MESKIPUN merupakan tradisi wastra
periferal di nusantara, wastra Jambi ternyata sudah lama menjadi topik kajian.
Pengamat yang pertama kali membuat laporan tentang wastra Jambi adalah B.M.
Goslings. Sejak 1927 hingga 1931, secara berturut-turut Goslings
mempublikasikan serial artikelnya tentang batik Jambi dalam berkala Nederlandsch-Indie
Oud en Nieuw. Menarik untuk menelusuri siapa sebenarnya Goslings dan mengapa ia tertarik meneliti
batik Jambi.
Pengamatan Goslings rupanya bukan
merupakan penelitian berkelanjutan dalam jangka panjang. Satu setengah dekade setelah Goslings
menerbitkan artikel terakhirnya, baru muncul lagi laporan tentang batik Jambi.
Pada 1945, J.P.W. Philipsen menerbitkan tulisan berjudul Kain Djambi, iets
over de versiering der Djambibatikes. Tulisan tersebut dimuat di Cultureel
Indie.
Tentu cukup menarik, kalau bukan
agak aneh, bahwa seorang Belanda menulis tentang artefak budaya nusantara
justru saat pendudukan Jepang. Terlebih lagi, pada masa itu, sebagaiamana
dijelaskan Fiona Kerlogue (2000), industri batik Jambi mulai gulung tikar
karena kemiskinan rakyat yang disebabkan pendudukan Jepang.
Seiring dengan mati surinya tradisi
batik Jambi sejak periode kolonialisme Jepang, kajian tentang wastra Jambi pun
ikut mati suri selama lebih dari 40 tahun. Pengamat yang membangkitkan kembali
perhatian terhadap wastra Jambi adalah Barbara W. Andaya, sejarawan dari
Universitas Hawaii yang kawentar sebagai penulis To Live as Brothers.
Dalam forum Asian Studies Association of Australia Bicontennial
Conference yang diselenggarakan pada 1988, Barbara Andaya mempresentasikan
makalah tentang perdagangan kain di Jambi dan Palembang pada abad k-17 dan
ke-18. Isi makalah Andaya tampaknya cukup diperhatikan kalangan Indonesianis
Cornell sehingga makalah tersebut diterbitkan dalam jurnal Indonesia
pada 1989.
Pada akhir 80-an,
wastra Jambi mulai dilirik pengamat
dalam negeri, pertama-tama oleh pemerintah. Dalam rangka membentuk ideologi
pembangunan nasional, Orde Baru membuat proyek besar untuk mendokumentasikan
berbagai segi budaya lokal di nusantara. Proyek ini secara teknis dilaksanakan
oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dipandang sebagai artefak yang
merepresentasikan identitas Jambi, wastra Jambi turut didokumentasikan. Hasil
dokumentasi diterbitkan menjadi sebuah monograf berjudul Pakaian Adat
Tradisional Daerah Provinsi Jambi.
Pada dekade berikutnya, jumlah
kajian wastra Jambi menjadi lebih banyak. Marhamah memaparkan makalah tentang
perkembangan batik Jambi dalam Seminar Tekstil Tradisional Se-Sumatera yang
diadakan di Jambi pada tahun 1993. Di Copenhagen, Kerlogue pada tahun 1995
menyampaikan makalah tentang kaitan antara tekstil dan identitas di Jambi.
Bersama Johannes, Sihol Situngkir, Sudarmadji, dan Puji Y. Subagiyo, Kerlogue
kembali mnyuguhkan makalah tentang batik Jambi dalam Simposium Internasional
Tekstil Indonesia yang digelar di Museum Nasional pada tahun 1996.
Pada tahun itu pulalah Kerlogue
mulai memapankan posisinya secara akademis sebagai antropolog paling otoritatif
dalam studi batik Jambi. Scattered Flowers, buku pertama Kerlogue
tentang batik Jambi, diterbitkan Universitas Hull. Setahun kemudian, ia
merampungkan disertasinya yang berjudul Batik Cloths from Jambi, Sumatra,
di dalam mana Kerlogue juga menguraikan kaitan antara batik Jambi dan seni
kaligrafi Arab.
Deretan tulisan Kerlogue tentang
wastra Jambi sepanjang dekade 2000-an diselingi oleh tulisan sejarawan dan
budayawan lokal tentang tradisi wastra kampung halamannya sendiri. Pada 2001,
Djunaidi T. Noor menerbitkan Pesona Batik Jambi: Laporan Penelitian. Untuk
kajian wastra Jambi dekade 2000-an, harus disebutkan pula secara khusus studi
Kerlogue dan Hitchcock yang terbit di jurnal Indonesia and the Malay World
tentang hubungan antara industri batik Jambi, pembangunan Orde Baru, dan
pariwisata.
Tak puas hanya mengamati batik
Jambi, Kerlogue akhirnya meluaskan perhatiannya dengan mempelajari jenis wastra
Jambi yang lain, yaitu sulaman benang emas. Bahkan, Kerlogue juga meneliti
motif hias pada rumah adat Jambi dan tradisi kuliner khas Jambi. Sulaman Benang
Emas: An Embroidary Tradition from Central Sumatra adalah judul paper
Kerlogue yang dipaparkannya dalam suatu forum di Museum Nasional Jakarta pada
tahun 2007. Paper yang sama (atau revisinya?) ia paparkan dalam The
First Conference on Jambi Studies pada 2013.
Semenjak tahun 2012, muncul
nama-nama baru yang bergabung dalam diskusi ilmiah tentang wastra Jambi,
khususnya tentang batik Jambi. Dalam Batik Jambi: Sejarah, Identitas, dan
Kelenturan Budaya, Dewi mengulas sejumlah artikel Andaya dan Kerlogue
tentang wastra Jambi. Zilberg mengamati wastra Jambi dari sudut pandang
arkeologi, sejauh tergambar pada arca Prajnaparamita yang ditemukan di kompleks
percandian Muaro Jambi.
Pada 2013, setidaknya ada tiga
kajian tentang wastra Jambi, yaitu oleh Sumardjo Karmela, dan Adhanita.
Sumardjo mencari makna motif-motif batik Jambi secara kosmologis. Melengkapi
penjelasan Kerlogue tentang industri batik Jambi, Karmela menulis tentang
industrialisasi batik di Kota Jambi. Terakhir, meramaikan diskusi tentang motif
batik Jambi, Adhanita menulis artikel berjudul Pengembangan Batik Jambi
Motif Sungai Penuh sebagai Bentuk Kontribusi pada Pembangunan.
Setelah me-review secara singkat dan sederhana perkembangan
kajian wastra Jambi selama ini, tampak bahwa telah banyak sisi wastra Jambi
yang dieksplorasi para pengamat sejak Goslings. Jenis wastra yang banyak
dibicarakan adalah batik Jambi. Sulaman benang emas hanya diamati oleh
Kerlogue. Songket Jambi lepas dari radar pengamatan para peneliti. Wastra ikat
kepala untuk laki-laki dan wastra penutup kepala untuk perempuan belum pernah
menjadi fokus penelitian.
Wastra Jambi paling sering
diperbincangkan dari perspektif ekonomi. Walaupun menggunakan pendekatan
sejarah, kajian Barbara Andaya jelas mengandung keterangan panjang lebar
tentang fungsi ekonomi wastra Jambi dan dinamika ekonomi di sekitarnya. Pasang
surut industri batik Jambi telah diteliti oleh Johannes, Situngkir, Sudarmadji,
Subagiyo, Kerlogue, Hitchcock, dan Karmela. Justru dominasi perspektif ekonomi
dalam kajian wastra Jambi membuka celah bagi para peneliti lain untuk
mendiskusikan wastra Jambi misalnya dari perspektif kontestasi politik, agama, pop
culture, atau perspektif baru lainnya.
Wastra Jambi sebagai cermin identitas lokal juga sudah lazim
dikomentari, tampaknya bahkan sejak tulisan pertama tentang batik Jambi
dipublikasikan pada 1927. Semua kajian identitas dalam konteks wastra Jambi
dapat dibagi menjadi dua kecenderungan, yaitu kecenderungan esensialis dan
kecenderungan eksistensialis. Jelas bahwa pengamat Belanda, Orde Baru, dan
pemerintah daerah mengusung kecenderungan esensialis dalam mendefinisikan
identitas. Sementara itu, Kerlogue dan Dewi enggan terjebak dalam kecenderungan
esensialisasi identitas tersebut.
Yang juga sudah banyak dibahas
adalah tradisi wastra bagian hilir Jambi. Kebudayaan Jambi, yang pada mulanya
dan pada dasarnya berbasis sungai, sebenarnya terbagi menjadi dua kutub yang
satu sama lain saling berkoeksistensi, yaitu kutub hilir dan kutub hulu.
Artefak budaya kedua kutub ini tentu memiliki persamaan yang mempertemukan dan
menyatukan, juga memiliki perbedaan yang menegaskan subidentitas masing-masing.
Tradisi wastra hulu Jambi bukan tidak ada, hanya saja kurang dilirik. Kerlogue
sudah serba sedikit menyebut-nyebut kain etnik di hulu Jambi tetapi tradisi
wastra ini tidak pernah menjadi konsenstrasi kajiannya.
Bila ingin lebih jauh menelusuri
kajian wastra Jambi, Anda bisa mencari referensi-referensi yang dicantumkan
dalam bibliografi di bawah ini. Perlu ditegaskan, bibiliografi ini masih dalam
proses penyempurnaan. Banyak kajian yang barangkali luput dari jangkauan.
Karena itu, demi melengkapi bibliografi ini, informasi dari berbagai pihak
tentu diharapkan, ditunggu, dan diterima dengan tangan terbuka.
Bibliografi Kajian Wastra Jambi
1927/1928
Goslings, B.M.,"Een batik van Jambi", Nederlandsch-Indie Oud
en Nieuw, 12 (1927/1928), hlm. 279-2-83.
1928
Berestyen-Tromp, E.van, "Batik van Djambi", Kolonial Week
Blad, 31Mei1928, hlm. 259-260.
1929/1930
Goslings, B.M.,"Het batiken in het gebeid der hoofdplaats Djambi",
Nederlandsch-Indie Oud en Nieuw, 14 (1929/1930), hlm. 141-152; 175-185; 217-223.
193/1931
Goslings, B.M., "Roodgekleurde Djambi-batiks", Nederlandsch-Indie
Oud en Nieuw, 15 (1930,1931), hlm. 335-346.
1945
Philipsen, J.P.W., "Kain Djambi, iets over de versiering der Djambibatikes",
Cultureel Indie, 7(1945), hlm. 144-122.
1988
Andaya, Barbara W., "The Cloth Trade in Jambi and Palembang Society
during the Seventeenth and Eighteenth Centuries", Indonesia, 48(1989), hlm.27-46.
Mulanya adalah makalah yang dipresentasikan pada Asian Studies Association of Australia
Bicentennial Conference yang diselenggarakan di Universitas Nasional Australia pada
Februari 1988.
1988/1989
Depdikbud, Pakaian Adat Tradisional Daerah Provinsi Jambi, (Jakarta:
Depdikbud, 1988/1989).
1993
Marhamah, "Batik Tradisional Jamb idan Perkembangannya", makalah
dipresentasikan pada Seminar Tekstil Tradisional Se-Sumatra, Jambi, 27September1993.
Tampaknya makalah ini atau revisinya kemudian diterbitkan sebagai buku dengan
judul Batik Tradisional Jambi dan Perkembangannya, (Jambi: Kanwil Departemen
Perindustrian Provinsi Jambi, 1993).
1995
Kerlogue, F., “Textiles, Traditionand Identity in Jambi, Sumatra”, makalah
dipresentasikan pada The 4th Nordic-European Workshop in Advanced Asian
Studies,“ Cultural Studies in Southeast Asia”, NIAS, Copenhagen, 1995.
1996
Kerlogue, F., “The Red Batiks of Jambi: Questions of Provenance”, makalah
dipresentasikan pada Simposium Internasional Tekstil Indonesia, Museum Nasional,
Jakarta, 6-9November 1996.
Johannes dan Sihol Situngkir," Production and Marketing Policies:
Orientation of Jambi Batik", Makalah dipresentasikan pada Simposium Internasional
Tekstil Indonesia, Museum Nasional, Jakarta, 6-9November1996. Tak diterbitkan.
Sudarmadji dan Puji Y. Subagiyo," Jambi Batik in Development",
makalah dipresentasikan pada Simposium Internasional Tekstil Indonesia, Museum Nasional,
Jakarta, 6-9 November1996. Tak diterbitkan.
Kerlogue, F., Scattered Flowers: Textiles from Jambi, Sumatra,(Cottingham:
University of Hull,1996).
1997
Kerlogue, F. Batik Cloths from Jambi, Sumatra (1997). Tesis PhD
di Universitas Hull.Tidak diterbitkan.
Kerlogue, F.,“Classical Batiks of Jambi”, makalah dipresentasikan pada
konferensi The World Batik and Heritage Conference, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,
November1997.
1998
Kerlogue, F., “Textiles as a Medium of Communication in Malay Communities
in Sumatra”, makalah dipresentasikan pada The Annual Conference of the Association
of Social Anthropologists 1988 di University of Kent at Canterbury, 30 Maret hingga
3 April 1998. Makalah ini tampaknya kemudian diterbitkan sebagai artike lberjudul
"Interpreting Textiles as Medium of Communication: Cloth and Community in Malay
Sumatra", Asia nStudies Review, 24 (2000), hlm. 335-348.
1999
Kerlogue, F., "Importing Identity: Indian Textiles in Jambi, Sumatra",
makalah dipresentasikan pada seminar "Textiles in the Indian Ocean", yang
diselenggarakan Institute of Social and Cultural Anthropology di Universitas Oxford,
19-20 Maret 1999. Makalah ini kemudian diterbitkan sebagai artikel berjudul "Importing
Identity: Textiles of Jambi (Sumatra) and the Indian Ocean Trade", dalam Ruth
Barners(ed.),Textiles in Indian Ocean Societies,(London-NewYork: Routledge-Curzon,
2003), hlm. 130-149.
Kerlogue, F., "Transformation and Tradition: Calligraphy Batiks
from Jambi", makalah dipresentasikan pada "Textiles in Changing Times:
Identity and the Remaking of Tradition", sebuah forum di Fowler Museum of Cultural
History, Universitas California, Los Angeles, 15 Mei 1999.
2000
Kerlogue, F. dan Michael Hitchcock, "Tourism, Development, and
Batik in Jambi", Indonesia and the Malay World, 28, 82 (2000), hlm. 221-242.
2001
Noer, Djunaidi T., Pesona Batik Jambi: Laporan Penelitian, (Jambi: Dinas
Pariwisata Provinsi Jambi, 2001).
2004
Kerlogue, F., “Jambi Batiks: A Malay Tradition?”, kuliah yang diberikan
di Galeri Brunei, University of London School of Oriental and African Studies, disela-sela
pameran Spirit of Wood, theArt of Malay Woodcarving, 28 Januari 2004.
Kerlogue, F. dan Tara Sosrowardoyo, Batik: Design, Style & History,
(London: Thames & Hudson, 2004).
2005
Kerlogue, F., ‘The Batik of Malay Sumatra”, makalah dipresentasikan
pada International Seminar on ‘The Spirit and Form of Malay Design’, National Museum,
Kuala Lumpur, Juni 2005.
2007
Kerlogue, F., “Sulaman Benang Emas: An Embroidery Tradition from Central
Sumatra”, makalah dipresentasikan di Museum Nasional, Jakarta, 21-22 November 2007.
Makalah ini tampaknya kemudian dipresentasikan lagi pada The First International
Conference on Jambi Studies, Jambi, 21-24 November 2013.
2011
Kerlogue, F., "Memory and Material Culture: A Case Study from Jambi,
Sumatra", Indonesia and the Malay World, 39,113 (2011), hlm. 89-101.
2012
Dewi, Ratna, "Batik Jambi: Sejarah, Identitas, dan Kelenturan Budaya",
Seloko: Jurnal Budaya, 1, 1(2012), hlm. 175-189.
Zilberg, Jonathan, "Textiles History in Stone I: The Case of Muarajambi
Prajnaparamita", Seloko: Jurnal Budaya, 1, 2 (2012), hlm. 215-258.
2013
Sumardjo, Jakob, "Kosmologi Batik Jambi", Seloko: Jurnal Budaya,
2, 1 (2013), hlm. 95-121.
Karmela, Siti Heidi, "Industrialisasi Batik di Kota Jambi: Batik
Jambi sebagai Produk Ekonomi dan Politik", Seloko: Jurnal Budaya, 2, 1 (2013),
hlm. 123-144.
Adhanita, Septiara, “Pengembangan Batik Jambi Motif Sungai Penuh sebagai Bentuk Kontribusi pada Pembangunan”, Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, 9, 4 (2013), hlm. 381-392.