Mei 21, 2014

Wawancara dengan Elsbeth Locher-Scholten, Penulis Buku “Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda”


MUNGKIN TIDAK banyak masyarakat Jambi mengenal nama Elsbeth Locher-Scholten yang kerap disapa Elsbeth. Elsbeth adalah penulis buku Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda (terjemahan oleh Noor Cholis, diterbitkan KITLV Jakarta dan Penerbit Banana, 2008). Buku ini menjadi salah satu rujukan yang sering dipakai oleh setiap orang yang tertarik mempelajari sejarah kolonialisme di Jambi.

Salah satu hal yang menarik dalam pembahasan buku tersebut adalah peran Sultan Taha. Taha yang lahir pada 1883 adalah sosok pahlawan nasional dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Kiprahnya begitu cemerlang. Pada 1854 dia ditunjuk menjadi pangeran ratu dan setahun berikutnya, 1855, dia diangkat menjadi sultan. Pada Sabtu, 22 Februari 2014 lalu, saya mendapatkan kesempatan langka untuk mengunjungi Elsbeth di rumahnya yang asri di Kota Zeist, Belanda. Berikut petikan wawancara saya dengan Elsbeth:


Apa yang Anda lihat dari Sultan Taha?

Ketika Anda berbicara Sultan Taha, maka kita tidak akan bisa memisahkannya dengan nama Pangeran Wirokusumo yang juga seorang perdana menteri, penasihat, dan seorang keturunan Arab seperti Taha yang juga berasal dari keturunan Arab. Ini menarik untuk disimak karena Wirokusumo adalah mediator ulung dan telah 20 tahun lebih menjadi perdana menteri yang banyak membuat kebijakan. Jadi kita tidak tahu dengan pasti siapa yang membuat kebijakan, apakah Wirokusumo atau Sultan Taha, di Jambi ketika itu, setidaknya pada akhir abad ke-19.

Yang perlu diingat tentang Taha, yang konon dilahirkan pada awal 1830-an, adalah simbol perlawanan masyarakat Jambi terhadap imperialisme Belanda. Setelah meninggalnya Sultan Taha pun, dia tetap menginspirasi masa revolusi melawan kolonial yang diteruskan oleh tokoh lainnya seperti Raden Mattaher. Hal yang menarik adalah perlawanan saat itu kental dengan suasana Islam. Apa yang ditampilkan adalah perlawanan menampilkan ciri pergerakan, nasionalisme, dan perjuangan Islam. Ini adalah tiga karakteristik yang tergambar dari perjuangan kemerdekaan di Jambi saat itu.

Bagaimana eksistensi kesultanan pascakemerdekaan?

Saya tidak begitu mendalami isu ini, karena fokus penelitian saya pada abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20, yang banyak melihat perlawanan Kesultanan Jambi kepada Pemerintah Kolonial Belanda sampai sebelum kemerdekaan, yakni sampai 1942. Pendapat saya, Inu Kertapati adalah keluarga Sultan Taha yang, tidak dipungkiri, memiliki pengaruh besar. Dia menunjukkan sosok yang gentle.


Meskipun Inu Kertapati ditunjuk menjadi residen Jambi di awal kemerdekaan, gerakan perlawanan untuk berpisah dari Republik Indonesia tetap mengemuka.

Di satu sisi, sebagian kecil kelompok masyarakat berupaya mempertahankan bentuk pemerintahan kesultanan. Jumlah mereka tidak begitu banyak dan semakin mengecil seiring berjalannya waktu. Memang di awal kemerdekaan, resistensi itu terlihat memunculkan gesekan terhadap orang luar seperti (terhadap orang) Minangkabau. Hal ini tentunya membutuhkan riset yang lebih lanjut. Akan tetapi, di sisi yang lain, intelektual dan kaum terdidik mendukung keberadaan republik yang mencita-citakan daerah otonom. Semuanya menjadi berganti dan banyak simbol nasional muncul sehingga cita-cita kesultanan menjadi tenggelam.

Apa yang perlu digarisbawahi adalah cita-cita kesultanan menampakkan nasionalisme yang bersifat lokal, nasionalisme Jambi. Sebelum kemedekaan, kesultanan adalah simbol perlawanan masyarakat melawan Belanda. Ketika kemerdekaan, keberadaan cita-cita kesultanan menjadi kontradiksi karena nasionalisme yang dimunculkan sarat dengan identitas lokal dan justru meminggirkan nasionalisme yang diinginkan republik dengan mencakup Indonesia.

Bagaimana pengaruh Islam sendiri dalam perjuangan kemerdekaan di Jambi?

Dalam pengaruh Islam itu, ada dikotomi yang berkembang kepada orang Belanda yang datang sebagai kafir. Itu terjadi di semua daerah di Indonesia, termasuk di Sumatera, antara lain Aceh, Padang, dan Jambi, yang mayoritas masyarakatnya Islam.

Islam selalu sebagai kekuatan kontraperlawanan. Perlawanan kepada Belanda diidentikkan setiap individu dengan berpakaian putih dan beraksi pada hari Jumat. Jadi jelas ada pengaruh. Tapi tidak seperti perlawanan di Aceh, yang diidentikkan oleh para pemimpin Islam. Karenanya saya tidak melihat di masa Sultan Taha dan Wirokusumo muncul pemimpin Islam. Yang ada hanya pemimpin kesultanan. Tidak munculnya pemimpin Islam membuat Jambi tidak pernah menampakkan Islam yang ortodoks.

Elsbeth adalah lulusan doktor sejarah pada 1981 dan bekerja sebagai dosen di Utrecht Universiteit, Belanda, sampai 2009. Setelah pensiun, dia tetap terlihat bugar dan menjalankan berbagai aktivitas. Menjelang akhir perbincangan, saya menanyakan beberapa hal kepada Elsbeth.

Apakah Anda rindu Jambi?

(Elsbeth tertawa). Dapat saya katakan, saya rindu Indonesia juga secara umum. Saya mengunjungi Jambi sudah lama sekali pada 1985. Hanya sepuluh hari dan ditemani Kepala Museum Jambi ketika itu, Bapak Muhammad Nazif. Pengalaman yang membahagiakan mengunjungi daerah yang menjadi minat studi saya. Kunjungan saya sangat penting karena saya berusaha merasakan impresifnya sungai Batanghari, bagaimana kedalaman air dan hijaunya alam. Saya harus melihat secara langsung untuk mengimajinasikan kondisi perjuangan ketika itu. Saya memiliki ekspektasi untuk menemukan manuskrip-manuskrip ketika itu karena saya tidak ingin ada manuskrip yang tertinggal dalam pembuatan buku saya. Hanya saja, tidak ada manuskrip di Jambi. Manuskrip-manuskrip yang ada hanya ditemukan di Jakarta. Hal ini tidak terlepas dari suasana perang kemerdekaan ketika itu, di mana banyak manuskrip yang dibakar ketika itu dan tidak terselamatkan.

Anda telah menulis buku Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial. Apa hal yang membekas pada diri Anda terhadap buku tersebut?

Buku itu sangat bernilai bagi saya. Saya menulis untuk masyarakat Jambi dan beberapa bagian tulisan dalam buku itu telah dipublikasikan pada berbagai jurnal dan konferensi. Buku itu menjelaskan tentang Jambi dan imperialisme Belanda. Buku itu mengurai perdebatan panjang tentang imperialisme Belanda dan berusaha menyimpulkan banyaknya debat yang berkembang dalam konteks Jambi.

Apa pesan Anda untuk generasi muda di Jambi?

Saya berharap mereka membaca segala literatur sejarah terkait Jambi, termasuk yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini, peran guru menjadi penting sebagai jembatan kepada generasi muda, sehingga dibutuhkan pengetahuan umum yang luas.

Memang agak sedikit egosentris saya mengatakan, baca buku saya. Tidak hanya buku saya, tetapi baca juga buku seperti karangan Barbara Watson Andaya, To Live as Brothers: Southeast Sumatra in Seventeenth and Eighteenth Centuries, karena buku tersebut mengurai sejarah Jambi selama abad ke-17 sampai ke-18 dan termasuk grand book dalam sejarah Jambi.

Apa aktivitas Anda sekarang?

Dua minggu sekali saya bertemu dengan cucu. Cucu-cucu saya tinggal di Amsterdam, sedangkan di rumah saat ini hanya saya dan suami. Saat ini saya juga dalam masa penyembuhan cedera akibat kecelakaan sepeda yang saya alami tahun lalu. Saya juga masih membimbing proyek penelitian dan sedang menyelesaikan sebuah artikel.

Pekerjaan saya lainnya adalah menjadi anggota panitia musik di Zeist saat musim panas. Panitia musik itu bersifat sukarela dan tidak mudah mengorganisasi banyak orang. Anda bisa melihat di www.zeistermuziekdagen.nl. Saya sendiri pencinta musik. Ibu dari kakek saya adalah pemain piano profesional, nenek saya pemain piano, dan tante saya juga bermain piano profesional. Jadi ada darah musik dalam keluarga saya. Dalam keluarga suami saya juga ada darah musik. Saya sendiri gemar memainkan flute. Saya bermain pada wind quintet bersama empat orang lainnya. Jadi pekerjaan utama saya adalah musik, membaca, cucu, dan Festival Musik Zeist.

Kesan yang saya dapat, Elsbeth sangat mencintai Indonesia. Di sudut rumahnya terdapat peta Batavia kuno hadiah dari koleganya. Di ruang makan yang menghadap pemandangan luar, terdapat lemari jati bermotif Jawa. Elsbeth juga mengoleksi flute yang bermotifkan Minahasa dan kain dari daerah Indonesia Timur.

Di akhir perbincangan, Elsbeth mengingatkan kewajiban setiap generasi muda mempelajari sejarah dengan membaca. Yang penting diingat, kata dia, sejarah bukanlah tentang indoktrinisasi, tetapi belajar mengenai kehidupan dalam segala perbedaan bentuk dan waktu. Banyak membaca akan membantu untuk memahami konteks permasalahan, karena tidak jarang sejarah bisa terulang meski bentuknya berbeda. Elsbeth juga bertanya kepada saya, apakah masyarakat masih tertarik dengan sejarah. Sepengamatan Elsbeth, studi sejarah tidak begitu menjadi ketertarikan bagi masyarakat di Indonesia. Pertanyaan Elsbeth ini menjadi lonceng keras bagi saya dan kita semua, apa yang sudah kita ketahui tentang sejarah Jambi.
[]

(Muhammad Ichsan Kabullah adalah mahasiswa Ph.D Public Administration Department, Radboud University, Nijmegen. Lahir dan besar di Jambi)

________________

Dikutip dengan sedikit penyuntingan dari Harianjambi.com. Wawancara dengan Elsbeth ini atas permintaan Redaksi Harianjambi.com kepada Muhammad Ichsan Kabullah yang tengah berada di Belanda. Wawancara ini juga telah disunting langsung oleh Elsbeth. Dia terutama mengoreksi penulisan "Thaha" menjadi "Taha" untuk menyebut nama Sultan Thaha. Di Jambi, penulisan "Sultan Thaha" lebih banyak digunakan.


0 komentar: