Juli 19, 2014

Mycorrhizae on Dipterocarps in Rubber Agroforests (RAF) in Sumatra


Rangkuman: Mikoriza pada Dipterokarpa di Wanatani Karet di Sumatra 

PEPOHONAN SUKU Dipterocarpaceae yang mendominasi hutan tropis dataran rendah Asia Tenggara, yaitu di bagian barat garis Wallacea memiliki hubungan erat dengan fungi, melalui pembentukan mikoriza. Pohon-pohon dan fungi mikoriza saling berhubungan melalui “woodwide web”, dimana akar-akar pohon menyediakan karbon dalam bentuk karbohidrat sederhana bagi fungi dan sebaliknya miselium-miselium fungi menyalurkan hara tanah dan air ke pohon inang (Smith dan Read, 1997).

Tingginya laju deforestasi dan transformasi hutan mengakibatkan hutan campuran dipterokarpa berubah menjadi tipe penggunaan lahan lain dan tipe vegetasi lain. Salah satu perubahan penggunaan lahan dari hutan campuran dipterokarpa adalah wanatani karet. Sejak puluhan tahun yang lalu, sejumlah area hutan tropis dataran rendah di Sumatra, telah berubah menjadi wanatani karet. Ekadinata dan Vincent (2005) menyebutkan bahwa selama dekade terakhir area hutan di kabupaten Bungo khususnya, berkurang sangat cepat, sebaliknya luasan area wanatani karet tetap stabil. Akan tetapi, dari terkini dari observasi langsung di lapangan mengungkapkan bahwa wanatani karet dewasa ini juga telah dikonversi menjadi sistem pertanian yang lebih intensif.

Wanatani karet adalah tipe penggunaan lahan dengan pananaman karet sebagai tanaman pokok dan membiarkan jenis-jenis tanaman lain tumbuh secara spontan, terutama jenis-jenis tanaman penghasil buah yang dapat dimakan, penghasil kayu dan jenis-jenis lain yang berguna bagi kehidupan sehari-hari. Pada sistem wanatani, petani mendapatkan keuntungan dari menyadap karet, selain itu juga mengumpulkan hasil-hasil hutan lainnya, termasuk kayu. Wanatani karet berperan penting dalam konservasi keragaman hayati, sehingga strategi konservasi tersebut perlu untuk disambungselaraskan dalam upaya meregenerasi bentangan alam (landscape) berskala luas melalui peningkatan jumlah tegakan dan pemulihan kondisi pada hutan yang terganggu.

Namun, upaya ini mengalami beberapa kendala antara lain: (a) tanah tropis pada umumnya miskin unsur hara, terutama setelah lapisan seresah terbakar dan/atau mengalami erosi, sehingga menghambat keberhasilan rehabilitasi lahan dan reboisasi hutan; (b) tanah yang masam; dan (c) rendahnya kadar P-tersedia dalam tanah; serta (d) tekstur tanah yang berat karena tingginya kandungan liat, dapat menghambat regenerasi jenis-jenis pepohonan dalam kelompok suksesi akhir, seperti Dipterocarpaceae.

Inokulasi fungi yang bersimbiosis dengan dipterokarpa pada tahap persemaian, sangat dianjurkan untuk meningkatkan pertumbuhan dipterokarpa (Priadjati, 2002; Turjaman et al., 2006b). Namun sampai saat ini, penelitian mengenai komunitas ektomikoriza di hutan dipterokarpa dan lahan lain yang berasal dari hutan di Indonesia sangat terbatas, sehingga pilihan rencana mengenai regenerasi vegetasi dan biota tanah masih menjadi pertanyaan terbuka.

Tesis ini merupakan kombinasi dari penelitian dasar dan aplikasi, dengan fokus utama adalah peran dan identitas fungi ektomikoriza pada dipterokarpa serta hubungannya dengan perubahan lahan di Jambi, Sumatra. Sebagai bagian dari penelitian dasar, beberapa penelitian seperti efek perubahan lahan terhadap keragaman vegetasi (bab 2) dan ketersediaan inokulum ektomikoriza dalam tanah terhadap dua jenis dipterokarpa (bab 3) telah dianalisa. Selain itu telah diselidiki pula pengaruh perlakuan pengeringan dan pemanasan tanah dengan oven terhadap propagul ektomikoriza dalam tanah dengan menggunakan lima jenis dipterokarpa di persemaian (bab 4) dan identifikasi ektomikoriza fungi dengan menggunakan teknik molekular DNA, yaitu Polymerase Chain Reaction (PCR) dan sekuensing (bab 6). Penelitian aplikasi berhubungan dengan penanaman pengayaan dengan jenis-jenis dipterokarpa di wanatani karet (bab 5). Hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah, pemasaran kayu dan pilihan jenis tanaman lain dalam pengayaan jenis di kebun karet tidak dibahas dalam tesis ini, akan tetapi menjadi latar belakang dalam diskusi.




Kekayaan Jenis di Wanatani Karet

Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi tipe lain mempengaruhi keragaman jenis tanaman, salah satu contoh adalah wanatani karet yang umum dijumpai di Jambi, Sumatra. Penelitian ini menunjukkan bahwa regenerasi jenis anakan di wanatani karet lebih baik dari pada di hutan sekunder. Kekayaan jenis anakan di wanatani karet lebih tinggi dari pada di hutan, akan tetapi kekayaan jenis pancang dan pohon (termasuk tihang) di hutan lebih tinggi dibandingkan dengan di wanatani karet. Index keragaman jenis untuk semua strata di hutan lebih tinggi dari pada di wanatani karet. Aktifitas manusia sebagai bagian dari pengelolaan wanatani karet, seperti pembersihan gulma dan penjarangan, berpengaruh negatif terhadap kekayaan jenis tumbuhan. Sangat sedikit jenis-jenis pohon yang bersiombiosis dengan fungi ektomikoriza, seperti Dipterocarpaceae, Fagaceae dan Gnetaceae, yang dijumpai di wanatani karet. Akan tetapi, tidak terdapat perbedaan distribusi relatif jenis-jenis tumbuhan yang umum dijumpai pada awal suksesi dan akhir suksesi antara hutan dan wanatani karet (bab 2). Penggolongan jenis tumbuhan berdasarkan bobot jenis kayu (wood density) menunjukkan bahwa jenis tumbuhan yang biasa tumbuh pada awal suksesi memiliki bobot jenis kayu rendah dan bersifat tumbuh cepat (fast growing), sedangkan jenis tumbuhan yang biasa tumbuh pada akhir suksesi memiliki bobot jenis kayu tinggi dan tumbuh lambat (slow growing).

Petani karet memiliki peran dalam terjadinya regenerasi alami dari bank benih (’seed banks’) dalam tanah dan dari agen pemencar biji, yang tercermin dari tingginya kekayaan jenis tingkat anakan. Delapan sampai sepuluh tahun setelah penanaman karet, atau 5-6 tahun untuk karet klon, petani karet kembali ke kebunnya untuk menyadap karet. Pada tahap ini, petani mulai melakukan penjarangan dengan menebas pohon-pohon yang sekiranya tidak menguntungkan secara ekonomi. Berdasarkan wawancara, penjarangan secara selektif dilakukan oleh petani dengan alasan untuk mengurangi persaingan hara tanah dan cahaya dengan tanaman lain sehingga produktivitas getah karet (latex) meningkat. Kegiatan ini mengurangi kekayaan jenis dan keragaman vegetasi di wanatani karet. Namun sebaliknya, petani membiarkan pepohonan yang menghasilkan bagian yang dapat dimakan (baik oleh manusia maupun ternak) untuk tetap tumbuh. Selain karet, petani juga memelihara jenis-jenis yang bermanfaat bagi kehidupan di wanatani karet, seperti pohon-pohon penghasil kayu, penghasil makanan, bumbu, pewarna, obat-obatan dan pakan ternak. Kelimpahan relatif pohon-pohon dengan bagian yang dapat dimakan di wanatani karet lebih tinggi dari pada di hutan (bab 2).



Peran Inokulasi Ektomikoriza

Badan Standarisasi Nasional merekomendasikan inokulasi ektomikoriza fungi pada tanaman kehutanan untuk menghasilkan bibit yang berkualitas baik, seperti disebutkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor: 01-7198-2006. Hasil penelitian dalam tesis ini menunjukkan bahwa inokulasi dengan fungi ektomikoriza Scleroderma columnare terhadap bibit Shorea lamellata dan S. selanica pada tahap persemaian hanya memberikan sedikit pengaruh positif terhadap daya tahan hidup dan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter. Dalam tanah di wanatani karet dengan sejarah lahan dan umur tanaman karet yang berbeda yang menjadi lokasi penanaman S. lamellata dan S. selanica di Jambi, masih cukup mengandung inokulum ektomikoriza (bab 5). Berlawanan dengan laporan oleh Turjaman et al. (2006b, 2007), hasil penelitian kami menunjukkan bahwa inokulasi dipterokarpa dengan ektomikoriza fungi di persemaian tidak meningkatkan penyerapan unsur hara N dan P pada bibit S. lamellata dan S. selanica. Pengaruh inokulasi fungi ektomikoriza terhadap daya tahan hidup awal, terutama pada bibit yang ditanam di hutan sekunder, menunjukkan bahwa manfaat utama dari inokulasi adalah meningkatkan daya tahan terhadap penyakit akar (bab 5).


Potensial Inokulum Ektomikoriza dalam Tanah dan Identifikasinya

Ektomikoriza dalam tanah hutan berhubungan sangat erat satu sama lain melalui jejaring mikoriza, yang disebut dengan ’wood-wide web’ (Peter, 2006). Hasil penelitian kami yang dilakukan di rumah kaca menguji tanah dalam kondisi terganggu di dalam pot plastik, sehingga studi ini berdasarkan pada efektivitas daya tahan hidup spora dan pemencaran spora fungi ektomikoriza. Rendahnya perbedaan kolonisasi ektomikoriza antara tanah yang berasal dari berbagai tipe penggunaan lahan yang berbeda mengindikasikan bahwa daya tahan hidup spora dan kolonisasi ektomikoriza tidak sensitif terhadap sejarah lahan (bab 3). Dari hasil identifikasi molekular berdasarkan sekuen Internal Transcribed Spacer (ITS) rDNA, menunjukkan bahwa fungi ektomikoriza yang berkolonisasi dengan S. lamellata dan S. selanica yang ditanam dalam tanah dengan tipe penggunaan lahan yang berbeda termasuk dalam genus Tomentela, Laccaria dan satu genus yang tidak teridentifikasi dari suku Sclerodermataceae. Selain itu, diidentifikasi juga satu endofit Curvularia (bab 6).

Percobaan pemanasan tanah dengan suhu yang berbeda dan pengeringan mensimulasikan dampak kebakaran terhadap inokulum mikoriza dalam tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanasan dan pengeringan tanah kurang berpengaruh terhadap kolonisasi ektomikoriza pada stek pucuk 5 jenis dipterokarpa setelah 10 bulan di rumah kaca (bab 4). Identifikasi molekular fungi ektomikoriza berdasarkan sekuen ITS rDNA menunjukkan terdapat 3 genus fungi ektomikoriza, yaitu: Tomentella, Laccaria, dan Inocybe, dan juga 4 jenis fungi endofit: Pestalotiopsis sp., Fusarium sp., Muscodorsp., dan Cosmospora vilior (bab 6). Cepatnya ektomikoriza mengkolonisasi kembali tanaman inang pada tanah yang mendapat perlakuan pemanasan hingga 150 derajat C selama 3 jam, mengindikasikan bahwa propagul ektomikoriza dalam tanah tersedia dalam jumlah yang cukup di lapangan. Seperti yang telah diketahui di Sumatra, api umum digunakan sebagai alat untuk membuka lahan. Ketersediaan inokulum ektomikoriza alami dalam tanah di Sumatra dapat mendukung pertumbuhan jenisjenis Dipterocarpaceae.

Percobaan penanaman dua jenis Shorea di wanatani karet dengan sejarah lahan dan umur karet yang berbeda menunjukkan bahwa inokulum ektomikoriza tetap bertahan hidup di dalam tanah setelah hutan berubah menjadi wanatani karet (bab 5). Identifikasi molekular mikoriza pada bibit S. selanica dan S. Iamellata yang di tanam di wanatani karet mengungkapkan terdapat 5 genus fungi ektomikoriza, yaitu: Tomentella, Pisolithus, Clavulina, Sebacina dan Sistotrema (bab 6). Tidak ada fungi ektomikoriza yang teridentifikasi sebagai S. columnare, yang telah diinokulasikan kepada bibit kedua jenis Shorea di persemaian. Ini mengindikasikan bahwa indigenus fungi ektomikoriza mendominasi bibit dipterokarpa yang ditanam di lapangan, tanpa memperdulikan inokulasi ektomikoriza di persemaian (bab 5).

Tomentella merupakan fungi yang umum dijumpai mengkolonisasi bibit dipterokarpa di persemaian dan pada percobaan in-situ, 1 tahun setelah penanaman bibit di lapangan. Tomentella sp.1 dijumpai di semua percobaan, dan mengindikasikan bahwa jenis tersebut memiliki penyebaran yang luas.

Ekstraksi DNA dari ujung akar dipterokarpa yang bermikoriza dan identifikasi molekular ektomikoriza memberikan perspektif yang sangat berbeda terhadap komunitas fungi ektomikoriza pada dipterokarpa dibandingkan metode lain yang berdasarkan survei dan pengamatan tubuh buah (sporocarp), sehingga melewatkan pengamatan jenis Tomentella. Upaya untuk mengisolasi fungi ektomikoriza ke media kultur (dalam hal ini media Hagem dan MMN) dari akar dipterokarpa tidak berhasil (bab 6), karena fungi ektomikoriza pada umumnya tumbuh lebih lambat dari pada fungi non-ektomikoriza yang mengkolonisasi permukaan akar.


Hubungan antara Keragaman Pohon di atas Permukaan Tanah dan Fungi Ektomikoriza

Pohon-pohon pada suksesi akhir, seperti Dipterocarpaceae dan Fagaceae, dan beberapa jenis Gnetaceae, diketahui berasosiasi dengan fungi ektomikoriza. Ketiga suku pohon tersebut terdapat di wanatani karet dengan kelimpahan yang rendah (bab 2). Dipterocarpaceae memiliki hubungan inang-spesifik terhadap fungi ektomikoriza (Yasman, 1995; Priadjati, 2002). Pohon inang ektomikoriza fungi memiliki peran penting sebagai ’pohon-ibu’ bagi anakan, karena banyak benih Dipterocarpaceae berkecambah dan tumbuh di dekat zona perakaran ’pohon-ibu’ (Yasman, 1995). Hal ini menunjukkan pentingnya jejaring mikoriza dalam tanah bagi regenerasi tanaman. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa kurangnya pohon yang berasosiasi dengan fungi ektomikoriza di wanatani karet dan di lahan bukan hutan tidak menunjukkan hilangnya inokulum ektomikoriza dalam tanah di ekosistem tersebut.

Hubungan mendasar antara keragaman jenis pohon (di atas permukaan tanah) dengan keragaman jenis biota di bawah permukaan tanah (termasuk mikroba, makro- dan mikrofauna) dipengaruhi oleh aspek kualitas perakaran, keseimbangan air dan iklim mikro. Demikian pula sebaliknya, keragaman jenis di bawah permukaan tanah mempengaruhi pertumbuhan tanaman dengan meningkatkan efisiensi penyerapan unsur hara dan perlindungan terhadap penyakit akar dan pemakan akar (van Noordwijk and Swift, 1999; Hooper et al., 2000). Awal hubungan antara akar dan fungi dimediasi oleh eksudat akar yang dihasilkan oleh berbagai jenis tanaman, yang menginduksi mikroba simbion, seperti mikoriza dan fungi endofit, untuk mengkolonisasi akar (Bais et al., 2006). Penggunaan tanaman inang, seperti S. lamellata dan S. selanica, sebagai ’umpan’ bagi potensial inokulum ektomikoriza fungi dalam tanah selain tanah dari hutan menunjukkan kemampuan kolonisasi ektomikoriza pada bibit Shorea yang sebanding dengan potensial inokulum mikoriza yang terdapat pada tanah hutan (bab 3).

Kernaghan (2005) menyatakan bahwa keragaman tanaman berhubungan positif dengan keragaman jenis fungi ektomikoriza, dan memiliki mekanisme umpan balik yang positif. Penelitian kami di rumah kaca menggunakan 5 jenis dipterokarpa yang didasarkan pada pola ’restriction fragment length polymorphism’ (RFLP), menunjukkan bahwa komunitas ektomikoriza pada dipterokarpa menghasilkan keragaman jenis yang lebih rendah dibandingkan dengan percobaan ’in-situ’, dengan penanaman 2 jenis bibit Shorea di lapangan (bab 6). Dengan penanaman bibit Shorea di wanatani karet dapat memulihkan jejaring mikoriza dalam tanah di lahan tak berhutan (bab 5). Sýkorová et al. (2007) menyimpulkan bahwa bias perbedaan sistem kultivasi (penanaman) antara persemaian dan penanaman di lapangan menghasilkan perbedaan keragaman fungi arbuskular mikoriza (FAM) pada empat jenis tanaman yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh terjadinya suksesi komunitas FAM terjadi pada tahap persemaian. Suksesi fungi ektomikoriza juga dilaporkan terjadi pada suksesi primer setelah bencana alam, seperti kebakaran hutan (Visser, 1995).

Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa rendahnya keragaman jenis vegetasi di padang ilalang (Imperata cylindrica), dibandingkan dengan wanatani karet dan hutan), tidak menyebabkan kehilangan fungsi ekosistem yang parah, terutama inokulum simbion fungi. Kesimpulan ini berpotensi menyumbang nilai penting bagi upaya reboisasi hutan dan rehabilitasi lahan dengan jenis-jenis Dipterocarpaceae atau jenis-jenis pohon cepat tumbuh lain yang berasosiasi dengan fungi ektomikoriza, seperti Acacia dan Eucalyptus.



Implikasi Praktis terhadap Pengelolaan Hutan secara Lestari di Indonesia

Ketika penelitian ini sedang dilakukan, pernyataan yang mendasari penalaran restorasi hutan alam setelah pembalakan melalui pengayaan jenis seolah menjadi cerita fiksi. Akibat penebangan liar, hutan dan termasuk plot-plot penelitian di dalamnya lenyap dalam seketika, walaupun kawasan hutan telah dilindungi di sepanjang jalan logging dan perlindungan yang ketat dari petugas keamanan, polisi, dan penguasa lokal (yang bertindak sebagai makelar). Petugas penanggung jawab kehutanan yang ingin melindungi restorasi hutan tidak mampu mengontrol keadaan. Salah satu pemicu pembalakan liar adalah meningkatnya kelangkaan kayu untuk konsumsi penduduk lokal di Indonesia, terutama di Sumatra, karena berkurangnya produksi kayu dari hutan alam dan hutan tanaman.

Salah satu alternatif untuk merestorasi hutan adalah penanaman pohon oleh petani di lahan mereka yang dapat mereka kelola sendiri untuk dipanen kayunya di masa depan. Namun penanaman jenis-jenis Dipterocarpaceae di wanatani karet menghadapi beberapa tantangan (van Noordwijk et al., 2004; Tata et al., 2008a). Peraturan yang berlaku tidak mendukung penebangan dan pemasaran kayu yang ditanam petani penggarap di lahan mereka. Hal ini menyurutkan minat petani untuk menanam kayu dari jenis-jenis dipterokarpa (Tomich dan Lewis, 2001; Suyanto et al., 2004).

Meski beberapa petunjuk tenis mengenai penanaman dipterokarpa telah diterbitkan pada skala nasional (Anonymous, 2004; Santoso et al., 2006; Tata et al., 2008b), petani karet masih memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai penanaman jenis-jenis Dipterocarpaceae. Mereka juga memiliki akses yang terbatas untuk mendapatkan benih dan bibit jenis pohon kayu (Tata et al., 2008a). Jika petani berkeinginan untuk menanam dan mengelola pohon kayu, sebaiknya menerapkan teknologi persemaian yang sederhana, dan tiap tahap hendaknya dijelaskan secara rinci. Dengan metode yang tersedia, penelitian lanjutan sebaiknya difokuskan pada pendugaan pertumbuhan, pengukuran biomasa serta kesesuaian ukuran dan bentuk celah (gap) untuk pengayaan jenis di kebun karet dengan pohon dipterokarpa.

Kesimpulan singkat dari tesis ini adalah biologi tanah tidak menjadi kendala dalam usaha pengayaan jenis dengan jenis-jenis Dipterocarapceae di Sumatra, Indonesia. Saran yang dapat disampaikan untuk keberhasilan pengayaan jenis dengan meranti di kebun karet adalah dengan mempertimbangkan aspek teknis dan aspek non teknis. Aspek teknis meliputi teknik silvikultur seperti jarak tanam, waktu penanaman meranti dan karet, serta sistem pemanenan kayu. Aspek non-teknis meliputi regulasi dan perundang-undangan yang mendukung pemanenan dan pemasaran kayu yang diproduksi oleh petani penggarap di kebun karet.[]

Dikutip utuh dari bagian "Rangkuman dalam Bahasa Indonesia", hlm. 109-113.

_____________________

Made Hesti Lestari Tata, “Mycorrhizae on Dipterocarps in Rubber Agroforests (RAF) in Sumatra”, Ph.D-thesis, University of Utrecht, 2008.

Full-text is available here.

0 komentar: