Agustus 04, 2014

Warsi Raih Penghargaan Kalpataru


22 Tahun Dampingi Suku Rimba di Jambi, LSM Lingkungan ini Raih Kalpataru

Pekanbaru - LSM WARSI (Warung Infomasi) di Jambi meraih penghargaan Kalpataru. Penghargaan ini diberikan atas usahanya selama 22 tahun mengabdi di bidang lingkungan.

Penyerahan piagam diberikan Wakil Presiden Boediono di Istana Wapres, Kamis (5/6/2014) di Jakarta. Penghargaan untuk kategori Pembina Lingkungan itu diterima Direktur KKI WARSI Diki Kurniawan.

WARSI berdiri sejak 1992. Mereka konsen di bidang lingkungan dan hak suku terasing. Diki Kurniawan menyebut, selama puluhan tahun masyarakat hanya menjadi penonton atas eksploitasi sumber daya hutan di sekitar mereka.

"Tidak ada pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Padahal masyarakat jauh sebelum adanya negara ini juga sebelum hadirnya korporasi yang dilegalisasi negara melalui izin-izin yang sah, sudah hidup harmonis berdampingan dengan hutan," papar Diki.

Masyarakat menilai hutan bukan cuma kayu, tetapi satu kesatuan yang saling mendukung dan memberi multi manfaat. Dari sektor ekonomi, sosial budaya, hingga religi.

"Dari hutan masyarakat mendapatkan hasil ekonomis melalui hasil hutan non kayu seperti rotan, damar, madu dan lainnya. Dari hutan Orang Rimba menjalin ritual-ritual dengan Sang Pencipta sesuai dengan keyakinan Orang Rimba," sebutnya.

Hubungan masyarakat dengan hutan ini nyaris terputus akibat pengkotak-kotakan hutan untuk HPH, HTI, sawit, transmigrasi, dan pertambangan. Aturan-aturan lokal dalam mengelola sumber daya alam tidak melibatkan masyarakat sama sekali. Padahal dampak eksploitasi dari pengkotakkan hutan ini, menyentuh langsung kehidupan masyarakat.

"Untuk itulah, kami memperjuangkan masyarakat bisa terlibat," kata Diki.

Setelah berpuluh tahun, kini muncul pengakuan hak kelola rakyat, berupa hutan adat lebih dari 9 ribu hektare dan hutan desa seluas 45 ribu hektare. Juga adanya pengakuan kawasan hidup Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas, seluas 60.500 hektare.

"Dari segi luasan memang masih kecil, tetapi ini perlu kita apresiasi dan kita tingkatkan lagi,"sebut Diki.

Pengembangan hak kelola rakyat juga dikembangkan di kawasan gambut. Sebab, saat ini kondisi gambut Jambi tergolong kritis. "Pengelolaan gambut menyebabkan Jambi kehilangan stok karbon," sebutnya.

Ke depan, lanjut Diki, harus ada perbaikan tata kelola kehutanan dan lahan gambut, sehingga kawasan-kawasan ini terjaga dengan baik. "Dan juga bermanfaat untuk masyarakat luas," tutup Diki.

>> sumber: Detik.com.


22 Tahun Warsi Berjuang Berbuah Kalpataru

Warsi mendorong adanya pengakuan dan legalisasi masyarakat mengelola hutan.

Tahun ini, pemerintah memberikan penghargaan Kalpataru kepada 13 orang atau kelompok. Penghargaan kategori Perintis Lingkungan diberikan kepada Mahmud Sukirno dari Desa Toapaya Utara, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau; Rusli dari Desa Paluh Kurau, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara; Zulkifli dari perkumpulan Bonjol Nagari Koto Kaciak, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat; serta Ipin dari Desa Simajaya, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Kategori Pengabdi Lingkungan diterima Amrul Sadik Daga dari Kelurahan Sangaji Utara, Kota Ternate, Maluku Utara; Aiptu Al-Aswandi dari Nagari Batu Payung, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat; dan Herman Sasia dari Desa Tuva, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Kategori Penyelamat Lingkungan diberikan kepada Lembaga Adat Teratak Air Hitam dari Desa Teratak Air Hitam, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau; Pengelola Hutan Adat (KPHA) Desa Guguk, Kabupaten Merangin, Jambi; Letawa Sahabat Lingkungan dari Desa Makmur Jaya, Mamuju Utara, Sulawesi Barat; serta kelompok Tani Hutan Sadar Sendiri dari Kampung Imbari, Distrik Warsa, Jalan Majapahit Biak, Provinsi Papua.

Sementara itu, untuk kategori Pembina Lingkungan diterima PT Tidar Kerinci Agung, Koto Marapak, Padang Barat, Sumatera Barat; serta Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Kota Jambi, Provinsi Jambi.

Direktur Eksekutif Warsi, Diki Kurniawan mengatakan, penghargaan yang diterima Warsi untuk kategori Pembina Lingkungan ini merupakan apresiasi pemerintah kepada lembaga yang berdiri sejak 1992, dalam upayanya menjamin hak keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam untuk kehidupan kini dan nanti. "Kalpataru ini kami dedikasikan untuk masyarakat yang selama ini sudah berjuang bersama guna menciptakan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan," tutur Diki.

Ia mengungkapkan, hingga kini terdapat sekitar 30.000 desa yang berada dalam dan di sekitar kawasan hutan. Selama puluhan tahun, mereka hanya menjadi penonton atas eksploitasi sumber daya hutan yang ada di sekitarnya.

Tidak ada pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Padahal, masyarakat—jauh sebelum adanya negara ini, juga sebelum hadirnya korporasi yang dilegalisasi negara melalui izin-izin yang sah—sudah hidup harmonis berdampingan dengan hutan.

Masyarakat sekitar menilai, hutan bukan cuma tegakan kayu, melainkan juga satu kesatuan yang saling mendukung dan memberi multimanfaat, mulai sektor ekonomi, sosial budaya, hingga religi yang mendukung kehidupan masyarakat. "Dari hutan masyarakat mendapatkan hasil ekonomis melalui hasil hutan nonkayu, seperti rotan, damar, dan madu. Hutan Orang Rimba (suku Anak Dalam) menjalin ritual-ritual dengan sang pencipta sesuai keyakinan mereka," ujarnya.

Dengan pola ini, menurut Diki, masyarakat membangun hubungan yang selaras dengan alam, dengan kearifan-kearifan yang dimilikinya. Ada pengaturan kawasan, ada kawasan yang diproteksi, ada pula kawasan yang dimanfaatkan baik untuk persawahan, permukiman atau perladangan. Semua ada aturan adatnya, disepakati bersama oleh masyarakat.

Nyaris Terputus

Hubungan masyarakat dengan hutan ini nyaris terputus akibat pengotak-kotakan hutan untuk HPH, HTI, sawit, transmigrasi, dan pertambangan. Aturan-aturan lokal dalam mengelola sumber daya alam tidak melibatkan masyarakat sama sekali dalam pengelolaan hutan. Padahal dari eksploitasi pengotakan hutan ini, dampak negatifnya menyentuh langsung kehidupan masyarakat.

"Masyarakat merupakan pihak yang paling terkena dampak ketika terjadi perubahan di sekitar mereka. Ketika fungsi hutan menimbulkan berbagai dampak ekologis, dampak langsungnya dirasakan masyarakat sekitarnya," ucap Diki.

Untuk itu, Warsi memperjuangkan penyelamatan hutan tersisa dan mendukung masyarakat di sekitar hutan agar bisa terlibat langsung dalam mengelola sumber daya hutan. Pelibatan masyarakat dalam menjaga hutan menjadi sangat penting karena setelah turun-temurun hidup berdampingan dengan hutan, masyarakat sekitar hutan paling tahu cara menjaga sumber daya hutannya.

Warsi mendorong adanya pengakuan dan legalisasi masyarakat mengelola hutan dengan skema-skema yang mungkin, seperti hutan adat, hutan kemasyarakatan, dan hutan desa. Dari perjuangan Warsi selama lebih dari 22 tahun bersama masyarakat itu, muncul pengakuan hak kelola rakyat, berupa hutan adat lebih dari 9.000 hektare dan hutan desa 45.000 hektare. Ada pula pengakuan kawasan hidup suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas, seluas 60.500 hektare.

"Dari segi luasan memang masih kecil, tapi ini perlu diapresiasi dan ditingkatkan lagi. Masyarakat harus dilibatkan mengelola hutannya. Kita harus terus semangat dan menggali dukungan para pihak untuk terus memperluas hak kelola rakyat," tuturnya.

Pengembangan hak kelola rakyat ini juga dikembangkan Warsi di kawasan gambut, mengingat kondisi gambut Jambi yang tergolong kritis akibat pengelolaan gambut yang lebih banyak dilakukan perusahaan dengan memberlakukan kanal-kanal dalam lahan gambut.

Pengelolaan gambut yang seperti itu menyebabkan Jambi kehilangan stok karbon, serta menjadi penyumbang emisi karbon yang merupakan penyebab perubahan iklim.

Untuk itu, ke depan harus ada perbaikan tata kelola kehutanan dan lahan gambut sehingga kawasan-kawasan ini terjaga dengan baik dan memberi manfaat untuk masyarakat luas.

Jadi Duta Bangsa

Menteri Kehutanan (Menhut), Zulkifli Hasan, mengajak para pemenang penghargaan Kalpataru 2014 menjadi duta bangsa dalam menyosialisasikan program pembangunan kehutanan. Ketika menerima 13 pemenang penghargaan di bidang lingkungan hidup itu di Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Jakarta, Jumat (6/6), menhut menyatakan, banyak program di kementerian yang dipimpinnya pro lingkungan. "Mereka adalah pelopor dan pahlawan lingkungan yang menjadi contoh di sekitarnya," tuturnya.

Ia mengharapkan, para pemenang penghargaan Kalpataru itu tidak hanya menjadi contoh di tempat tinggalnya. Namun, mereka bisa lebih luas ke kabupaten bahkan provinsi lain atau sebagai duta bangsa.

Menhut mencontohkan beberapa program di sektor kehutanan yang dapat dilakukan masyarakat, antara lain Kebun Bibit Rakyat (KBR) yang dapat yang memberikan bantuan Rp 50 juta per kelompok untuk mengembangkan pembibitan. Selain itu, ia menambahkan, melalui program hutan kemasyarakatan (Hkm) maupun hutan desa, pemerintah memberikan akses yang luas bagi masyarakat untuk mengelola hutan. "Kami mengutamakan hutan dikelola masyarakat," ucapnya.(Antara)

>> sumber: Sinar Harapan.

0 komentar: