Mei 21, 2015

Belajar dari Bungo: Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi


SUMBER DAYA alam Indonesia, yang oleh Koes Plus diabadikan dalam lirik lagu “Kolam Susu”, kini menampakkan potret sebaliknya. Greenpeace, organisasi lingkungan nonpemerintah, mencatat 2 persen hutan di Indonesia dirusak setiap tahun. Itu sama dengan 1,8 juta hektar per tahun atau 51 km2 setiap hari, setara dengan luas 300 lapangan sepak bola setiap jam (Kompas, 20/3/2007). Tak syak lagi, Guinness Book of World Records yang diterbitkan pada September 2007 memberi julukan “the world champion in deforestation” untuk Indonesia.

Penyebab deforestasi itu antara lain konversi areal hutan dan pemanfaatan hutan yang mengabaikan kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari, rendahnya kesadaran dan tanggung jawab pengusaha hutan dalam melaksanakan kegiatannya, lemahnya pengawasan dan pemantauan oleh pemerintah, rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, sempitnya peluang kerja pada sektor lain, dan kaburnya tata batas kawasan hutan yang kerap menyulut konflik horizontal.

Keadaan demikian juga tergambarkan di Provinsi Jambi. Berdasarkan kajian citra landsat yang dilakukan KKI Warsi dan Birdlife, dalam kurun waktu sepuluh tahun dari 1990 sampai 2000, tercatat satu juta hektar hutan hilang, dari 2,4 juta hektar menjadi 1,4 juta hektar (Taher, 2005). Di samping itu, banyak hutan alam yang perizinan definitifnya dikeluarkan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) tanpa sepengetahuan sejumlah pemangku kepentingan hutan. Ambil misal, pada 2013 ada tiga lokasi hutan alam telah beralih fungsi untuk tanaman industri akasia, pertukangan, dan karet. Akibat peralihan hutan alam tersebut, masyarakat setempat tidak bisa lagi bertanam padi sawah untuk melanjutkan kehidupan mereka.

Di tengah buruknya sistem kehutanan Indonesia saat ini, relevan bila kita merujuk buku yang bertajuk Belajar dari Bungo: Mengelola Sumber Daya Alam di Era Desentralisasi. Hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Center for International Forestry Research (CIFOR, 2008) ini menggambarkan secara utuh bagaimana Kabupaten Bungo menerapkan kebijakan desentralisasi serta dampaknya terhadap pengelolaan sumber daya alam.

Buku ini mengangkat berbagai topik yang kaya perspektif, seperti “Potret Sumber Daya Kabupaten Bungo”, “Potensi Ekonomi Berbasis Lingkungan”, dan “Dari Konflik ke Aksi Kolektif dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam”. Melalui catatan singkat ini, saya hanya membentangkan “Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Desa Batu Kerbau”. Desa Batu Kerbau secara geografis berjarak sekitar 80 km dari ibu kota Kabupaten Bungo.

Pilihan tersebut bukan tanpa alasan. Tidak bisa dimungkiri bahwa masyarakat adat di Nusantara, sebagaimana juga di Desa Batu Kerbau dan beberapa desa lainnya di Kabupaten Bungo, umumnya tinggal dan berada di dalam maupun di sekitar hutan. Mereka telah melakukan pengelolaan hutan sejak ratusan tahun lalu secara turun-temurun.

Hal itu dapat diketahui melalui undang-undang adat dan falsafah adat, yang salah satunya mengatur tentang pemanfaatan hutan: “Ke darat berbunga kayu, ke air berbungo pasir.” Artinya, apabila anak negeri menebang kayu, mengambil rotan, damar, dan jelutung di hutan, mengambil pasir atau batu, serta membuat biduk (perahu) dengan tujuan untuk dijual, harus membayar pancung alas (retribusi) kepada adat. Sedangkan kalau digunakan untuk keperluan sendiri, bebas pancung alas atau tidak dikenai retribusi dan cukup mendapat persetujuan pemimpin adat.

Sementara ketentuan mempertahankan sempadan sungai, larangan menebang pohon sialang tempat bersarangnya lebah penghasil madu, menebang pohon yang sedang berbunga dan berbuah, menebang pohon yang tumbuh di daerah lereng atau curam, dan menetapkan beberapa kawasan menjadi hutan larangan, merupakan beberapa bentuk aturan pengelolaan hutan yang diwarisi dari nenek moyang masyarakat Batu Kerbau.

Tidak hanya itu, bentuk lain dari pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal adalah lubuk larang, yang banyak dijumpai di desa-desa sepanjang hulu Batang Pelepat dan Batang Bungo, seperti tersebar di lima desa, yaitu Batu Kerbau, Batu Pelepat, Rantel, Balai Jaya, dan Rantau Keloyang.

Lubuk larang merupakan tradisi masyarakat di sekitar sungai dalam memenuhi kebutuhan hidup. Paling tidak ada dua nilai penting terkait dengannya. Pertama, kemampuan warga mengembangkan konsep penguasaan sumber daya alam (sungai). Semula dipahami sebagai sumber daya yang bisa diakses secara bebas oleh siapa pun menjadi sumber daya yang dimiliki secara komunal. Kedua, dengan mengelola lubuk larang, masyarakat desa mampu menanam dan mengembangkan investasi modal sosial (social capital) dalam pengelolaan sumber daya milik bersama, seperti untuk penguatan kegiatan ekonomi dan pendidikan warga.

Akan tetapi, penerapan aturan dan mekanisme adat di Desa Batu Kerbau itu hanya bisa bertahan sampai 1970-an, tepatnya sebelum terjadi perubahan pemerintahan dari pasirah menjadi desa—sebagai amanat UU No. 5/1975 tentang Pemerintahan Desa—dan sebelum beroperasinya beberapa perusahaan yang mendapatkan hak pengusahaan hutan (HPH).

Sejak itulah akses masyarakat ke hutan sangat sulit. Hampir semua lahan dan hutan diberikan negara kepada perusahaan. Masyarakat pun dilarang memasuki kawasan hutan baik untuk mencari hasil hutan nonkayu maupun membuka lahan. Pada saat bersamaan, setelah krisis ekonomi merambat sampai ke desa, harga barang melambung tinggi. Kemarau panjang membuat hasil panen padi sebagai salah satu sumber makanan tidak lagi mencukupi. Aturan adat tentang pemanfaatan hutan secara arif sudah tumpul. Itulah masa paling sulit bagi masyarakat Desa Batu Kerbau.


Pasca Reformasi

Setelah kepergian HPH dari Desa Batu Kerbau, yang berbarengan dengan bergulirnya reformasi, masyarakat adat Desa Batu Kerbau kembali mengobarkan semangat dan tekad mempertahankan beberapa kawasan hutan menjadi hutan adat dan hutan lindung.

Berkat kesungguhan masyarakat Desa Batu Kerbau, disertai bantuan banyak pihak, terutama Pemerintah Kabupaten dan lembaga swadaya masyarakat, berbagai upaya seperti pembentukan piagam kesepakatan sebagai aturan pengelolaan, pemetaan partisipatif sebagai penegasan hak kelola, pembentukan kelompok pengelola hutan adat sebagai lembaga perwalian, serta munculnya dukungan dari desa-desa tetangga, akhirnya berbuah manis, yaitu terbitnya Surat Keputusan Bupati Nomor 1249 tanggal 16 Juli 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Batu Kerbau.

Gayung pun bersambut. Sembilan tahun setelahnya, SK Bupati sebagai pilihan yang paling tepat saat itu (2002) sejalan dengan putusan tentang hutan adat oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Perkara Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, yakni masyarakat adat sebagai bagian dari bangsa Indonesia memiliki hak konstitusional atas wilayah adatnya. Melalui Putusan MK 35 itu dan dengan terbitnya Undang-Undang Desa No. 6 tahun 2014 tentang Desa, diharapkan akan lahir berbagai inisiatif yang melindungi dan mengakui hak-hak kesatuan masyarakat adat terhadap wilayah adatnya.

Memaknai perjuangan yang dilakukan masyarakat Desa Batu Kerbau, terutama usahanya menghindari kekhawatiran Garret Hardin akan ketidakbahagiaan akibat kekejaman/kerakusan untuk merebut sumber daya alam bersama (Tragedy of the Commons, 1968), maka relevan bagi kita merenungkan kembali apa yang diungkapkan Fritjof Capra, “Manusia tak bisa bertahan hidup kalau tidak mampu memelihara harmoni dan jejaring kehidupan, termasuk dengan lingkungan alamnya” (The Web of Life, 1996).[]

_____________

Hasantoha Adnan, Djuhendi Tadjudin, E. Linda Yuliani, Heru Komarudin, Dicky Lopulalan, Yuliana L. Siagian, dan Dani Wahyu Munggoro (eds.), Belajar dari Bungo: Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi, (Bogor: CIFOR, 2008).

Ulasan ini ditulis Jumardi Putra. Versi awal terbit dalam rubrik "Pustaka Jambi" di harian Jambi Independent, 21 Mei 2015, dengan judul "Belajar dari Batu Kerbau".

0 komentar: