Juni 08, 2015

Hutan Jambi Berkurang 1 Juta Hektar


SEKITAR 400.000 hektar dari total 1 juta hektar atau seperempat luas Provinsi Jambi yang beralih menjadi areal tambang batubara setahun terakhir tidak dikelola pemilik izinnya. Ironisnya, penghentian usaha itu tanpa diikuti dengan pemulihan lingkungan sehingga areal bekas tambang yang telantar itu begitu luas.

Hal itu diungkapkan Musri Nauli, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi, dalam diskusi Hari Lingkungan Hidup, di Jambi, Jumat (5/6). Berdasarkan catatan Kompas, sepanjang 2014, sudah 158 izin usaha pertambangan batubara di Provinsi Jambi dicabut dan 31 usaha tambang dihentikan sementara kegiatannya oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jambi.

Pencabutan izin dilakukan karena perusahaan tidak membayar iuran tetap, tidak menyampaikan laporan produksi, merusak lingkungan, dan beroperasi tak sesuai dengan analisis mengenai dampak lingkungan. Seluruh izin yang dicabut tersebut mencakup area lebih dari 400.000 hektar di Kabupaten Bungo, Merangin, Tebo, dan Sarolangun dari total 1,04 juta hektar lahan tambang di Jambi.

Sejak berlakunya pencabutan ratusan IUP, pengusaha tambang benar-benar berhenti beroperasi. Namun, penghentian usaha itu bersamaan dengan anjloknya harga batubara di pasar dunia. Kesempatan yang diberikan pemerintah bagi pengusaha untuk memulihkan areal tambang agar mereka diizinkan kembali beroperasi, kata Nauli, tidak dilaksanakan. Yang terjadi areal tambang malah benar-benar dibiarkan terbengkalai.

"Pengusaha pada lari karena ekspor batubara tidak lagi menguntungkan saat ini. Akibatnya, ekosistem bekas areal tambang dibiarkan dalam kondisi rusak dan tercemar," katanya.

Persoalan tambang, lanjut Nauli, tidak hanya merugikan negara, tapi juga menyebabkan kerusakan jalan negara.

Komisi Pemberantasan Korupsi mendata dari 398 IUP di Jambi, sebanyak 341 IUP kurang bayar PNBP selama 2011-2013. Kerugian negara sekitar Rp 13 miliar. Pemegang IUP bermasalah ini tersebar di Kabupaten Sarolangun, Batanghari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat Tebo, Merangin, dan Bungo. Bahkan, kegiatan sejumlah perusahaan pertambangan terindikasi tumpang tindih dengan hutan konservasi. Luas areal tumpang tindih mencapai 6.300 hektar. Atas dasar itulah, KPK merekomendasikan Dinas ESDM mencabut IUP terkait.


Penyusutan Hutan

Walhi Jambi juga mencatat luasan tutupan hutan Jambi selama kurun 10 tahun berkurang sebesar 1 juta hektar. Luas hutan dari 2,4 juta hektar tahun 1990, berkurang menjadi 1,4 juta hektar pada 2000. Penurunan luas hutan itu sebesar 29,66 persen dari luas Jambi.

Konflik gajah dan manusia di sekitar ekosistem Bukit Tiga Puluh di sekitar Taman Nasional Bukit Tiga Puluh sering terjadi. "Ada sekitar 150 konflik setahun," ujarnya.

Seringnya harimau masuk kampung dan mengakibatkan korban manusia menimbulkan konflik 50 kali setahun. Munculnya konflik manusia dengan satwa disebabkan habitat satwa semakin sempit akibat pembukaan hutan oleh perusahaan perkayuan, pembukaan kebun sawit skala besar, dan pertambangan.

Maraknya penambangan emas tanpa izin di wilayah hulu juga memperparah sedimentasi sejumlah sungai yang memicu timbulnya bencana banjir dan longsor. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jambi, telah bertambah 14 desa rawan baru, selain 434 desa rawan lama bencana banjir di sepanjang aliran sungai.

Kepala Bidang Darurat dan Logistik BPPD Provinsi Jambi Zulfikri mengatakan, 14 desa rawan baru itu tersebar di Kabupaten Bungo, Sarolangun, dan Merangin yang diketahui sebagai lokasi maraknya aktivitas PETI. Dalam lima tahun terakhir, aktivitas itu makin memperparah sedimentasi sungai. "Penyebab banjir di daerah-daerah rawan baru tersebut kami pastikan adalah sedimentasi sungai akibat aktivitas PETI," ujar Zulfikri.[]




_____________

Artikel ini diambil dari harian Kompas, 6 Juni 2015, dengan judul "Bekas Tambang Batubara Telantar: Hutan Jambi Berkurang 1 Juta Hektar"

0 komentar: