Juni 01, 2015

Kembali ke Kerinci


BERJALAN KEMBALI ke Kerinci selalu membangkitkan kegairahan. Betapa tidak? Karena memang balik ke kampung sendiri sebagai semendo atau, menurut istilah Kerinci, anak betino, bersama isteri anak dan cucu. Tapi sayang cuma sebentar. Sekarang setelah perkunjungan singkat ini, saya berusaha untuk menyusun pikiran mengenai apa yang saya perhatikan dan bagaimana kesimpulan-kesimpulan sementara mengenai perkembangan mutakhir di Kerinci.

Sebenarnya sudah tiga tahun saya tidak pulang, tetapi tetap mengikuti berita tentang kejadian-kejadian di sana dari bulan ke bulan. Tambah pula, di sini di Bandung, saya sekali-sekali menghadiri pertemuan MPK (Masyarakat Peduli Kerinci) dan HKK (Himpunan Keluarga Kerinci). Tetapi menyaksikan dengan mata sendiri, terutama mata seorang antropolog yang telah dididik dan dilatih untuk mengamati dengan seksama, jauh lebih berarti dari berita yang didengar.

Tiap kali pulang saya terus mengingat keadaan pertama kali pergi ke Kerinci pada ujung 1972. Ketika itu cuma ada satu jalan masuk Kerinci, yakni dari Padang, menelusuri jalan pesisir, lewat Indrapura dan Tapan. Perjalanan yang makan waktu kira-kira 17 jam. Tentu saja banyak perubahan sejak zaman itu, tetapi saya tidak mau berkecimpung dalam rasa nostalgia. Mungkin pada lain waktu saya dapat menceritakan pengalaman zaman dulu. Sekarang saya ingin membagi beberapa kesan dari apa yang saya pantau.

Yang tentu mengharukan ialah kenyataan bahwa banyak teman lama tidak ada lagi, sudah mendahulu. Banyak di antara mereka umurnya tidak begitu tua tetapi riwayatnya begitu singkat dan dalam kunjungan ke keluarganya kami menyampaikan rasa belasungkawa, dan mengingat suasana 40 tahun lalu kala kami sama-sama bersemangat anak muda, berdebat dan bekerja keras untuk mencapai cita-cita.

Rasa sedih mengenang kawan-kawan lama ini diimbangi oleh kegembiraan berjumpa dengan perempuan-perempuan setengah baya yang sudah berkeluarga, yang menjadi teman main anak kami sekian tahun lalu. Bergembira melihat anak kami bergaul lagi dengan mereka dan ketawa-ketawa mengingat kenakalan mereka dulu lari sini sana.

Tetapi pengalaman ini bersifat pribadi dan pembaca mungkin lebih tertarik pada renungan mengenai perubahan dan pembangunan di Kerinci. Baiklah, coba saya uraikan beberapa tanggapan sepintas lalu. Pertama, jalan. Sekarang dari Padang ke Kerinci orang lewat Muara Labuh bukan lagi Pesisir Selatan. Jalan ditempuh dalam 9 jam, lumayan. Tetapi mengapa jalan Pesisir Selatam tidak diurus untuk memperlancar perdagangan dari Kerinci Tengah dan Kerinci Selatan (Lempur) ke pantai barat?

Saya diberitahu bahwa dalam rute ini jalan provinsi dari Sungai Penuh ke Merangin yang bertanggung jawab Pemprov Jambi sangat jelek sehingga susah dilewati. Keluhan ini sudah saya dengar bertahun-tahun. Mengapa kok pemda seolah-olah bersikap cuek? Lebih lagi mengapa daripada memperbaiki dan merawat terus-terusan jalan yang penting ini, pemda malah memikirkan jalan melintasi hutan di Kerinci selatan yang bakal menghancurkan Kerinci?

Dari segi ekonomi, nampaknya Kerinci sedang berkembang. Tidak jelas dari mana datangnya uang, tetapi banyak orang punya mobil, punya motor, punya Hp canggih, dan punya rumah permanen bagus. Apa ini berarti bahwa rakyat Kerinci makmur? Dari satu segi ya, tetapi yang harus diperhatikan ialah kemakmuran tidak merata, dan jurang antara rakyat miskin dan rakyat kaya makin menganga, satu gejala yang lumrah di Indonesia, menurut pakar ekonomi.

Di daerah perladangan sebelah mudik dari Sungai Penuh kita melihat rumah-rumah yang mewah sekali, tinggi, megah. Tetapi tidak jauh dari sana ada rumah ladang kecil, gubuk, di mana tinggal satu keluarga yang tidak punya apa-apa. Syukur program pemda baru, Samisake (satu miliar satu kecamatan) sedang berprihatin pada mereka, dan dari apa yang saya dengar program ini disambut dengan baik.

Tetapi lepas dari makin melebarnya jurang antara kaya miskin, pada umumnya Kerinci boleh disebut makmur. Satu contoh yang dapat membantu kita mengukur ialah kenyataan bahwa upah buruh di Kerinci kira-kira Rp 75.000 sehari. Bandingkan dengan upah di Jawa Barat, sekitar Rp 40,000. Mahalnya upah angkut mengakibatkan semen di Kerinci jauh lebih mahal daripada semen di Bandung, walaupun sama-sama berasal dari Semen Padang.

Usaha pariwisata di Kerinci nampaknya tak maju-maju. Sudah 30 tahun orang menyatakan potensi pariwisata di Kerinci sangat menjanjikan, tetapi selama 30 tahun tidak ada satu usaha realistis yang direncanakan – Festival Danau Kerinci beberapa tahun silam hanya berfoya-foya duit saja. Keluhan selalu itu-itu saja: bagaimana kita dapat menarik pariwisata ke Kerinci selama sarana dan prasarana tidak ada, selama jalan ke Kerinci rusak-rusak terus, selama hotel-hotel bagus tidak ada? Tetapi mengapa kok semuanya harus tergantung kepada pemerintah, mengapa tidak ada ikhtiar dari pihak swasta untuk berbuat sesuatu? Kami tahu di Bandung ada orang Kerinci yang sangat berhasil dalam dunia perhotelan, yang tiap minggu menerima pariwisata yang berbondong-bondong dari Malaysia dan Singapura serta banyak berpengalaman dalam menjalin hubungan dengan agen-agen turis di sana.

Mengapa kita tidak bisa memanfaatkan pengalamannya untuk bekerja secara wirausaha –lepas dari pemerintah– untuk menawarkan paket pariwisata khusus bagi pelancong yang sering ke Bukittinggi dan Danau SingKarak yang bakal tertarik kalau ditawarkan satu pengalaman yang lain dari yang lain. Barangkali tidak senyaman dengan perkunjungan ke Sumbar tetapi jauh lebih mempesonakan. Semoga kawan kita wiraswasta di Bandung bersedia mengerjakan satu "feasibility study" (kajian atas satu proyek dengan tujuan melihat kelemahan dan kekuatan pelaksanaaan proyek tersebut). Barangkali mahasiswa dari lembaga di mana saya mengajar dapat menolong.

Kesan terakhir yang mau saya sebut di sini ialah kesan yang paling mendalam dan paling menyedihkan, menyangkut dunia politik di Kerinci. Tentu saja pokok pembicaraan yang hangat selama kami di Kerinci ialah hasil dari pemilu kemarin: siapa menang, siapa kalah dan apa sebabnya. Masing-masing mempunyai pendapat sendiri. Akan tetapi yang selalu saya dengar ialah bahwa politik di Kerinci sekali ini amat tercemar dengan money politics.

Memang dari dulu pembelian suara rakyat sudah lumrah, tetapi tahun ini nampaknya luar biasa melebihi pemilu-pemilu yang sudah. Kalau dulu orang membeli suara dengan Rp 100,000, sekarang mereka berani mengeluarkan Rp 250,000. Sedihnya, kok rakyat Kerinci yang saya hargai selama ini sebagai rakyat petani yang jujur dan menjunjung tinggi nilai-nilai moril, nampaknya bersedia menjual suara tanpa malu-malu. Pernah saya mendengar alasan bahwa mereka terpaksa berbuat begitu karena mereka hidup Senin-Kamis dan uang bagi mereka sangat dibutuhkan. Omong kosong, rakyat tidak begitu miskin –berbeda sekali dari petani-petani di NTT misalnya– dan uang yang mereka peroleh cuma tambahan. Berarti bahwa rakyat Kerinci bersedia menjual harga diri dan masa depan pembangunan di Kerinci hanya untuk Rp 250.000 saja. Akibatnya kita melihat misalnya bagaimana calon yang sudah ketahuan terlibat kasus selama mereka anggota DPR Kabupaten 2005-2009, toh masih diplih oleh rakyat untuk calon DPRD. Mendengar cerita-cerita semacam ini saya hanya dapat menggelengkan kepala. Semoga untuk masa depan LSM-LSM yang bertujuan menyebarkan pendidikan demokrasi kepada masyarakat mulai bergerak sekarang -jangan tunggu lima tahun menjelang pemilu akan datang- supaya keadaan ini tidak berulang, atau sekurang-kurangnya tidak separah sekarang.

Bagi pembaca mungkin ada kesan saya terlalu mengecam rakyat, tetapi sebenarnya yang saya paling kutuk ialah pemimpin-pemimpin yang melecehan rakyat. Demikian saya mau menutup tulisan ini dengan menyoroti, sebagai contoh, salah satu kebijakan pemda selama ini, yang sama sekali tidak masuk di akal dan sangat merugikan rakyat Kerinci, yaitu rencana memindahkan kantor Bupati dari Sungai Penuh di tengah Kerinci ke Siulak di Kerinci utara. Tidak ada alasan sama sekali untuk membenarkan kebijakan ini. Di Bandung ada kantor walikota, kantor bupati dan kantor gubernur. Apa salahnya kantor bupati dan kantor walikota berbarengan di Sungai Penuh? Saya masih ingat waktu kantor bupati baru didirikan (sekitar tahun 1982 kalau tidak salah) di Bukit Setiong dekat rumah sakit. Tempatnya bagus cara penyusunan bangunan-bangunan kantor dinas sangat strategis dan efektif. Dan tiap kali pergi ke sana saya merasa bahwa memang layak sekali fasilitas ini, baik bagi bagi pegawai maupun bagi rakyat yang datang ke situ untuk mencari pelayanan. Nah sekarang tanpa alasan kantor mau dipindahkan, padahal kantor sekarang lebih dari memadai.

Berapa banyak uang akan dihabiskan (dihamburkan) untuk proyek ini dan siapa yang akan dapat manfaat? Bagaimana perasaan orang dari Lempur dan Kerinci selatan yang bakal berjalan jauh dari tempat mereka ke Siulak?

Kononnya untuk proyek pemindahan ini, APBD tidak cukup, jadi sebagian besar dari uang yang dibutuhkan harus lewat Alokasi Dana Khusus (ADK) dari pusat. Untuk meyakinkan pusat untuk melepaskan ADK ini seharusnya ada persetujuan dari DPR daerah dan kemudian dari DPR pusat.

Saya sekali lagi menggeleng kepala: kok DPR pusat dan daerah mau memberi suara menyetujui proyek ini? Mengapa mereka tidak bertanggung jawab menolaknya mentah-mentah, karena sudah jelas tidak menguntungkan rakyat, malah memboros saja?

Bagaimana keikhlasan wakil DPR untuk membela kepentingan daerah? Secara sinis orang MPK dan HKK mengangkat bahu dan bilang, ‘Ah ini hanya proyek saja’. Tetapi mereka pun tidak bertanggung jawab. Tidak cukup berdiam dan mengangkat bahu saja: sepatutnya mereka bergerak dan protes dan mengunakan kesempatan dalam demokrasi untuk melemparkan kritik sebagaimana biasa dalam negara yang menganut masyarakat madani. Semoga di antara pembaca artikel ini yang merasa tergugah untuk bertindak.[]

_______________

Artikel ini ditulis oleh C.W. Watson, profesor School of Business and Management, Iinstitut Teknologi Bandung (ITB). Artikel ini awalnya dimuat di harian Jambi Independent, 2 Juni 2014.

0 komentar: