Juni 18, 2014

Śriwijaya: Myth or Reality?


PADA 1918, buletin l’École Française d’Extrême-Orient menerbitkan artikel George Coèdes yang membuka babak baru kajian Asia Tenggara, berjudul Le Royaume de Śriwijaya. Coèdes menyatakan adanya kerajaan bernama Śriwijaya, imperium maritim yang menguasai sebagian besar wilayah Asia Tenggara dan yang berdiri sejak abad ke-7 hingga abad ke-14, dengan bukti-bukti yang bersifat tekstual. Sejak itu, bermulalah mitologisasi Śriwijaya. Banyak pihak, baik dari kalangan akademisi maupun politisi nasional, menerima dan mengikuti teori Coèdes yang dianggap benar belaka.

Akan tetapi, setidaknya sejak tiga dekade terakhir, pengaruh Coèdes berangsur-angsur menurun. Muncul sejumlah pertanyaan kritis: Apakah Śriwijaya nyata-nyata ada dan bukan ilusi akademis belaka? Apakah merupakan thalassocracy? Apakah berdiri selama tujuh abad? Cukup dan kokohkah argumen-argumen tekstual yang digunakan Coèdes untuk membuktikan keberadaan Śriwijaya?

Bottenberg, dengan tesisnya di Universitas Leiden ini, "Śriwijaya: Myth or Reality?", menjadi salah saorang pengkritik teori Coèdes tersebut sekaligus penggugat mitologisasi Śriwijaya. Tapi tentu ia bukan sarjana pertama yang melakukan hal itu. Sebelumnya, setelah mengadakan investigasi arkeologis di Palembang pada 1975 dan 1979, Bennet Bronson menarik kesimpulan yang cenderung menyangkal keberadaan Śriwijaya (hlm. 28). Setelah Bronson, pada 1981 Slamet Muljana menerbitkan bukunya yang kritis tetapi kurang terkenal, Kuntala, Śriwijaya dan Suwarnabhumi (Yayasan Idayu, 1981). Meskipun menerima keberadaan Śriwijaya sebagai imperium maritim di Asia Tenggara, Muljana menyatakan bahwa umur Śriwijaya singkat, hanya satu abad. Dibandingkan dengan kritik Muljana atas teori Coèdes tantang Śriwijaya, kritik Bottenberg lebih telak dan menyeluruh.

Menurut Bottenberg, teori Coèdes rapuh dan problematis. Penemuan Coèdes atas Śriwijaya “was not done by exploring deep into the tropical forests of Indonesia and stumbling upon ancient ruins, but by carefully studying the ancient texts and sources and basing a theory on those sources” (hlm. 13). Sumber-sumber tekstual itu antara lain: teks Cina, misalnya catatan I-Tsing dan Chou Ja-Koua, cerita petualang Arab, misalnya cerita dari Sulayman dan Ibnu Rustah, dan inskripsi India, misalnya inskripsi Rajaraja dan Rājendracola (hlm. 14). Jadi, teori Coèdes tidak punya landasan arkeologis.

Ini menghasilkan perkembangan ilmiah yang merugikan. Terpengaruh Coèdes, banyak sarjana Asia Tenggara berupaya mencari dalam dunia nyata apa yang tersurat pada teks, "to search from the word to the world." Mereka mengidentifikasi dan melokalisasi toponim-toponim kerajaan yang tertera pada teks-teks kuno, misalnya catatan I-Tsing atau kronik Cina (hlm. 24). Kajian menjadi lebih bersifat konfirmatif dan verifikatif, kurang falsifikatif. Dengan kata lain, kajian Śriwijaya menjadi sunyi dari dialektika yang fundemantal dan tidak mengalami kemajuan yang berarti. Kokohlah mitos Śriwijaya sebagai imperium maritim di Asia Tenggara.

Dalam rangka mengkaji Śriwijaya secara kritis, sebagai arkeolog, Bottenberg membalik cara kerja para sarjana pengikut Coèdes tersebut. Ia tidak mencari dalam dunia nyata apa yang tersurat pada teks, tetapi menjawab pertanyaan apakah Śriwijaya itu realitas ataukah mitos belaka, dengan berpijak pada kenyataan. Bottenberg menganalisis kembali benda-benda budaya (material culture) hasil galian sejumlah arkeolog, terutama yang dilakukan di dua wilayah inti Śriwijaya, Pelembang dan Jambi, kemudian menghubungkan hasil analisisnya dengan sumber-sumber tekstual dan dengan kerangka teori yang digunakannya. Dengan cara itu, ia menemukan sejumlah kesimpulan yang sekaligus menjadi kritiknya atas teori Coèdes.

Kritik pertama Bottenberg terarah pada bentuk negara. Śriwijaya bukanlah sebuah thalassocracy: imperium maritim yang menguasai Selat Malaka, memiliki angkatan laut yang kuat, dan mempunyai sedikit kontak dengan wilayah pedalamannya. “Archaeological excavations and surveys,” tulisnya, “reveal no strong maritime empire, but polities or kingdoms, on Sumatra only and not polities across the Straits of Malacca” (hlm. 4).

Bersandar pada teori peer polity interaction, Bottenberg menerangkan bahwa Śriwijaya sebenarnya bukanlah nama sebuah imperium maritim, tetapi sebentuk pertukaran simbolik (symbolic exchange), identitas yang digunakan secara kolektif oleh negara-negara otonom berbudaya politik mandala yang ada di Sumatera. Negara-negara ini berdiri berdampingan, tetapi bersaing memperebutkan hegemoni. “The one who controls most of the trade and is the most powerful, both military and economically, adopts the name of Śriwijaya, as part of competitive emulation and as part of symbolic exchange,” tulis Bottenberg (hlm. 37). Ia juga menulis, “I-Tsing’s statement that, Malayu was now Śriwijaya, may refer to a conquest or merging of different polities” (hlm. 33).

Thalassocracy hanya menjalin sedikit kontak dengan dan hanya punya sedikit kontrol atas wilayah pedalamannya. Sementara itu, dalam kasus Śriwijaya, relasi dengan wilayah pedalaman tersebut justru menentukan kemakmurannya. Dari wilayah pedalaman itulah negara-negara Śriwijaya memeroleh komoditas ekspor yang diperdagangkannya dalam pasar internasional. “The exchange between Śriwijaya and its hinterland,” demikian Bottenborg, “is clear, particular in perishable materials such as NTFPs (Non-Timber Forest Products) and precious metals” (hlm. 34).

Di Sumatera, relasi ekonomi-politik antara negara-negara Śriwijaya dengan wilayah pedalamannya, yaitu Minangkabau dan Batak, telah berlangsung sebelum Sumatera terintegrasi ke dalam sistem perdagangan maritim internasional, atau sebelum pedagang Cina, India, dan Arab melakukan penetrasi di pulau tersebut (hlm. 36 dan 73). Pernyataan ini bukan omong kosong, sebab “architectural and epigraphical evidence found in the hinterland of Sumatra, prove that trade, distribution and exchange happened within, and between, polities” (hlm. 37).

Faktor inilah yang melatarbelakangi pindahnya wilayah inti Śriwijaya pada abad ke-11, dari Palembang ke Jambi, di samping faktor serangan Kerajaan Cola. “Jambi,” jelas Bottenberg, “tried to come into direct contact with their hinterland by means of the Batang Hari, which is much closer to the homelands of the Batak and Minangkabau than the Musi River in South Sumatra” (hlm. 73). Penemuan bukti-bukti arkeologis yang berasal dari abad ke-7 hingga abad ke-9 di Palembang menunjukkan bahwa Palembang sejak abad ke-7 merupakan negara induk Śriwijaya, tetapi kemudian berkurang pengaruhnya semenjak serangan Cola pada 1025. Sementara itu, di Jambi terdapat peningkatan jumlah temuan arkeologis yang berasal mulai dari abad ke-11 (hlm. 73). Bottenberg lantas menghubungkan dinamika politik di Sumatera sepanjang masa Śriwijaya ini dengan teori tata dunia (world systems theory)-nya A.G. Frank.

Tidak semua kesimpulan Bottenberg bertabrakan dengan teori tradisional tentang Śriwijaya. Berdasarkan temuan arkeologis dan inskripsi yang ada, dengan mengecualikan situs-situs Hindu yang ada di Sumatera, ia menyimpulkan bahwa “Śriwijaya appears to be Buddhist in nature” (hlm. 73). Tentu saja pengecualian ini merupakan persoalan yang harus dijawab Bottenberg.

Walaupun terdapat titik pertemuan antara kesimpulan Bottenberg dengan teori tradisional tentang Śriwijaya, sebagian besar kesimpulan Bottenberg, sebagaimana dipaparkan sebelumnya, bertolak belakang dengan dan merupakan bantahan terhadap teori Coèdes. Bottenberg tidak hanya menggugat, melainkan juga menghancurkan citra klasik Śriwijaya sebagai thalassocracy. Citra ini mulanya dibangun oleh Coèdes dan para pengikutnya, kemudian dilanggengkan dan dikuatkan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka pembangunan identitas dan kesadaran nasional (nation building), dan pengembangan industri pariwisata berbasis budaya (cultural tourism) (hlm. 26-27 dan 74).[]

__________________


Roy-William Bottenberg, "Śriwijaya: Myth or Reality?", MA thesis, Leiden University, (2010).

Tesis utuh dapat diunduh di sini
Full-text of the thesis is available here.

0 komentar: