November 05, 2014

Orang Rimba: Catatan Diskusi Interseksi


RABU (29/10), diskusi dwi-bulanan Yayasan Interseksi kembali digelar. Tema diskusi “Social Movement Masyarakat Hunter Gatherer (Orang Rimba) di Jambi” dengan pembicara Adi Prasetijo dari Universitas Sains Malaysia. Selain kolega dan Tim Peneliti Interseksi, hadir juga para aktivis dan peneliti dari sejumlah lembaga, antara lain Agung Prasetio (Bina Swadaya), Adi Nugroho (KSD), R. Elli Komariah (Epistema), Pandu Yuhsina Adaba dan Irine Gayatri Hiraswari (LIPI), Surti Handayani dan Henderina AR (AMAN), serta Kristina Viri (Hivos).

Direktur Yayasan Interseksi, Hikmat Budiman, membuka diskusi dengan terlebih dahulu mengenalkan program penelitian Interseksi. Salah satunya, penulisan buku tentang “Hak Minoritas” yang kurang-lebih memiliki fokus kajian yang mirip dengan tema diskusi kali ini. Menurut Hikmat Budiman, keberadaan masyarakat adat yang sering kali masih dilihat sebagai “masyarakat terasing” perlu mendapat perhatian serius dari negara sehingga mereka memiliki akses yang baik terhadap layanan pemerintah. Salah satu contoh, dalam hal pendidikan. Seharusnya negara yang membuat guru masuk ke dalam hutan, bukan sebaliknya memaksa mereka untuk keluar, karena mereka adalah warga negara Indonesia yang memang berhak mendapat pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah.

Adi Prasetijo menyampaikan presentasinya mengenai “Alternative Strategies and Actions in Social Movement Againts Hegemony by Orang Rimba of Jambi, Sumatra”. Menurut Adi, bahan presentasi ini sebenarnya merupakan modifikasi dari makalah sebelumnya yang pernah ia presentasikan pada IUAES-2014 di The International Conference Hall of Makuhari Messe, Chiba City, Greater Tokyo, pada 15-18 Mei 2014. Naskah ini sebenarnya merupakan intisari dari disertasinya di Universitas Sains Malaysia (2014). Dengan menggunakan metode etnohistori yang mengkaji kajian dan tulisan tentang Orang Rimba serta oral history, kemudian dilanjutkan dengan studi analisa kebijakan yang dilakukan oleh negara terhadap mereka, serta metode etnometodologi, Adi Prasetijo menekankan fokus penelitiannya pada pengalaman dan tindakan Orang Rimba menghadapi hegemoni negara.

Adi Prasetijo sebenarnya telah cukup lama melakukan kajian mengenai Orang Rimba. Sebelumnya, saat Adi melakukan studi S-2 Antropologi di Universitas Indonesia, tesisnya juga mengkaji soal Orang Rimba, hanya saja tesisnya lebih fokus mengenai pola hubungan Orang Rimba dan Melayu Jambi. Menurut Adi, hubungan Orang Rimba dengan etnis Melayu Jambi mempunyai ikatan budaya yang unik. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari ikatan mereka dengan orang Melayu Jambi dan keberadaan Kesultanan Melayu Jambi. Mereka adalah masyarakat ulu dan ilir. Ulu adalah Melayu di pedalaman dan ilir adalah Melayu di pesisir. Selain itu, Adi juga menceritakan sejumlah pengalamannya saat bergabung dengan KKI Warsi, sebuah NGO yang memiliki konsen terhadap advokasi hak-hak masyarakat adat, terutama mendampingi Orang Rimba, sejak 1997. Pengalaman pendampingan bersama Warsi itu, menurut Adi, cukup membantu memberikan tambahan perspektif sekaligus referensi data dalam melakukan analisa.

Menurut Adi, NGO seperti Warsi banyak membantu mereka, terutama dengan cara organisatoris secara terstruktur. Mulai 1998, Warsi mengajukan Taman Nasional Bukit Duabelas, wilayah yang dihuni Orang Rimba, sebagai taman nasional. Walaupun dalam pengertiannya wilayah taman nasional berati tidak boleh ada yang menghuni, Orang Rimba dapat tetap berada di dalam hutan karena itulah identitas mereka yang membedakan dengan suku yang lainnya. Dengan berbagai upaya edukasi ke dalam komunitas tersebut, mulai munculah tokoh-tokoh di dalam komunitas Orang Rimba.

Namun demikian, perubahan orientasi yang melihat dunia dari sebuah sumber daya menjadi sebuah aset membuat Orang Rimba mengalami "displacement". Secara sosial politik, mereka dinamakan Komunitas Adat Terpencil (KAT) atau indigenous people yang mengacu pada komunitas yang memiliki sistem sosial yang rapuh. Gaya hidup yang nomaden diidentikkan dengan bukan gaya hidup yang "normal". Beragam tekanan terhadap KAT muncul di banyak tempat, bahkan hingga ke ranah-ranah privat seperti urusan agama dan keyakinan. Fenomena “pemaksaan” untuk berpindah agama ke dalam agama yang diakui negara, misalnya, menjadi masalah bagi beberapa KAT di sejumlah tempat. Beberapa contoh, Orang Wana di Sulawesi Selatan, Kaharingan di Kalimantan, dan Sunda Wiwitan di Jawa Barat.

Demikian juga dari sisi ekonomi, negara dalam banyak kasus telah membuat KAT mengalami "displacement" sehingga memunculkan masalah-masalah baru, seperti berubahnya pola hidup mereka ketika tinggal secara menetap. Mereka membutuhkan hal-hal untuk bertahan hidup seperti air bersih dan pendapatan tetap.

Karena berbagai persoalan tersebut, sejumlah KAT termasuk Orang Rimba di Jambi terus melakukan perlawanan. Tindakan perlawanan mereka dari yang bersifat simbolik hingga beralih kepada kegiatan yang bersifat "social banditry" yang dipandang negara adalah suatu tindakan kriminal. Beberapa contoh kriminalisasi dan stigmatisasi misalnya menciptakan tabu untuk membentengi mereka, memblokade jalan, mencuri makanan, demonstrasi, dan mengklaim lahan. Hal-hal tersebut ada yang mereka pelajari dari para orang luar seperti tindakan blokade jalan yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit yang memang sudah ada di hutan tempat mereka tinggal. Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa perjuangan dan perlawanan yang dilakukan Orang Rimba sebenarnya sebagai upaya dehegemonisasi untuk mempertahankan identitas mereka, baik dari hegemoni negara maupun saat mereka harus berhadapan dengan pihak-pihak perusahaan di dalam kawasan cagar alam di Jambi.

Diskusi menjadi sangat menarik karena ada sejumlah informasi dan pengalaman lain sebagai masukan sekaligus menjadi pembanding. Aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Surti Handayani, misalnya menambahkan bahwa Suku Anak Dalam banyak yang enggan untuk belajar baca-tulis karena lebih memilih cara yang instan seperti berkebun dan menjadi pengemis. Hal ini disebabkan jika mereka mengalami "resettlement", mereka harus memenuhi kebutuhan hidup mereka di luar hutan yang sudah telanjur menjadi sandaran hidupnya. Ketika berbicara tentang hak, anehnya, dalam wilayah mereka yang merupakan taman nasional ada pengeboran minyak, sawit, dan karet. Karena itu, menurut Surti, hal ini menjadi sangat ironis dan sangat tidak adil ketika negara mengatakan wilayah itu adalah taman nasional tetapi memberi izin pada pengusaha.


Hal senada juga diungkapkan Pandu Yuhsina dan Irine Gayatri dari LIPI. Ironi dan potret ketidakadilan yang banyak dijumpai di wilayah KAT lebih menyedihkan lagi bila ditinjau dari perspektif HAM. Sementara itu, Kristina Viri menyoroti keberadaan KAT dalam hubungannya dengan peluang dari adanya UU Desa, apakah peran masyarakat adat dapat terakomodasi karena mengakui desa sehingga dapat mengelola desanya sendiri dengan segala kearifan lokal yang dimilikinya?

Adi Prasetijo merasa pesimis, karena keberadaan UU Desa sebenarnya masih sangat problematis. Menurut Adi, terkait keberadaan UU Desa, saat ini hanya didengungkan masalah nominal uangnya, seperti "1 desa, 1 milyar". Hal itu bisa berbahaya karena akan menjadi bom waktu yang memunculkan konflik baru antara warga desa dan komunitas adat. Sementara itu, mengenai konflik masyarakat adat dengan perusahaan yang kini sudah mulai merambah ke wilayah adat juga kian hari kian meninggi intensitasnya. Bahkan, belakangan konflik seputar ini telah menjelma menjadi aksi brutal hingga menimbulkan pembunuhan. Padahal, dari oral history mereka, meskipun banyak diwarnai konflik baik dengan orang luar maupun konflik antarkelompok mereka, sejauh ini mereka tidak pernah melakukan kekerasan.

Orang Rimba, sebagaimana komunitas adat lainnya, memang menarik untuk dikaji, terutama dalam kaitannya dengan hak-hak kewargaannya yang kian hari kian terancam. Ancaman bagi kepunahan masyarakat adat memang bisa datang dari ragam faktor, baik karena kekerasan yang dilakukan negara, korporasi, maupun karena aspek internal mereka sendiri. Dalam konteks hukum dan kewarganegaraan, negara harus mampu melindungi komunitas adat sebagai warga negara. Apa pun yang mereka lakukan harus dilindungi, seperti ketika mereka ingin diserang oleh kelompok preman bayaran dari perusahaan. Meskipun begitu, negara memang tidak dapat menjamin kelestarian masyarakat adat, apalagi menjadikannya semacam “museum”, karena hal itu menjadi hak dari komunitas adat itu sendiri, apakan nanti mau berubah atau terus mempertahankan keaslian kultur mereka.[]

____________

Catatan ini ditulis oleh Stephanie Djohar dan dimuat pertama kali di laman The Interseksi Foundation. Pemuatan-ulang telah mendapatkan izin.

0 komentar: