To Live as Brothers: Southeast Sumatra in Seventeenth an Eighteenth Centuries (1993); dan pada 1994 Elsbeth Locher-Scholten menulis Sumatraans Sultanaat en Koloniale Staat: De Relatie Djambi-Batavia (1830-1907); serta Tideman dan Sigar menulis buku berjudul Djambi pada 1938.

Bukan itu saja. Buku penting tentang Jambi yang ditulis oleh peneliti dari dalam negeri, antara lain, Jang Aisjah Muttalib menulis disertasi di Universitas Columbia, Amerika Serikat, dengan judul “Jambi 1900-1916: From War to Rebellion” (1977). Pada 1992, Bambang Purwanto, yang kini menjadi profesor sejarah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, menulis disertasi di SOAS, University of London, dengan judul “From Dusun to Market: Native Rubber Cultivation in Southern Sumatra, 1890-1940”. Berlanjut pada 1995, Muntholib, yang kini menjadi guru besar di IAIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi, menulis disertasi tentang Orang Rimbo di Universitas Padjadjaran, dengan judul “Orang Rimbo: Kajian Struktural-Fungsional Masyarakat Terasing di Makekal, Provinsi Jambi”.

Kemudian pada era 1980-an, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan turut menerbitkan beberapa buku tentang Jambi, antara lain Kesenian: Sastra Daerah Jambi; Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jambi; Dampak Modernisasi terhadap Hubungan Kekerabatan pada Suku Bangsa Melayu Jambi; Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Jambi; Ungkapan Tradisional sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Jambi; Upacara Tradisional dalam Kaitannya dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Jambi.

Pada saat yang sama, ada beberapa peneliti nasional lainnya yang secara khusus berkonsentrasi pada kajian sejarah Melayu Kuno di Jambi, peradaban di sungai Batanghari, dan kawasan Percandian Muarojambi, dengan menitikberatkan pendekatan arkeologi, geomorfologi, dan filologi. Mereka, antara lain, Sukmono, Sartono, Slamet Mulyana, Mundarjito, Hasan Djafar, dan Bambang Budi Utomo.

Namun demikian, berbagai hasil penelitian dan publikasi tentang Jambi, sebagaimana dipaparkan di atas, hingga kini masih tersebar di banyak tempat, seperti di jurnal-jurnal internasional, antara lain Indonesia (Cornell University, USA); Bijdragen tot de Taal-, Land–en Volkenkunde (KITLV, Belanda); Archipel (Prancis), Indonesia and the Malay World (SOAS, Inggris), di perpustakaan-perpustakaan di luar dan dalam negeri, serta di kampus tempat disertasi/tesis tersebut diajukan.

Bahkan, dalam sebuah lawatan redaksi Seloko ke Perpustakaan Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) pada Agustus 2013, yang berada di kawasan Universitas Nasional Singapura (NUS), tampak jelas publikasi penelitian tentang Jambi telah banyak dikumpulkan dan digitalisasi.


Memilih Konferensi

Bertolak dari rekam sejarah yang panjang, keragaman budaya, serta minimnya studi-studi tentang Jambi, sebagaimana telah disinggung di awal, pada 21 sampai 24 November 2013, Seloko: Jurnal Budaya mengadakan Konferensi Internasional Studi Jambi atau International Conference on Jambi Studies (ICJS). Perhelatan ilmiah itu berlangsung di Novita Hotel, Kota Jambi.

Kenapa memilih konferensi? Sebenarnya kegiatan semacam konferensi sudah pernah dilakukan di Jambi. Pada 1992 Pemerintah Provinsi Jambi mengadakan Seminar Internasional Melayu Kuno yang mendatangkan pemakalah dari luar maupun dalam negeri. Seminar tersebut sangat penting dan berhasil mengungkap banyak hal terkait sejarah Kerajaan Melayu Kuno di Jambi. Kegiatan tersebut sayangnya tidak berlanjut dan tidak ada seminar seperti itu di Jambi hampir 20 tahun kemudian. Bukan itu saja, prosiding seminar 1992 tidak dibukukan sehingga tidak memeroleh banyak pembaca.

Tentu dengan keterbatasan itu, maksud untuk menggairahkan penelitian atau studi tentang Jambi akan sangat lambat dicapai. Untuk itu, perlu kiranya mencari jalan alternatif agar upaya tersebut bisa lebih cepat, yaitu konferensi studi Jambi, di samping penerbitan jurnal Seloko, forum dikusi “Uncang Budaya”, dan seminar berkala.

Konferensi bertemakan “Sejarah, Seni dan Budaya, serta Agama dan Perubahan Sosial” (History, Art and Culture, Religion and Social Change) itu menghadirkan 38 pemakalah, antara lain Edmund Edwards McKinnon (National University of Singapore), Stefanie Steinebach (Gottingen University, Germany), C.W. Watson (University of Kent, UK), Fiona Kerlogue (Horniman Museum, UK), Heinzpeter Znoj (University of Bern, Switzerlend), Margaret Kartomi (Monash University, Australia), dan Staven Sager (Australian National University). Sedangkan dari Indonesia, antara lain Julianti L. Parani (Institut Kesenian Jakarta), Devi Roza Krisnandhi Kausar (Universitas Pancasila, Jakarta), Suaidi Asyari (IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi), dan Bambang Hariyadi (Universitas Jambi).

Adapun pemakalah maupun peserta konferensi berasal dari berbagai universitas dan pusat studi di beberapa negara, di antaranya Indonesia, Malaysia, Singapura, Australia, Inggris, Amerika Serikat, Jerman, Prancis, dan Switzerland. Umumnya mereka menekuni bidang kajian beragam, seperti sejarah, antropologi, hukum, arkeologi, filologi, sastra, batik, etnomusikologi, tari, seni rupa, arsitektur, pariwisata, agama, dan agrikultur.

Forum ICJS juga mengundang dua pembicara yang bertindak sebagai pembicara kunci (keynote speaker). Pertama, John N. Miksic. Ia merupakan profesor di Departemen Studi Asia Tenggara, Universitas Nasional Singapura (NUS), dan ketua Pusat Nalanda-Sriwijaya, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Kedua, Profesor Barbara Watson Andaya, direktur Pusat Studi Asia Tenggara di Universitas Hawai’i, Amerika Serikat.

Di samping keduanya, konferensi dua tahunan itu menempatkan tujuh chairperson. Mereka adalah Annabel Teh Gallop (British Library, UK), Barbara Watson Andaya (University of Hawai’i, USA), Bambang Purwanto (Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), Bambang Budi Utomo (Pusat Arkeologi Nasional), Jonathan Zilberg (University of Illinois at Urbana-Champaign, USA), Regina Yanti (Universitas Atmajaya Jakarta), dan Suaidi Asyari (IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi).


Makna Strategis ICJS

Apa pentingnya studi-studi Jambi? Menurut hemat saya, berdasarkan paparan para pemakalah dalam konferensi itu, dapat diambil benang merah bahwa pengkajian tentang Jambi memiliki nilai penting dalam ilmu-ilmu sosial masa kini dan di masa mendatang. Atas dasar itu, penggunaan berbagai pendekatan seperti sejarah, antropologi, sosiologi, hukum, arkeologi, filologi, dan ilmu sosial lain merupakan kombinasi yang sangat baik dan penting dilakukan.

Beranjak dari itu, sepencatatan saya, Barbara Watson Andaya, di akhir konferensi menyimpulkan: ICJS memiliki beberapa makna strategis sekaligus kemungkinan-kemungkinan program atau kegiatan pengembangan lainnya. Pertama, kita semua yang sudah melakukan penelitian, selalu saja terbuka kemungkinan menemukan data baru, yang boleh jadi dapat mengungkapkan makna baru pula. Maka bukanlah gejala luar biasa jika kebudayaan cenderung menuntut pengkajian-pengkajian dan penelitian lanjutan.

Kedua, ICJS memantik banyak topik tentang Jambi yang belum terungkap. Itu menjelaskan studi tentang Jambi butuh topik-topik yang lebih beragam dibanding yang sudah ada serta perspektif yang baru, seperti sejarah revolusi di Jambi, sejarah Tionghoa, dan sejarah transmigrasi yang ada di Jambi. Hal itu menjadi penting, karena berdasarkan pemaparan Profesor John N. Miksic, fakta historis dan bukti arkeologis menunjukkan gambaran menyeluruh tentang masa awal perkotaan Jambi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari, dalam hal hubungan regional dan internasional di masa lalu dan potensi pengembangan di masa kini maupun mendatang. Senada hal itu, julukan Jambi sebagai the favoured commercial coast, pada masanya, menandai telah terjadi perjumpaan lintas manusia dan budaya yang begitu inten di masa lalu.

Ketiga, ICJS merupakan momentum yang tepat untuk menggairahkan kembali para peneliti Jambi agar memainkan perannya secara maksimal, mengingat di antara hasil studi Jambi yang sangat minim itu, hanya sedikit diisi oleh peneliti yang berasal dari Jambi. Karena itu, kita perlu membuka peluang untuk penelitian kolaboratif dan jenis pengembangan penelitian lainnya, yang menghubungkan sarjana lokal, nasional, dan luar negeri dalam penelitian ataupun studi-studi tentang Jambi di masa mendatang.

Muara dari gagasan di atas, menurut hemat saya, adalah keniscayaan bagi perguruan tinggi, terutama di Jambi, melakukan perbaikan konsep akademik di bidang pengkajian Jambi dan memperkuat tradisi penulisan ilmiah serta membuka jaringan bagi jurnal yang ada di perguruan tinggi Jambi dengan dunia akademis di level nasional maupun internasional.

Keempat, mendesak program penerjemahan hasil penelitian tentang Jambi dari bahasa Inggris atau bahasa lainnya ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu bertujuan memudahkan akses pembaca dari kalangan lokal. Seiring hal itu, sumber-sumber Belanda abad ke-17 sampai ke-19 Masehi sangat penting untuk dikumpulkan, baik oleh pemerintah melalui perpustakaan, komunitas, maupun individu-individu yang menaruh perhatian terhadap studi-studi Jambi.

Kelima, besarnya minat para pakar untuk ambil bagian dalam konferensi itu menunjukkan bahwa pokok bahasannya telah menjadi sasaran telaah bersama, baik melalui cara pandang sesuatu disiplin maupun dalam kerja sama antardisiplin. Untuk itu, dari pertemuan ilmiah ini kiranya boleh dimanfaatkan hasil-hasil yang unggul mutunya, serta bermanfaat bagi pengenalan seluk-beluk kebudayaan Jambi.

Keenam, berbagai sumber dan keahlian khusus harus disinergikan dalam satu usaha yang menguras tenaga, sehingga ke depannya kita dapat memiliki sumber-sumber paling lengkap mengenai kebudayaan Jambi.

Dengan demikian, menempatkan Jambi sebagai ruang kultural-intelektual tentu membawa pengaruh positif bagi mentalitas masyarakat Jambi, baik di masa kini maupun akan datang, karena pandangan tentang kebudayaan Jambi akan diterpa oleh cakrawala yang membentang luas dan proses yang berkesinambungan.

Jambi, 2014.[]


0 komentar: