September 06, 2015

Berinduk Semang, Kisah Laki-laki, dan Politik Representasi: Etnografi Adat Berinduk Semang di Orang Rimba Pengelaworon, Makekal Hulu, Jambi


Abstrak:  

Adat berinduk semang adalah praktik yang dilakukan oleh para bujang (anak muda) Orang Rimba untuk memeroleh istri. Praktik adat ini memiliki berbagai tahapan tertentu yang mengarah pada pembentukan seorang laki-laki untuk “menjadi dewasa”, yaitu dengan membuktikan bahwa dia mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari dari keluarga si perempuan yang dituju.

Proses pembuktian tersebut dilakukan dengan "pengabdian", yaitu bekerja untuk calon mertuanya, memberikan makanan-makanan yang dipunya serta memberikan penghasilan kepada keluarga calon mertua dalam berbagai bentuknya (uang atau barang). Ini menjadikan adat berinduk semang sangat lekat dengan aspek ekonomi-produksi Orang Rimba, yaitu aktivitas berburu dan aktivitas ekonomi ladang karet. Bagi mereka, konsep pengabdian itu selalu diasosiasikan dengan "kepintaran" atau "kecakapan" laki-laki Rimba dalam bekerja.

Satu hal yang menggugah penulis adalah saat muncul ungkapan dari diri mereka sendiri yang menyatakan bahwa cara orang dalam berinduk semang itu sudah berubah. Observasi awal penulis menunjukkan bahwa tahap-tahap yang dilakukan dalam berinduk semang itu tidak berubah sejak dulu hingga sekarang. Jika pola yang ada dalam adat berinduk semang itu tidak berubah, mengapa ada dari mereka yang menyatakan bahwa berinduk semang itu telah berubah? Jika ia memang berubah, maka aspek apa yang berubah darinya, dan hal apa yang mendorong atau memengaruhi terbentuknya perubahan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam tentang adat berinduk semang dengan pendekatan etnografi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi dalam adat berinduk semang adalah pembentukan wacana baru atas “nilai laki-laki”; yang mana "kecakapan" dan "kepintaran" bujang Rimba itu diukur dari kemampuannya melibatkan diri dengan sektor ekonomi-produksi yang stabil. Pembentukan wacana baru ini didasarkan atas pemahaman Orang Rimba Pengelaworon terhadap ketidakstabilan sumber daya ekonomi-produksi mereka karena perubahan lingkungan, interaksi dengan dunia luar, dan kondisi material.


Dengan kata lain, strategi dan tindakan yang dilakukan oleh bujang pelamar demi keberhasilannya dalam berinduk semang selalu ditentukan oleh wacana atas “nilai laki-laki” yang dibentuk oleh masyarakatnya; yang mana wacana tersebut dikonstruksi berlandaskan pada persepsi Orang Rimba Pengelaworon terhadap situasi sosial dan material yang terjadi dalam kehidupan mereka.

Tesis dari etnografi ini juga berusaha untuk menunjukkan bahwa berbagai aspek perubahan yang ada dalam diri Orang Rimba tidak terjadi sebagai “yang terberi”. Perubahan itu dibentuk, direncanakan, dan dikonstruksi atas pertimbangan mereka sendiri. Proses tersebut adalah strategi yang dilakukan untuk mengontrol kestabilan sosial dan ekonomi Orang Rimba Pengelaworon, yang diakomodir sekaligus diwacanakan melalui praktik adat berinduk semang.[]

____________

Yuda Rasyadian, “Berinduk Semang, Kisah Laki-laki, dan Politik Representasi: Etnografi Adat Berinduk Semang di Orang Rimba Pengelaworon, Makekal Hulu, Jambi”, Skripsi di Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, 2015.

>> Untuk membaca utuh skripsi tersebut, silakan klik Repository UGM.

0 komentar: