Agustus 16, 2015

Perguruan Hidayatul Islamiyah (PHI): Modernisasi Pendidikan Islam di Tanah Tungkal


SALAH SATU daerah tujuan migrasi suku Banjar yang berasal dari Kalimantan Selatan adalah pantai timur Sumatera, termasuk wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat di Provinsi Jambi. Di daerah ini, suku Banjar tinggal berkelompok atau membaur dengan sesama migran dari Jawa dan penduduk lokal. Kalau Anda mengunjungi Kualatungkal, ibukota Tanjung Jabung Barat, misalnya, Anda dengan mudah akan menemukan orang-orang yang berbincang dalam bahasa Banjar.

Beberapa teori coba menjelaskan tentang migrasi tersebut. Teori yang paling banyak diterima menyebutkan bahwa wilayah Tanjung Jabung Barat, terutama di pinggir pantai, memiliki kesamaan dengan wilayah Kalimantan Selatan, yaitu sama-sama daerah dataran rendah yang didominasi tanah rawa. Kecuali itu, secara geografis, pantai timur Sumatera menghadap langsung Pulau Kalimantan, yang memudahkan proses migrasi. Di masa lalu, perantau Banjar tinggal berlayar lurus ke arah barat, mereka akan sampai di pantai timur Sumatera.

Teori lain menyebutkan orang Banjar merantau mengikuti guru spiritual mereka, Syekh Abdurrahman Siddik, yang diminta oleh penguasa Indragiri untuk menjadi mufti di sana. Syekh Abdurrahman Siddik atau Guru Sapat adalah cucu ulama Banjar terkemuka, Syekh Arsyad al-Banjari. Dalam perjalanannya, sebelum sampai di Sumatera, Guru Sapat singgah di Pulau Bangka. Sekarang, namanya harum di Bangka sebagai guru spiritual dan perguruan tinggi Islam di sana dinamakan dengan STAIN Syekh Abdurrahman Siddik. Dalam perkembangannya, setelah tiba di Sumatera pada 1904 (ada juga yang menyebut 1912), Guru Sapat juga berdakwah hingga wilayah Tanjung Jabung Barat sekarang.

Di Tanjung Jabung Barat, orang Banjar dikenal sebagai suku yang religius. Orang Banjar banyak menempati posisi sebagai ulama dan penasihat spiritual, termasuk hingga sekarang. Salah satu monumen hidup yang menjaga transmisi keulamaan di kalangan orang Banjar adalah Perguruan Hidayatul Islamiyah (PHI), sebuah pondok pesantren Banjar yang terletak di Kualatungkal, Tanjung Jabung Barat.

Menurut Syamsul Bahri di dalam Perguruan Hidayatul Islamiyah (PHI): Modernisasi Pendidikan Islam di Tanah Tungkal (Kualatungkal, tanpa penerbit, 2012), PHI didirikan oleh beberapa ulama Banjar yang dipimpin oleh KH Daud Arif. Daud lahir dalam perjalanan kapal dari Amuntai, Kalimantan Selatan, menuju Johor, Malaysia, pada 1908. Pada usia 17 tahun, dia ikut kakaknya merantau ke Mekkah untuk belajar agama. Sekira lima tahun di sana, Daud pulang ke Johor dan kemudian ikut ibunya yang merantau ke Kualatungkal. Di kota kecil inilah kemudian Daud muda bersama para ulama lainnya mendirikan Madrasah Hidayatul Islamiyah atau MHI pada 1936.

Motivasi pendirian madrasah tersebut di antaranya karena di Kualatungkal belum ada lembaga pendidikan Islam. Madrasah yang ada saat itu hanya di Seberang Jambi, yaitu Madrasah Nurul Iman. Selain para lulusan Mekkah, ulama yang turut mendirikan MHI adalah para alumni Nurul Iman.

Pendirian MHI tidak sepenuhnya berlangsung mulus, terutama terkait perizinan. Sebagaimana diketahui, sejak 1905, Belanda sudah menerapkan berbagai ordonantie yang mengatur soal pendidikan. MHI terkena dampak aturan tersebut. Saat Daud ke Jambi untuk meminta izin pendirian serta pengesahan pengajarnya, hoofd penghulu KH Abdush Shomad menolak. Daud bahkan dicurigai sebagai penganut Ahmadiyah Qadiyan yang saat itu berkembang di Penang, Malaysia. Daud juga dianggap menjadi pengikut organisasi Muhammadiyah yang kala itu mulai dihambat perkembangannya oleh Belanda.

Setelah penolakan itu, beberapa minggu kemudian Daud mengajak beberapa ulama lain dari Kualatungkal untuk mengklarifikasi soal dirinya. Ketika itu pun hoofd penghulu tak langsung percaya. Lalu diadakan pengujian terhadap Daud, yang akhirnya bisa lulus. Setelah itu, izin mengajar dan operasional MHI pun bisa terbit.

Kendala lain yang dihadapi MHI adalah ketidakstabilan negara karena berbagai rongrongan penjajah. Setelah Indonesia merdeka, Belanda tetap ingin kembali menguasai bumi pertiwi. Para pengajar dan murid MHI kemudian terlibat dalam perlawanan fisik terhadap Belanda. Mereka antara lain mendirikan Laskar Hisbullah yang aktif berjuang. Laskar ini dipimpin langsung oleh Daud. Mereka juga tergabung dalam Barisan Selempang Merah yang melawan Belanda dengan sengit sewaktu terjadi Agresi Militer II.

Pada awalnya, MHI mengajarkan kitab-kitab klasik sebagaimana di pesantren salaf umumnya. Kitab-kitab itu terbagi dalam beberapa disiplin seperti Mukhtasar Jiddan dan al-Jurumiyah (Nahwu), Matn al-Bina’ (Sharf), Fath al-Qarib (Fikih), al-Jalalayn (Tafsir), al-Aqaid al-Diniyah (Tauhid), al-Bayan (Logika), al-Sullam (Ushul Fikih), dll. Belakangan MHI menyesuaikan dengan aturan dan tuntutan zaman. Pada 1960, misalnya, MHI menjadi yayasan dengan nama baru, Yayasan Perguruan Hidayatul Islamiyah atau YPHI. 

Belakangan nama YPHI populer dengan sebutan Perguruan Hidayatul Islamiyah atau PHI saja. Setelah menjadi yayasan dan menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan perjenjangan seperti sekarang, PHI juga mengajarkan pengetahuan umum.

Pada 1964, misalnya, setelah kepulangan beberapa alumninya yang melanjutkan pendidikan di kota-kota lain, PHI bahkan mendirikan Sekolah Menengah Atas Islam atau SMAI. PHI yang semula hanya madrasah, selanjutnya juga mendirikan asrama di mana para muridnya kemudian menginap. Namun, di samping menerima pelajar yang mondok, PHI juga terbuka untuk murid yang hanya sekolah.

Yang menarik, menurut Syamsul, sejak awal sekali lembaga pendidikan ini tidak hanya menerima murid lelaki, tapi juga perempuan. Sejak 1950 bahkan para alumni perempuan tersebut juga mulai direkrut untuk menjadi tenaga pengajar. Di Jambi, lembaga pendidikan Islam ini jelas termasuk yang pertama sekali membuka diri untuk kaum hawa.

Dengan sejarahnya yang demikian, Syamsul mengkategorikan PHI sebagai madrasah yang modern. Penyesuaian kelembagaan yang mengikuti zaman, upayanya membuka mata masyarakat tentang pentingnya pendidikan di masa “kegelapan” akibat penjajahan, dan sikap terbuka terhadap semua gender adalah di antara nilai kemodernan dan dobrakan lembaga ini terhadap nilai lama.

Pada 1990-an PHI mengalami masa-masa kejayaan. Lebih dari seribuan murid menimba ilmu di sana. Mereka tidak hanya datang dari berbagai daerah di Tanjung Jabung Barat, tapi juga kabupaten lain, termasuk tidak sedikit dari luar Provinsi Jambi. Para alumninya juga melanjutkan pendidikan ke lembaga-lembaga yang terkemuka, termasuk perguruan tinggi di Jawa bahkan luar negeri. Sekarang banyak di antara mereka menjadi ulama yang disegani tidak hanya di Tanjung Jabung Barat, melainkan juga di Jambi. PHI jelas sekali sukses memerankan diri sebagai penjaga transmisi keulamaan di kawasan ini, yang pada gilirannya turut mewarnai corak keislaman yang berkembang.

Lembaga pendidikan yang di masa lalu berjaya tersebut saat ini tengah menghadapi banyak tantangan. Minat masyarakat untuk menyekolahkan anak di lembaga pendidikan agama terus merosot. Di antara lembaga pendidikan agama, bagaimanapun PHI dianggap tradisional dengan bandingan madrasah negeri yang lebih modern. Sementara itu, beberapa pengajarnya juga mendirikan pesantren yang “lebih salaf”, yang kemudian lebih banyak dipilih oleh mereka yang ingin belajar agama.[]

Syamsul Bahri, Perguruan Hidayatul Islamiyah (PHI): Modernisasi Pendidikan Islam di Tanah Tungkal (Kualatungkal, tanpa penerbit, 2012).

___________

Artikel ini pada awalnya terbit dengan judul "PHI dan Transmisi Ulama di Tanjung Jabung" di rubrik Pustaka Jambi, harian Jambi Independent, 13 Agustus 2015.

0 komentar: