Juni 21, 2015

Perburuan "Orang Pendek" di Kerinci


MAKHLUK ITU konon memiliki kaki terbalik, telapak kakinya menghadap ke belakang. Meski demikian, ia mampu bergerak lincah di antara lebatnya hutan. Tinggi tubuhnya hanya sekitar satu meter. Sekujur tubuhnya ditutupi bulu pendek. Beberapa kesaksian lain memberi detail tambahan tentang sosok itu tengah menenteng sebatang tombak kayu dengan tangan yang terlihat kekar.

Itulah sosok ”orang pendek” yang kerap digambarkan sejumlah penduduk di sekitar kawasan hutan Danau Gunung Tujuh dan Gunung Kerinci yang masuk kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. ”Ayah saya dulu pawang Gunung Tujuh, ia pernah cerita ketemu ’orang pendek’. Banyak orang lain yang juga ketemu,” kata Ali Akbar (70), warga Air Jernih, Gunung Tujuh.

Tak semua penduduk lokal percaya dengan cerita ini. Sebagian menganggapnya hanya sekadar dongeng. Warga di sekitar Kerinci terbelah antara percaya dan tidak terhadap keberadaan makhluk ini. Mereka juga berdebat apakah makhluk itu sebenarnya binatang sejenis monyet atau manusia.

”Kalau saya belum pernah melihatnya sehingga susah percaya,” kata Usansudin, Kepala Desa Pesisir Bukit, Kecamatan Gunung Tujuh. ”Tapi banyak yang mengaku pernah melihat. Salah satunya Pak Dharma Ilen di Desa Siulak Deras.”

Menurut Usansudin, cerita-cerita pertemuan itu biasanya terjadi tanpa disengaja. ”Biasanya waktu kesasar di hutan saat berburu. Kalau Pak Dharma ini ceritanya ketemu waktu survei mau bikin jalan. Orang pendek ini sedang berada di gua,” tuturnya.

Selama ratusan tahun, sosok ”orang pendek” telah membuat penasaran penjelajah, ilmuwan, maupun peneliti. Berbagai ekspedisi dilakukan untuk melacak sosok misterius ini.

Tak hanya di sekitar Kerinci, kisah tentang ”orang pendek” sebenarnya dikenal di berbagai tempat lain di Sumatera, dengan berbagai variasi nama. Antropolog Gregory Forth dalam bukunya, Images of the Wildman in Southeast Asia (2008) menyebutkan, di pesisir selatan Sumatera, orang pendek dikenal sebagai sedapa atau sedapak. Di Rokan (Riau) disebut sebagai leco. Di Bengkulu dikenal sebagai gugu, segugu, atau senggugu. Di Rawas (Sumatera Selatan) disebut sebagai atu rimbu atau atu rimbo, sedangkan di perbatasan Bengkulu dan Sumatera Barat disebut sebaba.

Walaupun cerita tentang orang pendek ini dikenal nyaris di seluruh Sumatera, perburuan modern tentang sosok ini banyak difokuskan di Jambi, terutama sekitar Gunung Kerinci dan Gunung Tujuh.

Beberapa peneliti asing mengklaim telah bertemu dengan sosok misterius di dua gunung ini. Mereka mengklaim menemukan jejak kaki, rambut, atau bekas makanan ”orang pendek”. Namun, sampai saat ini tidak ada yang bisa menunjukkan wujud makhluk ini, kerangkanya, atau foto sekalipun.


Tanpa Hasil

Kisah perburuan orang pendek Sumatera sebenarnya sudah berlangsung sangat lama. Salah satu referensi awal mengenai keberadaan ”orang pendek” berasal dari tulisan William Marsden di buku The History of Sumatera yang terbit pertama pada 1783. Marsden, pegawai asal Inggris di East India Company yang berbasis di Bengkulu pada 1770-an, menyebut soal orang gugu yang dideskripsikannya dengan tubuh yang ditutupi bulu. Namun, Marsden tidak mendeskripsikan tinggi orang gugu ini.

Kisah berikutnya disampaikan orang Belanda yang tinggal di Sumatera Selatan, Van Heerwarden. Dia melaporkan, melihat orang pendek di atas pohon di hutan di sebelah utara Palembang pada 23 Oktober 1923. Menurut dia, bulu di bagian depan tubuh lebih terang dibanding di bagian belakang dengan tinggi badan sekitar 150 sentimeter. Menurut dia, makhluk itu lari dari hadapannya dengan menggunakan kedua kakinya.

Dengan mendasarkan pada catatan-catatan samar di masa lalu, beberapa penjelajah dan peneliti dari zaman modern yang penasaran terus memburu keberadaan orang pendek. Keingintahuan kian memuncak karena penampakan makhluk ini sering dilaporkan oleh warga, terutama di sekitar Kerinci.

Berbagai ekspedisi dan penelitian dilakukan oleh sejumlah pihak. Banyak yang terobsesi menemukan manusia pigmi (orang kerdil) dari Flores, Homo floresiensis. Salah satunya dilakukan oleh National Geographic dengan memasang jebakan kamera di sejumlah tempat di Kerinci Seblat pada tahun 2006. Akan tetapi, hasilnya nihil.

Sejumlah ilmuwan Inggris juga penasaran dengan makhluk ini sehingga beberapa kali melakukan penelitian. Salah satu yang paling terkenal adalah penelitian yang dilakukan ahli primata, Deborah Martyr, pada tahun 1990-an.

Martyr mengklaim pernah bertemu makhluk ini selain mengumpulkan keterangan dari beberapa saksi mata yang juga pernah bertemu ”orang pendek”. Meski demikian, perjumpaan dan penelitian Martyr tidak cukup untuk mengonfirmasi keberadaan atau jenis makhluk ini sehingga tetap menjadi misteri sampai saat ini. Pemasangan jebakan kamera oleh Jeremy Holden juga tidak membuahkan hasil.

Penelitian lain dilakukan oleh Richard Freeman, direktur zoologi dari Centre for Fortean Zoology, Inggris. Seperti dilaporkan The Guardian pada 9 September 2011, ia bersama tim melacak keberadaan orang pendek di hutan Kerinci Seblat.

Menurut Freeman, ini adalah keempat kalinya sejak tahun 2003 ia kembali ke hutan Kerinci untuk melacak makhluk yang disebutnya ”short man.” Ia membagi timnya menjadi dua. Satu tim melacak jejak di kawasan hutan Danau Gunung Tujuh, satu lagi di kawasan perladangan di tepian hutan.

Dari laporan warga sekitar disebutkan, makhluk ini beberapa kali terlihat merusak tanaman warga, terutama tebu. Dari laporan Freeman yang juga dimuat di The Guardian, 7 Oktober 2011, belum ada kesimpulan jelas tentang keberadaan ”orang pendek.”

Ia menyebut, jebakan kamera yang dipasangnya hanya menangkap gambar hujan, serangga, dan burung. Jejak rambut yang ditemukan, katanya, akan diuji DNA. Namun, sampai sekarang belum ada kelanjutan kabar dari Freeman.

Ada tidaknya ”orang pendek” di Kerinci tetap menjadi kontroversi. Banyak yang meyakini keberadaannya, sebanyak yang menilai hal itu sebagaimana fantasi tentang yeti, manusia salju dari Himalaya, atau alien dari luar angkasa.


Rekayasa

Jauh sebelum Marsden menulis soal orang pendek, penjelajah Italia, Marco Polo, yang datang ke Sumatera pada tahun 1290-an, mengisahkan tentang orang pendek. Menurut Marco Polo, orang pendek ini hanya rekayasa dan diciptakan manusia.

Menurut catatan Marco Polo, dalam buku The Travel of Marco Polo (1926),”...orang pendek atau yang sering dibawa ke India diciptakan di pulau ini (Java Minor atau Sumatera).”

Marco kemudian menjelaskan bagaimana membuat orang pendek itu. ”Ada semacam monyet (orang utan?) di Sumatera yang ukurannya sangat kecil dan berwajah seperti manusia. Ekor monyet ini kemudian dipotong dan seluruh bulunya digunduli dengan menggunakan sejenis salep.”

”Kemudian mereka menempelkan rambut panjang ke dagu monyet sebagai pengganti jenggot, memasukkan rambut tersebut melalui pori-pori kulit, sehingga ketika monyet itu mengerut pori-pori akan menyusut dan rambut tersebut tampak tumbuh alami. Kaki, tangan, dan anggota badan lain yang tidak sesuai dengan bentuk manusia direntangkan, ditegangkan, dan dibentuk ulang dengan tangan agar menyerupai manusia.”

Marco Polo melanjutkan kisahnya, ”Tubuh-tubuh monyet tersebut lalu dikeringkan dan dibalsem dengan kapur barus serta obat-obatan lain sehingga tampak seperti manusia. Semua itu adalah tipuan. Karena tidak ada satu pun tempat di seluruh India atau wilayah lain seliar tempat ini pernah ditemukan manusia begitu kecil.”

Catatan Marco Polo tentang orang pendek ini memang secara gamblang membantah tentang keberadaan sosok pigmi yang rupanya sudah tersiar luas sejak awal abad ke-13. Ketika nyaris tak ada lagi lekuk hutan Sumatera yang belum dijelajahi, kisah perburuan tentang keberadaan orang pendek ini menjadi semakin sulit dipertahankan.

Tetapi, bisa jadi, sosok orang pendek itu dari dulu sengaja diciptakan untuk melindungi kekayaan hutan di jantung Sumatera. Dengan cara yang sama, kisah tentang kanibalisme orang-orang pedalaman Sumatera yang disebutkan Marco Polo dan sejumlah penjelajah lain, telah melindungi sumber emas di Bukit Barisan selama berabad-abad lamanya.

Seminggu lebih menjelajah hutan di Gunung Kerinci, Gunung Tujuh, dan Hutan Taman Nasional Kerinci Seblat, kami hanya ketemu tupai tanah, ayam hutan, sejumlah burung, berbagai jenis monyet, dan yang paling mencolok: perambahan yang semakin jauh masuk ke pedalaman hutan.

Sore itu gerimis, ketika kami menuruni puncak Gunung Kerinci. Secara tak sengaja kami melihat-lihat jejak yang ada di jalan setapak. Sebuah jejak terlihat. Jejak bercakar!

Midun (28), pemandu jalan, warga Kersik Tuo, menyebut jejak itu sebagai jejak harimau. Jejak itu membuat kami berusaha ngebut menuruni lereng Kerinci. Tak peduli lagi tentang kontroversi ”orang pendek”, biarlah tetap menjadi misteri....[]

____________

Artikel ditulis oleh Prasetyo Eko P, Agung Setyahadi, dan Ahmad Arif serta dimuat di Kompas.com pada 4 Mei 2012.


0 komentar: