Juli 19, 2014

Ekonomi Rakyat versus Konservasi Sumber Daya Alam


“... Lampu nyalo rimbo tajago, lampunyo terang rimbo jangan ditebang ....”

PEMBANGUNAN EKONOMI sering dipertentangkan dengan konservasi sumber daya alam. Bahkan ada yang mengatakan konservasi sumber daya alam dapat menghambat pembangunan ekonomi atau memiskinkan masyarakat.

Tahun 1990 WWF-Indonesia Programme menjajaki kemungkinan memadukan konservasi dengan pengembangan ekonomi rakyat di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat. Awalnya, WWF membantu pengembangan pengelolaan home stay bagi wisatawan asing/lokal pada beberapa rumah masyarakat di Desa Kersik Tuo Kab. Kerinci, berhadapan dengan pintu gerbang pendakian ke Gunung Kerinci serta lokasi transit menuju Danau Gunung Tujuh. Dilakukan pula pelatihan pemandu wisata untuk bisnis ekowisata. Hingga kini, ekowisata berbasis masyarakat masih berlangsung. Desa itu bahkan menjadi simpul ekowisata TNKS di Kabupaten Kerinci. Masyarakat mendapat manfaat langsung. Selain itu, WWF juga mengembangkan sejumlah inisiatif ketika melaksanakan ICDP-TNKS, antara lain lewat:

Program Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Sakti Alam Serampas di Desa Rantau Kermas, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi memiliki slogan lampu nyalo rimbo tajago, lampu nyo terang rimbo jangan ditebang (lampu menyala hutan terjaga, supaya menyala hutan jangan ditebang). Sampai sekarang PLTMH ini masih berfungsi dan menjadi penopang pengembangan ekonomi produktif masyarakat.

Di Jurong Koto Lamo, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tatanan Kerapatan Adat Nagari (KAN) Lakitan sangat ampuh memerangi pembalakan haram di TNKS. Masyarakat secara konsisten melaksanakan Kesepakatan Konservasi Desa (KKD) yang disepakati, apalagi ada pengalaman banjir bandang Sungai Lakitan yang membelah desa mereka, sehingga menyebabkan kerusakan sarana desa, perumahan, dan persawahan.

Di Jurong Sungai Aro, Kabupaten Solok, saat itu, satu usulan Hibah Konservasi Desa (HKD) adalah penggemukan sapi. Warga perambah hutan disepakati memperoleh bantuan sapi pada perguliran pertama. Saat itu 54 keluarga mendapat giliran pertama. Mereka satu persatu meninggalkan ladangnya di TNKS, memulai penggemukan sapi di pekarangan. Mereka juga menanami lahan yang dulu terlantar dengan rumput gajah untuk pakan sapi.

Di Desa Katenong, Kabupeten Rejang Lebong, Bengkulu, yang berbatasan dengan TNKS, mayoritas penduduk berkebun kopi. Tak heran, hampir semua rumah di desa ini menawarkan kopi hangat apabila kita bertandang. Dalam ICDP, desa ini mendapatkan HKD untuk koperasi desa bagi pengadaan sarana produksi pertanian dan simpan-pinjam. Syarat utama anggota koperasi ini adalah tidak merambah/memiliki kebun di dalam TNKS. Banyak yang lalu meninggalkan kebun mereka di TNKS untuk menjadi anggota koperasi. Kopi adalah penggerak utama ekonomi rakyat di sana. Masyarakat memerlukan air untuk memutar kincir yang menggerakkan penggiling kopi, Mereka sadar, untuk kelangsungan sumber air tersebut diperlukan hutan yang lestari untuk terus memutar roda penggiling kopi.[]

______________________

Dudi Rufendi, “Ekonomi Rakyat versus Konservasi Sumber Daya Alam”, Cristina Eghenter, M. Hermayani Putera, Israr Ardiansyah (eds.), Masyarakat dan Konservasi: 50 Kisah yang Menginspirasi dari WWF untuk Indonesia, (WWF-Indonesia, 2012): 12-13.

Buku utuh dapat diunduh di sini.

0 komentar: